Brem Tergerus Zaman, Lalu Madiun? Nasib Desa Kaliabu?
Tak ada yang tahu pasti mengapa makanan berbentuk kotak-kotak, persegi panjang, berwarna kuning keemasan itu disebut dengan Brem. Makanan tradiosinal khas dari Kabupaten Madiun yang nyaris seperti legenda.
Memiliki sensansi rasa semriwing ketika menempel di lidah, kemudian lenyap tanpa bekas. Sensasi inilah yang mengundang pecinta kuliner tradisional menjadikannya sebagai buah tangan yang berharga.
Namanya Marsiyem. Usianya kini sudah 90-an tahun. Tidak ingat benar, tahun berapa dia dilahirkan, namun yang jelas Marsiyem sudah pernah mengalami betapa susahnya hidup di jaman Belanda dan Jepang.
Masih kokoh, seperti terlihat baru berusia 75-an tahun. Bicaranya lantang, dan masih mampu mengingat dengan baik masa lalu panjang yang telah dilaluinya. Mengingat pula awal mula Brem, penanda penting bagi Desa Kaliabu, atau bagi Caruban yang kini menjadikannya sebagai ibu kota kabupaten.
Marsiyem kecil sudah akrab dengan panganan yang dinamai Brem itu. Panganan ndeso namun termasuk wah di masa itu.
Hanya sedikit orang yang jajan dengan membeli Brem, pasalnya bagi wong ndeso bertemu nasi saja tidak menentu apalagi harus membeli jajanan yang tidak bisa bikin perut kenyang.
Kendati begitu, di usianya yang masih belasan tahun, ia malah sudah mampu membuat Brem. Gurunya — walau tidak secara langsung — adalah Mbah Lurah Dusun Bodang. Sementara, Marsiyem sendiri tidak pernah tahu dari mana Mbah Lurah mendapatkan ilmu membuat Brem tersebut dan mengapa pula dinamai Brem.
Dalam bahasa Jawa yang semanak, kepada ngopibareng.id, Marsiyem mengatakan, mungkin karena membuat panganan yang bahan utamanya adalah sari tape ketan ini harus diperam dulu selama tujuh hari tujuh malam sebelum diproduksi, maka nama Brem lantas muncul begitu saja.
Peram yang dilafal perem dalam bahasa Jawa secara fonetik tak jauh dari kata Brem. Marsiyem hanya mengingat, Mbah Lurah Dusun Bodang juga menyebutnya seperti itu.
Marsiyem juga ingat, untuk kulakan bahan baku dan peralatan membuat Brem, harus menempuh perjalanan cukup jauh yaitu menuju ke Madiun.
Tumpangannya adalah sepur kluthuk (kereta jaman Belanda berbahan bakar kayu, red) yang menyemburkan asap hitam pekat saat melaju, dan jika sudah turun dari sepur di hidung masing-masing penumpangnya akan menyumpal langes (jelaga) hitam.
Dari Dusun Bodang, Brem kemudian menyebar ke dusun-dusun lain di sekitarnya di wilayah Desa Kaliabu. Masing-masing adalah Dusun Sumberjo, Lemah Ireng, Tempuran dan Kaliabu.
Di lima dusun di Desa Kaliabu tersebut, hanya Dusun Tempuran yang hingga kini masih memiliki perajin Brem paling banyak. Dusun-dusun lainnya sudah lama beralih profesi karena gerusan jaman.
Mereka memilih bercocok tanam, atau bermigrasi ke kota Madiun dan kota besar Jawa Timur lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Sedang Marsiyem, adalah segelintir generasi pertama yang masih setia mendampingi produksi panganan yang bercitarasa semriwing nan manis ini. (widikamidi/bersambung 3 tulisan)