Branding Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro mendapat banyak sebutan. Mulai dari kota banjir, kota minyak atau kota ledre—makanan khas daerah ini. Namun dari sebutan itu, tentu saja nama mana yang lebih menjual di pasaran untuk citra kabupaten ini.
Soal penyebutan nama Bojonegoro ini terungkap dalam talkshow dengan mengambil tema ‘Kolaborasi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dengan Media dalam Membangun City Branding Kabupaten Bojonegoro’ pada, Minggu 24 Maret 2024.
Acara itu menghadirkan pembicara, seperti Pj Bupati Bojonegoro Ariyanto. Prof Mohamad Yusak Anshori akademisi, CEO Ngopibareng.id Arif Afandi, dan Direktur Asri Dharma Sejahtera PT (ADS) Mohammad Kundori, sebagai moderator.
Menurut CEO Ngopibareng.id Arif Afandi, bahwa wartawan itu penghasut ulung. Itu jika diterjemahkan dengan tema diskusi soal city branding tentang Bojonegoro. Tentu artinya bahwa yang dimaksud adalah penghasut dalam bidang marketing.
“Bagaimana membangun city branding di Bojonegoro. Tentu harus punya konsep, juga desain dan merumuskan tentang city branding, yang mengupayakan orang luar untuk datang ke Bojonegoro,” ujar Wakil Walikota Surabaya periode 2005-2010 ini di acara talkshow di sebuah hotel di Bojonegoro Minggu 24 Maret 2024.
Arif Afandi kemudian mencontohkan bagaimana ketika dulu membranding Kota Surabaya. Misalnya mengetahui kehidupan utuh Kota Surabaya dari pagi hingga larut malam dan menggali potensi.
“Di Surabaya itu kehidupannya dinamis. Misalnya ada rawon setan yang buka selama 24 jam. Yang beli siapa dengan nama setan itu? Mungkin karena bukanya hingga larut malam sehingga nama setan itu cukup menjual,” imbuh pria yang pernah menjadi Pimred Koran Jawa Pos ini.
Arif Afandi kemudian bercerita ketika dirinya masih menjabat Wakil Walikota Surabaya mendampingi Walikota Surabaya Bambang DH ketika itu. Dia membuat konsep Surabaya dengan sebutan sparking atau gemerlap Surabaya.
Lalu Apa komentar orang? “Saya diprotes pegawai, intinya kalimat sparking tentu saja tukang becak tak mengenal. Tapi saya tak peduli dengan protes itu, karena targetnya yang mengerti adalah orang luar Surabaya,” imbuhnya.
Pembicara lain, dosen dan praktisi pariwisata Prof Mohammad Yusak Anshori, bahwa konsep city branding itu, perlu yang dibutuhkan apa itu sinergi dan konsisten. Juga pentingnya koordinasi antara pemerintah dengn pemerintah, dan pemerintas dan swasta atau sebaliknya. “Pentingnya berupa sinergi dan konsistensi jika menjalankan sebuah kegiatan.
Prof Yusak kemudian mencontohkan, Kota Surabaya pernah mengundang pemain Reog Ponorogo yang tampil di Balai Pemuda setiap bulan syawal dan hari libur. Tapi kemudian diprotes karena Reog bukan kesenian asli Surabaya. Begitu juga ide Tari Remong yang dianggap kesenian dari Jombang. “Jadi awalnya memang banyak protes dan intrik, tidak fleksibel,” paparnya bercerita.
Ditambahkan, ketika itu ada usulan bahwa untuk kegiatan pariwisata itu, mesti meniru Yogyakarta atau Bali.
“Ketika itu langsung saya jawab, itu salah. Karena kedua daerah itu punya modal wisata alam yang menarik. Sementara Surabaya itu beda. Harusnya pariwisata itu menyesuaikan potensi daerahnya,” tandasnya.
Menurut Prof Yusak, promosi daerah dengan mengenalkan keluar itu sangat penting. Dirinya bercerita berangkat ke Kota Shanghai Tiongkok mempromosikan Kota Surabaya, dan Korea untuk membangun kantor perwakilan di beberapa kota.”Saya datang dan mengundang wartawan, mengajak ngobrol, memberi blangkon untuk promosi. Hasilnya dampaknya besar,” tandasnya.
Lalu bagaimana dengan Bojonegoro? Menurut Prof Yusak, di daerah ini ada muncul sebutan Pinarak Bojonegoro dan Bojonegoro Kreatif. Atau juga muncul nama kampung ledre yang bisa saja jadi ikon. Karena nama makanan itu cepat akrab.
“Makanya mesti kita inventarisir, dan bagaimana agar orang luar Bojonegoro itu tahu. Jadi brandingnya bisa mengena dan tepat sasaran,” tandasnya.
Sementara itu Penjabat Bupati Bojonegoro Adriyanto mengatakan, keberadaan media dan wartawan, tentu tidak hanya membujuk tapi sebagai pendamping untuk dinamisasi pemerintah.
Cerita city branding, saat di Amerika, datang ke air terjun helen hunt Jackson. Ternyata warga datang ke air terjun yang sebenarnya sesuatu biasa di Colorado, Amerika. Tetapi nama Helen Hunt adalah seorang penulis, penyair Amerika yang menjadi aktivis kemanusiaan dan memenangkan Novel. “Jadi orang datang ke air terjun karena menghormati ketokohan Helen Hunt,” tegas Adriyanto.
Sementara untuk branding Bojonegoro, menurutnya, daerah ini ada banyak potensi. Mulai minyak, hasil pertanian nomor tiga dan lainnya. Yang penting bagaimana branding itu, seperti membuat narasi, yang lebih menarik. “Dan para wartawan itu tentu punya kelebihan membuat narasi,” imbuhnya.