Boyamin Saiman, Warok Ponorogo Asli, Petarung Sejati
Disaat kebanyakan orang mengacungkan jempol dengan posisi terbalik menghadap ke bawah menghadapi kondisi dan situasi bangsa tercinta saat ini, dua jempol ke atas layak diacungkan kepada seorang laki-laki kelahiran Ponorogo, Jawa Timur. Dia adalah Boyamin Saiman.
Hari Rabu kemarin, Boyamin Saiman menyerahkan amplop berisi 100 ribu Dolar Singapura atau sekitar Rp 1,1 miliar, kepada KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Ini saya anggap gratifikasi atau suap yang diberikan oleh seorang laki-laki yang tidak saya kenal. Dia memberi amplop itu. Sebelumnya sudah saya tolak, tetapi dia memaksa dengan memasukkan ke dalam tas saya. Karena ini saya anggap gratifikasi, maka saya serahkan kepada KPK agar bisa dijadikan aset negara," kata Boyamin Saiman.
Boyamin menolak pemberian uang itu bukan karena dia sudah kaya.Tapi karena nurani, plus komitmen.
“Saya mendirikan MAKI, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Masak saya terlibat dalam praktek korupsi? Menerima suap kan korupsi juga namanya,” katanya pada Ngopibareng, di rumahnya yang terletak diperkampungan, Kampung Rawa Barat, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Selasa 6 Oktober lalu. Di rumah, Boyamin tampil amat sederhana, dengan memakai kain sarung pelekat.
Sebagaimana rumah perkampungan di Ibu Kota, kecil dan tanpa halaman. Cenderung terasa sesak. Dinding depan rumahnya yang berwarna hijau, langsung menjadi pembatas kampung. Bertetangga dengan penjual gorengan.
Di dalam, dinding juga berwarna hijau, tetapi warnanya lebih cerah. Perabotnya tak ada yang istimewa, tidak lebih istimewa dibanding perabot milik tetangga. Dan terasa sesak karena ruang tamu itu juga berfungsi sebagai ruang kerja. Dua rak buku penuh dengan buku. Satu lemari kabinet diisi berkas-berkas, termasuk berkas-berkas perkara.
Disamping aktivis anti korupsi, Boyamin memang seorang pengacara. Profesi itu sudah dirintisnya sejak dia masih di Jawah Tengah tahun 90an. Kini di Jakarta dia membuka kantor hukum Boyamin Saiman & Associates. Dari kantor inilah, katanya, dia bisa menghidupi keluarganya yang terdiri dari istri dan kelima anaknya.
Kalau soal hendak disuap, Boyamin punya banyak pengalaman. Tidak hanya kali ini, dalam kasus Djoko Tjandra. Dari sejumlah upaya menyuap itu, menurutnya, nilainya tidak bisa dibilang kecil. Dari yang satu 1 miliar, 1, 5 miliar, 4 miliar sampai angka yang lebih tinggi lagi.
“Bahkan dalam dalam kasus e-KTP yang akhirnya memenjarakan Ketua DPR-RI Setya Novanto, saya ditantang minta apa saja akan dipenuhi. Disebutkan rumah, mobil mewah, bahkan minta perempuan sekali pun akan dicarikan, dengan syarat kasusnya tidak dibongkar lebih jauh. Tapi saya tetap pada pendirian saya, dan akhirnya kasus itu meledak,” kata Boyamin
Lahir 20 Juli 1969 di Desa Ngumpul, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo yang berbatasan dengan Kabupaten Pacitan di Jawa Timur, Boyamin secara terus terang mengatakan dirinya bukannya tidak butuh uang, dan bukannya tidak ingin tinggal di rumah mewah dan punya mobil baru.
“Siapa tidak ingin semua itu? Tetapi saya punya prinsip, kalaupun semuanya itu bisa saya nikmati, harus diperolehnya melalui jalan yang lurus. Saya tidak mau menghalalkan segala cara untuk meraih impian itu. Karena itu kalau impian itu tidak terwujud, saya tidak kecewa karena tokh saya juga memiliki semuanya meskipun tanpa ada tambahan kata mewah,” kata Boyamin.
Sebagai orang Jawa dia ngugemi falsafah Jawa, yang berbunyi Sak bejo bajane wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspada. Orang yang beruntung adalah orang yang selalu ingat dan waspada.
“Banyak orang yang berdoa minta selamat dunia akhirat, tapi yang dikerjakan tidak sesuai dengan doanya. Seorang koruptor pun, apabila berdoa pasti pasti minta selamat dunia akhirat. Tapi yang dilakukan menggarong uang negara. Akhirnya ya masuk penjara. Itu baru hukuman dunia, belum hukuman akhirat. Karena itu antara doa dan yang dikerjakan harus satu nafas," katanya.
Alumni Fakultas Hukum Universiitas Muhammadiyah Solo ini mengatakan, sikap dan komitmennya ini ditanamkan sejak belia, yang kemudian berkecimpung di organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dan kemudian menjadi menjadi anggota Resimen Mahadiswa.
Apalagi ketika kemudian dia terjun ke politik di Solo, dengan menjadi anggota DPRD Solo dari fraksi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) tahun 1997. Saat itu PPP Solo dipimpin tokoh Mudriek Sangidu, yang kemudian dikenal sebagai tokoh Mega-Bintang.
Saat menjadi anggota dewan, Boyamin Saiman sudah dikenal sebagai tokoh yang lantang. Dia banyak bersentuhan dengan masalah-masalah antikorupsi dalam sistem birokrasi, yang dia ungkap semuanya itu dengan apa adanya. Padahal saat itu masih di bawah rezim Orde baru.
Selesai jadi anggota DPRD Solo, Boyamin pindah ke Semarang. Di Semarang dia aktif di LSM dengan bergabung dengan LBH, kemudian ikut mendirikan KP2KKN (Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme) di Semarang tanggal 8 Mei 1998, beberapa hari menjelang Soeharto lengser.
Merasa kariernya sebagai pengacara akan lebih berkembang bila tinggal di Ibu Kota, Boyamin kemudian boyong ke Jakarta. Di Jakarta inilah, tahun 2007 dia mendirikan MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia).
"Setelah pindah ke Jakarta dengan menjadi pengacara sekaligus aktif di MAKI, tantangan dan godaan yang saya hadapi semakin berat," katanya. Tetapi tantangan dan godaan yang semakin menggila itu dapat dia lewati, karena dia mendapat dukungan penuh dari istri dan kelima anaknya.
Tanpa dukungan keluarga, Boyamin yakin dirinya akan sulit menghadapi tantangan yang sekaligus juga jadi godaan. “Jadi mental istri dan anak-anak sudah saya siapkan untuk menghadapi permainan kotor di balik upaya penegakan hukum di Indonesia ini," tambahnya.
Membongar kasus Djoko Tjandra, dilakukan Boyamin bukan baru-baru ini saja, setelah mengungkap bagaimana bebasnya Djoko Tjandra ke luar masuk Indonesia dalam statusnya sebagai buron.
Tetapi dia melakukannya sejak awal, saat kasus Djoko Tjandra ini dimulai dengan meledaknya kasus Bank Bali tahun 1998. Saat itu dalam pemerintahan yang dipimpin BJ Habibie, meledak kasus Bank Bali akibat permainan para petinggi Golkar saat itu, termasuk Setya Novanto yang saat itu menjadi pengurus Golkar, di bawah kepemimpinan Harmoko.
Boyamin Saiman menjadi salah satu yang terlibat dalam pengungkapan kasus Bank Bali milik Rudy Ramli yang melakukan praktek cassie (hak tagih) yang berbuntut dengan diadili dan divonisnya Djoko Tjandra.
Karena itu ketika kasus Djoko Tjandra meledak lagi dua bulan lalu sebelum akhirnya Djoko Tjandra ditangkap oleh tim Bareskrim Polri di Malaysia 30 Juli 2020, Boyamin Saiman kepada banyak media bisa menjelaskan dengan detil perkara ini, karena dia memang mengikutinya sejak tahun 1998.
Sebelum kasus Djoko Tjandra ini terkuak kembali yang berakhir dengan dijeblosnya pemilik Hotel Mulia di Senayan ke Lapas Salembam, Boyamin melalui MAKI juga ikut terlibat dalam membongkar kasus Nurhadi, hingga akhirnya mantan Sekretaris Mahkamah Agung itu menjadi buron, ditangkap, dan sekarang akan diadili.
Beberapa kali Boyamin menginformasikan pergerakan Nurhadi yang buron itu kepada KPK. Dia beberapa kali membuat laporan ke KPK mengenai lokasi Nurhadi berikut kegiatannya secara detil, termasuk misalnya ketika Nurhadi menukarkan uang dolar ke money changer di daerah Cikini, Jakarta Pusat dan Mampang, Jakarta Selatan.
Nurhadi kini sedang menjalani proses hukum. Ia ditangkap setelah tiga bulan melarikan diri dan kini sudah ditahan di Rutan KPK. Oleh KPK, Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono, diduga kuat telah menerima suap dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto, sebesar Rp46 miliar. Suap diberikan agar Nurhadi ikut menangani dan memenangkan dua perkara yang melibatkan perusahaan milik Hiendra itu di Mahkamah Agung.
Kasus lain yang diungkap Boyamin melalui MAKI adalah dugaan pelanggaran etik berupa gaya hidup mewah penggunaan helikopter oleh Ketua KPK Firli Bahuri untuk kepentingan pribadi saat berkunjung ke Sumatera Selatan, 20 Juni lalu. Firli Bahuri akhirnya diadili dalam sidang etik oleh Dewan Pengawas KPK, dan diputus dengan hukuman amat ringan, ditegur.
Kehidupan keras Boyamin yang bersentuhan dengan ancaman keselamatan, sekaligus dengan godaan kesejahteraan, memang berlangsung lama. Dulu, di jaman Orde Baru, dia pernah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Pengamat politik Tjipta Lesmana mengatakan, ketika itu Boyamin Saiman, yang aktif di LBH Semarang, vokal mengkritisi kasus proyek Waduk Kedung Ombo di Boyolali, Jawa Tengah.
"Dia bahkan memimpin warga Kedung Ombo untuk menjadi golput. Setahun kemudian, ia aktif berdemonstrasi menggulingkan Presiden Soeharto. Wajahnya sering tampak sedang berorasi di depan orang banyak," kata Tjipta Lesmana lewat tulisannya berjudul Boyamin, Bintang Pendobrak Skandal Djok Tjan.
Boyamin Saiman akrab dengan gerakan, terutama gerakan memberantas korupsi. Namanya dan wajahnya sering muncul di berbagai media, membuat wajahnya dikenal banyak orang. Tetapi di balik namanya itu, dia adalah orang yang sangat sederhana. Dia tetap bangga menjadi ‘orang kampung’, tetapi tidak kampungan. Karena tidak sedikit orang yang hidupnya mewah, tetapi kampungan.
"Boyamin itu orangnya rendah hati, tapi petarung dalam pemberantasan korupsi," puji Andi Jamoro Tulong, manta anggota DPR RI yang sekarang menjadi tetangga Boyamin di Kampung Rawa Barat, Kebun Jeruk.
Boyamin Saiman, adalah Warok. Dalam seni tradisional Ponorogo, Warok adalah petarung sejati. Dia adalah penjaga lingkungan. Warok adalah orang gagah, kuat dan pemberani.
Dalam kesenian khas Ponorogo tersebut yaitu Reog, Warok selalu berjalan dan berdiri di depan. Tugas dia, salah satunya adalah menjaga agar rombongan Reog tetap berjalan ke depan, tanpa adanya gangguan. Gangguan dari siapapun.
Kini, Boyamin Saiman seperi sedang menjalani tugas sebagai Warok. Menjaga republik ini dari gangguan para koruptor. (Asmanu)
Advertisement