Branding Bojo
Ini bukan soal bojo dalam bahasa Jawa yang artinya istri. Tapi Bojonegoro, salah satu kabupaten di ujung barat Jawa Timur yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah.
Saya kemarin diundang ke kota itu. Untuk ngobrol tentang city branding. Bersama Pj Bupati Bojonegoro Adriyanto. Bupati ‘’transisi’’ yang juga salah satu direktur di Kementerian Keuangan RI yang ditugaskan di sini.
Ikut diundang menjadi pembicara, Yusak Ansori, direktur salah satu industri perhotelan yang pernah menjadi Direktur Eksekutif Surabaya Tousism & Promotion Board (STPB). Ahli marketing yang dosen di UNUSA, Unair dan ITS.
Moderatornya Direktur Utama PT ADS BUMD Bojonegoro Muhamad Kundori. Rupanya, BUMD yang mengurus bagi hasil minyak dan gas di Bojonegoro ini yang menjadi penyelenggara Talk Show ini. Pesertanya puluhan wartawan dari semua organisasi profesi wartawan yang ada di kota penghasil minyak dan gas itu.
Keren
Bupati ‘’transisi’’ dan wartawan kumpul bareng bicara tentang kolaborasi Pemerintah dengan media dalam membangun city branding Kabupaten Bojonegoro. Belakangan, amat jarang bupati yang peduli terhadap city branding kotanya.
Masih terlalu banyak yang lebih fokus kepada kegiatan-kegiatan yang berdampak elektoral. Apalagi bagi bupati atau walikota yang baru satu periode menjabat. Biasanya, prioritas programnya lebih bersifat populis ketimbang strategis.
City branding lebih sebagai program strategis. Ini adalah kegiatan yang tidak bisa langsung jadi. Perlu pemikiran mendalam dan konsisten dalam menjalankannya. Belum tentu bisa dirasakan dampaknya dalam waktu setahun sampai dua tahun.
Hanya sedikit kepala daerah yang jago tentang ini. Diantaranya Joko Widodo saat menjadi Walikota Solo. Juga Azwar Anas ketika menjadi Bupati Banyuwangi. Mereka adalah kepala daerah rasa marketer. Juga sukses mengangkat daerahnya lewat city branding dan turunanya.
Saya pernah beruntung mendampingi Pak Bambang DH menjadi wakilnya di Surabaya. Lebih beruntung lagi karena diberi ruang untuk secara serius memikirkan city branding Kota Surabaya. Sekaligus menggarap sektor pariwisata di kota ini.
Ketika itu, Surabaya masih lebih dikenal sebagai kota Industri. Padahal, dilihat dari sumbangan terhadap PDB (Product Domestic Bruto), sektor tersebut sudah jauh tergeser oleh perdagangan (trading) dan jasa (services). Persepsi ini jelas perlu diubah.
Maka city rebranding menjadi sebuah keharusan. Untuk memperkuat posisinya sebagai kota jasa dan perdagangan. Juga guna menarik lagi orang luar datang ke Surabaya untuk berkunjung, belanja, berinvestasi, atau bahkan sekadar hang out.
Potensi itulah yang kemudian kita gali. Untuk tujuan tersebut, perlu menggandeng para pelaku. Bukan semata diserahkan kepada birokrasi. Ada beda mindset antara pelaku industri dan birokrasi. Sesuatu yang tak bisa digeser dengan gampang.
Karena itu, perlu ada badan atau lembaga yang bisa menyatukan kalangan industri, profesional dan birokrasi. Di Surabaya dulu dibentuk STPB. Yang anggotanya dari birokrasi, akademisi, dan praktisi industri pariwisata. Bahkan, pimpinan puncaknya dari industri. Bukan birokrasi.
Hasilnya? Bisa dilihat geliat pariwisata di Surabaya periode 2005-2010. Banyak sekali event tahunan yang menjadi daya tarik kota. Termasuk Surabaya Shopping Festival yang skema penyelenggaraannya ditiru Jakarta melalui Jakarta Great Sale.
Paradigma dalam membangun city branding haruslah kolaborasi. Melibatkan banyak pihak. Tidak hanya bisa ditangani birokrasi. Yang biasanya kurang memiliki mindset marketing. Funsgi pemerintahnya hanyalah memimpin orkestrasi. Apalagi menginisiasi dan mempersiapkan dukungan regulasi.
Kagiatan city branding bukan sekadar membuat logo baru dan tagline. Tapi sebuah rangkaian kegiatan mulai dari menggali potensi kota, menciptakan brand, logi dan produk yang akan dipasarkan. Produk itu bisa berupa destinasi alam, destinasi yang diciptakan, dan berbagai kegiatan.
Orientasi brand dan logo perlu fokus dan konsisten. Sesuai dengan potensi kota atau daerahnya. Di pintu masuk Kabupaten Bojonegoro terpampang tagline Pinarak Bojonegoro, Bojonegoro Produktif? Pinarak artinya silakan mampir. Nah, mampir untuk apa? Hal seperti ini perlu dipikirkan.
Ketika Surabaya menjadikan Sparkling Surabaya sebagai city branding, semua juga telah dipikirkan. Makna dari logo dan simbol-simbolnya. Juga turunannya dalam berbagai kegiatan. Termasuk aplikasinya ke dalam bentuk dan saluran komunikasi publiknya.
Hasilnya bisa dilihat dari peningkatan kunjungan wisatawan setiap tahunnya, kenaikan pajak hotel-restoran-tontonan, omset pusat-pusat perbelanjaan, dan kepedulian masyarakat terhadap kebersihan kotanya. Rebranding yang berhasil akan mengubah banyak hal.
Tapi, semua itu itu bisa berjalan dengan baik jika ada komitmen dan konsistensi dari pimpinan puncaknya. Diperlukan pimpinan kabupaten dan kota yang memiliki imajinasi dalam mengembangkan potensi daerahnya melalui kegiatan marketing. Bukan hanya orientasi elektoral untuk kepentingan pemilu berikutnya.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mendorong para kepala daerah untuk lebih serius membranding kotanya. Untuk percepatan pembangunan daerah. Biar tidak hanya memusat kepada beberapa kota yang telah berkembang secara timpang. Yang pada umumnya terpusat di ibukota.
Branding kota adalah jalan marketing untuk memajukan daerah. Seharusnya, membangun city branding harus menjadi kegiatan yang berkelanjutan. Tidak hanya berdasarkan selera kepala daerahnya. Tapi berdasarkan pertimbangan rasional yang mengedepankan kepentingan publik dan daerahnya.
Selama ini, masih sering terjadi rebranding city yang berhasil pupus ketika terjadi pergantian kepemimpinan. Padahal, bisa saja yang ada dikembangkan atau ditingkatkan. Bisa saja, pemegang kendali lembaganya yang cukup diganti oleh orangnya kapala daerah yang baru. Apalagi dengan semangat menjadi lebih dari sebelumnya.
Gagasan Bupati ‘’Transisi’’ Bojonegoro Indriarto membangun kolaborasi dalam membangun city branding kotanya patut diapresiasi. Apalagi kalau inisiasi ini kelak diteruskan bupati terpilih yang akan datang. Bupati hasil pilkada di akhir 2024.
Bojonegoro yang dulu sering dikenal sebagai kota kering di musim kemarau dan banjir di musim hujan memang sudah harus berubah. Apalagi dengan APBD yang mencapai Rp 8 Triliun per tahun. Setelah menjadi daerah eksplorasi minyak dan gas di pulau Jawa.
Sekarang, saya belum merasakan Bojonegoro sebagai daerah yang kaya. Masih terasa biasa-biasa saja. Seperti beberapa dekade sebelumnya. Kekayaannya belum tampak bisa memoles wajah daerahnya. Kecuali baru polesan di beberapa tempat.
Pasti banyak warga Bojonegoro yang ingin melihat daerahnya jauh lebih keren dari sekarang. Siapa pun kelak yang terpilih menjadi bupatinya.