Bonyoknya Armando Gegara Mis-match
Oleh: Djono W. Oesman
Dr Ade Armando bonyok dihajar massa demo 11April 2022 di depan Gedung DPR. Ia pendukung Presiden Jokowi. Sedangkan, demo menolak isu presiden tiga periode. Sebagai dosen ilmu komunikasi UI, Ade tidak komunikatif.
------------
Tidak komunikatif dalam arti, gak nyambung. Antara afiliasi sosial-politik Ade dengan karakter pendemo. Sama-sama soal Jokowi, tapi masing-masing pihak bertentangan. Hasilnya bonyok.
Kronologi: Pukul 15.00 WIB Ade berada di dalam Gedung DPR. Pendemo di luar pagar Gedung DPR. Saat itu Ade kepada wartawan mengatakan, ia mendukung pendemo.
Karena, mahasiswa pendemo menolak perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi 3 periode. Juga menolak pemilu ditunda.
"Saya tidak ikut demo. Tetapi saya mantau dan saya ingin menyatakan mendukung mahasiswa, jika tuntutan mereka menolak isu presiden tiga periode,” kata Ade di lokasi.
Ade menjelaskan, amendemen UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden tidak pantas dilakukan. Apalagi, demo mahasiswa ini seharusnya menjadi pesan, bahwa kalangan kampus menolak isu presiden tiga periode.
Ade: "Alasannya enggak pantes. Artinya, sekarang saja sudah ramai, padahal baru 2022. Kalau UUD 1945 diamandemen, kan butuh waktu."
Beberapa menit kemudian, ada kejadian menarik. Dari dalam Gedung DPR, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo didampingi Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhammad Fadil Imran, keluar Gedung DPR.
Ikut pula, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Rachmat Gobel, Lodewijk F Paulus. Mereka merapat ke Pos Obyek Vital kompleks DPR RI, naik mobil golf. Lantas, mereka naik mobil komando.
Kapolri Listyo, berdiri di mobil komando, berdialog dengan mehasiswa, menggunakan pengeras suara.
Listyo: "Saya dalam posisi yang akan memastikan bahwa seluruh aspirasi adik-adik mahasiswa semua tersampaikan. Kami akan membantu menjaga agar seluruh proses berjalan dengan aman. Oleh karena itu saya titip juga pada seluruh anggota, tolong kawal, tolong jaga adik-adik kita. Ini anak-anak kita, ini teman-teman kita."
Dilanjut: "Jaga mereka. Kawal. Jangan sampai ada yang menunggangi, karena suara aspirasi mahasiswa adalah suara akademisi, suara murni dan itu harus dijaga. Harus dikawal dan kami siap untuk mengawal semua aspirasi teman-teman mahasiswa."
Ketika rombongan Kapolri keluar Gedung DPR, ternyata banyak wartawan mengikuti. Juga angoota DPR. Termasuk Ade Armando.
Pukul 15.31 dialog Kapolri ke massa, selesai. Sama sekali tidak ada gangguan dari massa. Aman tertib. Rombongan lalu kembali masuk Gedung DPR. Diikuti para wartawan, anggota DPR, juga Ade.
Ketika Ade sedang berjalan, di sela ribuan orang, ada emak-emak melontarkan kata kasar ke Ade: "Munafik. Pengkhianat. Buzzer..."
Ade tidak menghiraukan. Terus berjalan. Tapi emak-emak bersama rombongan, terus memaki Ade. Berulang-ulang. Ada yang berteriak, tertuju ke Ade: "Kamu penista agama. Kami puasa ini."
Akhirnya Ade bertanya ke emak-emak: "Maksud ibu apa? Saya gak ngerti."
Tahu-tahu, ada pria memukul kepala Ade dari arah belakang. Kena pukulan, Ade berusaha melawan. Saat itulah, siatuasi kacau. Banyak orang mengeroyok Ade. Pukulan bertubi-tubi. Celana Ade dilorot, dibuang.
Beruntung, ada dua polisi melihat itu. Langsung, menyingkirkan massa. Dibantu beberapa polisi lagi, Ade diselamatkan dari terkapar di aspal. Meski wajahnya bonyok. Kedua matanya terkatup, berdarah-darah.
Celananya hilang. Tinggal kaos hitam bertulisan "Indonesia untuk Semua". Dan, celana dalam hitam merosot, karena sudah terkoyak. Ade benar-benar diselamatkan polisi dari maut. Sampai tadi malam ia dirawat di RS Siloam Jakarta. Kondisi luka parah.
Diketahui, di antara ribuan pendemo, ada kelompok emak-emak mengenakan jaket seragam bertulisan 'We Are With IBHRS'. Emak-emak ini tak berbicara saat ditanya wartawan, tujuan mereka ikut demo.
Kapolri Listyo kepada wartawan mengatakan, ia mendapat laporan dari anggota di lapangan, bahwa ada pendemo ditangkap karena membawa senjata tajam.
Ade pasti mengira, pendemo mahasiswa. Semuanya. Padahal, demo terbuka untuk umum. Siapa pun bisa nimbrung di situ. Dan, setelah bergabung, karakter mereka berubah jadi karakter kelompok.
Gustave Le Bon, dalam bukunya yang terkenal "The Crowd: a Study of the Popular Mind (Paperback, 2016) menyatakan, peserta demo berubah dari individu jadi kelompok massa.
Disebutkan, bahwa perubahan karakter individu terjadi dalam tiga tahap: Perendaman atau pendalaman, penularan, dan sugesti.
Selama perendaman, para individu dalam kerumunan, kehilangan rasa diri individu dan tanggung jawab pribadi. Disebabkan oleh anonimitas kerumunan.
Gustave Le Bon (7 Mei 1841 - 13 Desember 1931) adalah ilmuwan bidang sosiologi, psikologi, antropologi, kedokteran, dan fisika.
Disebutkan, setelah proses perendaman, masuk ke penularan. Individu yang masuk dalam kerumunan, cenderung mengikuti ide-ide dominan dan emosi dari kerumunan. Individu tertular ide kelompok.
Setelah itu, masuk ke tahap sugesti. Atau hasutan. Kata-kata di antara orang di dalam kelompok, otomatis menyalurkan sugesti hasutan.
Misal, ada yang berteriak: "Bakar..." Itu bagai komando buat para individu dalam kelompok. Contoh, demo mahasiswa di Gedung DPR, diawali lemparan botol minuman dari massa ke polisi. Kemudian meningkat, lemparan aneka benda, termasuk batu ke polisi. Akhirnya polisi menembakkan gas airmata dan semprotan pemadam kebakaran.
Menurut buku The Crowd, efek ini mampu menyebar di antara individu dalam kelompok yang "terendam", seperti virus pada penyakit menular.
The Crowd: "Perilaku ini berasal dari ketidaksadaran bersama yang kuno dan karena itu sifatnya tidak beradab. Itu dibatasi oleh kemampuan moral dan kognitif dari anggota yang paling tidak mampu."
Le Bon percaya, bahwa kerumunan bisa menjadi kekuatan yang sangat kuat hanya untuk kehancuran.
The Crowd: "Anggota kerumunan merasa, bahwa rasa bersalah mereka terkait hukum, berkurang. Karena, mereka paham, polisi bakal kesulitan dalam menuntut anggota individu dari massa."
Maksudnya, jika individu diperiksa polisi atas pelanggaran hukum, mereka bisa berkilah: "Yang melakukan bukan hanya saya. Tapi, semua orang."
Singkatnya, individu yang tenggelam dalam kerumunan kehilangan kendali diri ketika "pikiran kolektif" mengambil alih. Sehingga, membuat anggota kerumunan mampu melanggar norma-norma hukum dan sosial, dengan entengnya. Memukul, menendang, melorot celana Ade Armando.
Di kasus ini ada mis-komunikasi. Ade sudah mengatakan kepada wartawan, bahwa ia mendukung demo tersebut. Membela aspirasi mahasiswa pendemo. Lalu, beberapa menit kemudian ia keluar Gedung DPR, mengikuti rombongan Kapolri.
Sementara, ucapan Ade itu belum sempat dimuat media massa. Dan, kerumunan pendemo belum sempat baca berita, bahwa Ade mendukung pendemo. Massa mengira, Ade masih pendukung Presiden Jokowi dalam segala bidang. Yang ditafsirkan pendemo: Ade berseberangan dengan pendemo.
Mis-komunikasi menghasilkan mis-match. Hasilnya, bonyok.
Advertisement