Boranan yang Lamongan. Bukan Buronan Bukan Pula Boniran
Namanya nasi boranan. Bukan buronan. Apalagi Boniran. Sebab itu bacanya pelan-pelan saja. Alon-alon. Suantai saja. Biar tidak salah baca, apalagi salah sebut. Tidak enak kan... kalau salah ucap dan sebut. Bisa jadi kucing, malu-malu kucing maksudnya.
Boranan itu ada di Lamongan. Banyak orang menyebutnya ini makanan khas Lamongan. Selain soto dan tentu saja tahu campur.
Boranan yang sudah lama sepi dari berita, hari-hari begini menghangat lagi jadi berita. Termasuk diberitakan di ngopibareng.id ini.
Betapa tidak, boranan yang akrab dijajakan di bawah langit terbuka itu mulai didatangi hujan. Datangnya sih masih curi-curi, belum intens, tapi kalau sudah datang bikin pedagang boranan gelisah.
Gelisah para boranan Lamongan itu sudah dua pekan terakhir. Hujan tidak hujan tidak hujan tidak, hujan. Ini yang membuat omset penjualan nasi boranan cukup turun tajam.
Penurunan omset ini juga makin membuat gelisah manakala orang-orang sering bicara dolar naik dolar naik dolar naik meninggi.
Ya, tapi apa hubungannya dengan boranan? Jelas tidak ada! Dolar naik yo wis babahno...
"Hampir setiap hari turun hujan. Biasanya sore hingga malam hari. Jadinya jualan sepi karena orang pada enggan keluar," kata Siti Aminah, penjual boranan di sekitar Plaza Lamongan.
Kata Siti, biasanya dia mampu menghabiskan 5-7 kilogram nasi. Sejak turun hujan ini, masak nasinya lebih sedikit, jadi 3-4 kilogram saja. Hampir setengahnya kan?
Meski pendapatan turun, Siti Aminah, tetap berjualan seperti biasa. Sebab hanya inilah sumber penghasilan satu-satunya buat keluarganya.
"Ditlateni saja Mas. Rejeki sudah diatur Allah," cetusnya pasrah diri.
Siti Aminah, perempuan asal Desa Sumberejo, Kecamatan Lamongan ini, sudah 12 tahun lamanya berjualan boranan. Sempat berpindah-pindah, terakhir dia nyaman dan menemukan banyak pelanggan di sekitar Plasa Lamongan itu.
Ada Siti-Siti lain yang jumlahnya cukup banya yang sama-sama berjuang menjajakan boranan. Mbak Lestari misalnya. Karena hujan yang belakangan ini kerap datang ini dirinya memilih prei kala hujan. Meski saat itu sudah terlanjur masak untuk dijual.
"Belakang pilih prei jualan saja mas. Ketimbang hujan datang lalu jualan juga dak habis," gelisah Lestari.
Selama libur jualan, Lestari, mengaku turun ke sawah karena yang begini ini juga musimnya tandur padi.
Seperti Lestari mungkin hanya segelintir. Ada lahan lain selain berjualan boranan. Ke sawah atau lainnya. Lha kalau tidak punya lahan lain? Sudah barang tentu berdoa kuat-kuat agar tidak diberi hujan.
Ya, itulah boranan. Bukan bonaran, boniran, atau pun buronan. Yang unik dan gelisah.
Boranan sepertinya belum bisa menyalip pamor soto Lamongan atau tahu campurnya. Fenomenanya masih berada dalam daerah sendiri. Berbeda dengan soto dan tahu campur.
Tapi bagaimana pun boranan punya keunikan tersendiri. Di jual beratapkan langit dengan cara lesehan. Wadah nasi di tempatkan dalam bakul bambu yang lazim di sebut boran. Nasi boranan memiliki cita rasa yang khas gurih dan pedas.
Untuk lauknya banyak jenis yang bisa dipilih. Bisa sesuai selera juga citarasa. Bisa pilih daging ayam, jeroan ayam, jeroan sapi, ikan bandeng, telur dadar, tahu, tempe, dan ikan Sili.
Soal harga mah cukup ramah di kantong. Yaitu Rp10 ribu hingga Rp 15 ribut. Tergantung dari lauk yang di pilih untuk disorongkan ke mulut. (totok martono/idi)