Brazil Memburuk, Sehari Tambah 20 Ribu Kasus Infeksi Baru
Wabah virus corona penyebab COVID-19 di Brazil memburuk. Tambahan kasus baru harian mencapai hampir 20 ribu kasus infeksi dan 888 kematian baru pada hari yang sama, menurut keterangan resmi Kementerian Kesehatan.
Jumlah total kasus infeksi kini mencapai 291.579 dengan 18.859 pasien meninggal dunia. Pada Senin 19 Mei lalu, Brazil bahkan telah menyalip Inggris sebagai negara dengan kasus COVID-19 tertinggi ketiga di dunia.
Saat ini secara global, pandemi COVID-19 telah menyentuh angka lima juta kasus infeksi dan hampir 330 ribu kematian. Amerika Serikat menjadi negara terparah dengan mencatatkan 1,5 juta kasus lebih, disusul Rusia dengan 308 ribu kasus lebih.
Presiden Brazil Jair Bolsonaro mendapat banyak kritik atas sikapnya dalam merespons pandemi. Mantan pemimpin militer itu meremehkan langkah pembatasan sosial, dan bersikukuh untuk membuka kembali perekonomian di tengah kasus yang terus melonjak.
Bolsonaro juga giat mempromosikan penggunaan obat malaria, klorokuin, sebagai pengobatan yang berpotensi menyembuhkan COVID-19, sekalipun para ahli kesehatan tidak menyarankan demikian.
Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan pedoman baru penggunaan obat tersebut untuk kasus COVID-19 ringan. Menteri Kesehatan Interim, Eduardo Pazuello--seorang jenderal militer aktif, memberikan persetujuannya untuk protokol baru tersebut.
Sebelumnya, dua dokter meninggalkan jabatan penting di Kementerian Kesehatan setelah berada di bawah tekanan untuk mempromosikan penggunaan klorokuin dan hydroxychloroquine.
"Kita sedang dalam situasi perang. Yang lebih buruk dari kalah adalah aib karena tidak berupaya berjuang sama sekali," kata Bolsonaro, dalam sebuah cuitan di Twitter tentang keputusan pemerintahannya terkait penggunaan klorokuin, kendati belum ada pembuktian ilmiah.
Menanggapi langkah pemerintah, Gonzalo Vecina Neto, mantan kepala Badan Regulasi Kesehatan Brazil--Anvisa, menyebutnya sebagai tindakan "barbar", yang lebih mungkin menimbulkan masalah kesehatan karena efek samping jenis obat itu.
"Tidak ada bukti ilmiah. Dan, sangat sulit dipercaya bahwa pada abad ke-21 ini kita masih saja menghidupkan pemikiran yang magis," kata Vecina Neto.(ant/rtr)
Advertisement