BPOM Hentikan EUA Hidroksiklorokuin dan Klorokuin untuk Covid-19
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama tim ahli, menyebut aspek keamanan hidroksiklorokuin dan klorokuin, menunjukkan bahwa penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin pada pengobatan Covid-19 memiliki risiko yang lebih besar daripada manfaatnya. Hasil ini merupakan pembahasan BPOM bersama lima organisasi profesi kesehatan.
Berdasarkan pemantauan BPOM akhir Oktober 2020, Badan POM menerima laporan keamanan penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin dari hasil penelitian observasional selama empat bulan di tujuhrumah sakit di Indonesia. Laporan tersebut menunjukkan dari 213 kasus yang mendapatkan hidroksiklorokuin atau klorokuin diketahui 28.2% terjadi gangguan ritme jantung berupa perpanjangan interval QT.
Berdasarkan hasil studi klinik global dan data penelitian di Indonesia serta menimbang risiko yang lebih besar daripada manfaat kedua obat ini, maka dalam rangka kehati-hatian, Badan POM RI mencabut persetujuan penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan COVID-19.
Sebelumnya, United States Food and Drug Administration (US-FDA) telah mencabut EUA untuk klorokuin dan hidroksiklorokuin. Disusul oleh World Health Organization (WHO) yang menghentikan uji klinik (Solidarity Trial) hidroksiklorokuin karena dinilai memiliki risiko lebih besar daripada manfaatnya.
Dengan demikian, obat yang mengandung hidroksiklorokuin dan klorokuin agar tidak digunakan lagi dalam pengobatan COVID-19 di Indonesia. Izin edar obat yang mengandung hidroksiklorokuin dengan indikasi selain pengobatan COVID-19 masih tetap berlaku dan dapat digunakan untuk pengobatan sesuai dengan indikasi yang disetujui pada izin edarnya. Sedangkan untuk obat yang mengandung klorokuin dicabut izin edarnya karena tidak digunakan untuk indikasi lain.
Badan POM terus memantau dan menindaklanjuti, serta melakukan pembaruan informasi dengan berkomunikasi dengan profesi kesehatan terkait berdasarkan data terkini di Indonesia, informasi dari WHO, dan Badan Otoritas Obat negara lain.
Advertisement