Bonek Mbencekno Dulu, Bonek Ngangeni Kini
Persebaya juara Liga 2. Membanggakan. Perkembangan bonek sebagai suporter setia bajol ijo mengesankan. Ini yang bisa dipetik dari laga final Persebaya lawan PSMS Medan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Selasa malam (28/11/2017).
Laga ini memang mengantarkan Persebaya jadi kampiun liga di tahun pertama kembali berlaga. Kemenangan berarti karena 4 tahun lebih absen dari kompetisi bola di Indonesia. Padahal, inilah klub legendaris yang ikut mendirikan PSSI. Juga klub yang punya suporter loyal yang ngidab-ngodabi.
Saya secara khusus datang ke Bandung untuk ikut merasakan aura kemenangan Persebaya itu. Juga ingin menyaksikan bagaimana bonekmania mendukung tim kesayangannya sekaligus merayakan kedigdayaan tim yang jadi kebanggaannya.
Karena itu, saya duduk di tribun bersama bonek yang datang dari berbagai daerah. Di tribun barat stadion GBLA yang berkapasitas 77 ribu penonton ini. Meski sempat rintik-rintik, untung selama pertandingan tidak hujan. Kalau pun hujan harus rela untuk berbasah-basah.
Di tribun selatan yang dipenuhi bonek, Song for Pride tak pernah berhenti dinyanyikan. Teriakan dukungan terus bergema. Mereka melakukan itu dengan tertib. Tidak ada teriakan-teriakan SARA dan kotor. Menggetarkan. Amazing.
Ini sangat berbeda dengan saat saya masih menjadi Ketua Umum Persebaya 11 tahun lalu. Terkadang ada yel-yel yang menakutkan. Tidak jarang muncul kata ''bunuh'' saat menyanyikan lagu sindiran untuk klub lain. Itu yang sering mencemaskan saat itu.
Spanduk-spanduk Bonek yang bertebaran di keliling lapangan juga hanya berisi semangat dan dukungan kepada klub. Banyak juga yang bernada kerinduan akan kedigdayaan kembali Bajol Ijo. Juga janji tetap mendukung dalam kalah dan menang.
BONEK YANG TELAH BERUBAH
Sungguh bonek telah berubah. Padahal, dari segi umur rata-rata bonek yang hadir juga tidak jauh berbeda dengan masa lalu. Mereka ada yang masih anak-anak, remaja dan dewasa. Semua bersikap positif.
Tak ada lagi lempar lempar botol ke lapangan. Memang saat masuk stadion, suporter tidak boleh membawa botol minuman. Yang masih membawa botol, harus dituang ke plastik yang disediakan panitia. Botolnya harus rela ditinggal di pintu masuk.
Namun, di dalam banyak penjual minuman berbotol. Karena itu, kalaupun bonek usil melempar botol ke lapangan bisa saja dilakukan. Mereka bisa beli minuman resmi yang hilir mudik di tribun-tribun.
Sempat di babak pertama ada penonton dari pojok tribun barat yang melempar botol ke lapangan. Apa yang terjadi? Hampir sebagian besar suporter bonek berteriak menyesalkan.
''Ndeso...ndeso...,'' katanya hampir serentak.
Saya masih deg-degan. Bagaimana nanti kalau menang. Bagaimana kalau kalah. Maklum perasaan seperti itu yang selalu menghantui saat mengurus Persebaya dulu.
Saat itu, menang atau kalah bisa saja Bonek membikin ulah. Seperti saat final Devisi 1 antara Persebaya lawan Persis Solo di Stadion Brawijaya Kediri 2006. Di ujung pertandingan, saat skor 2:0 untuk Persebaya, Bonek tiba-tiba masuk lapangan. Itu terjadi di di menit 82. Bubarlah pertandingan. Tak bisa dilanjutkan.
Saat pertandingan Divisi Utama antara Persebaya lawan Arema di Gelora Tambaksari 2007, tiba-tiba terjadi kerusuhan. Di luar stadion, ada pembakaran mobil. Peristiwa yang mengenaskan itu terjadi saat saya bersama rombongan Pemkot Surabaya sedang berdinas di Guangzhou, China.
Di GBLA Bandung kali ini, semua was-was itu tak terasa. Saat kemenangan diraih Persebaya dan menjadi juara, Bonek merayakannya dengan tertib. Mereka tetap duduk di bangkunya masing-masing. Kalau pun melonjak-lonjak kegirangan tidak beranjak dari tempatnya semula.
Ada sebagian suporter yang melompat pagar dan masuk lapangan. Mereka ingin lebih dekat dengan para pemain yang menjadi pahlawan mereka. Namun, begitu diingatkan panitia untuk kembali, mereka pun nurut. Tidak memaksa menyerbu ke tengah lapangan. Hebat!
Para ofisial dan pemain pun sangat menghormati para suporter setianya. Sebelum penyerahan tropi, semuanya mendekati tribun. Menyapa dan menghormat ke pendukungnya. Luar biasa. Semua berjalan lancar, tertib dan aman.
Memang sepanjang kompetisi ini ada beberapa kejadian bentrok dan ulah kurang menyenangkan dari bonek di luar lapangan. Namun, itu tak semengerikan seperti yang terjadi di masa lalu. Hanya kenakalan-kenalakan biasa. Tak lagi menakutkan seperti dulu.
HASIL PERJUANGAN BONEK
Mengapa bonek saat ini bisa berubah tak mbencekno seperti dulu?
Pertama, hidupnya kembali Persebaya setelah mati suri selama 4 tahun merupakan perjuangan mereka. Bonek mania bisa disebut sebagai pahlawan sehingga Persebaya kini bisa juara. Mereka secara konsisten mempertahankan eksistensi Persebaya ini meski sempat berusaha disingkirkan atau diganti dengan segala cara.
Mereka pasti tidak ingin perjuangannya yang heroik bertahun-tahun, mulai dari saat ''disingkirkan'' PSSI sampai dengan diijinkannya kembali berlaga dalam kompetisi Liga 2 tahun ini. Mereka tidak ingin menciderai perjuangannya dan berusaha membangun kembali citra baik bonek. ''Dalam keadaan apa pun bonek tetap di belakangmu, Persebaya,'' demikian yang ada dalam pikiran mereka.
Kedua, manajemen baru yang mengelola Persebaya secara modern dan profesional punya andil besar. Mereka bisa membangun industri bola masa kini. Punya tim yang bagus, mampu mengelola suporter dengan baik, membuat sistem ticketing yang baik, dan secara tidak langsung meminimalisir ruang kenakalan bonek. Aparelnya pun menjadi bagian dari bisnis yang mengasikkan.
Kepemilikan oleh Jawa Pos membuat Persebaya menjadi industri bola yang cepat berkembang. Kepercayaan mitra bisnis terhadap media terbesar di Jatim ini membuat Persebaya lebih gampang menggaet sponsor. Juga lebih gampang membangun brand baru Persebaya sebagai klub modern. Dan yang penting, dengan mudah mensosialisasikan program klub ke publik bola.
Ketiga, sumber pendanaan klub yang murni dari kegiatan komersial membuat Persebaya terlepas dari politisasi. Ini berbeda dengan satu dekade yang lalu. Saat itu, sumber pendanaan klub bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah). Politisasi menjadi tidak bisa dihindarkan karena terkait langsung dengan kekuasaan dan pemerintahan. Klub bola menjadi alat politik dan suporter pun tak steril dari politisasi.
Kisruh berkepanjangan di Persebaya sampai dengan mati surinya selama 4 tahun lebih sangat terkait dengan dinamika politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dualisme PSSI yang sampai menghasilkan liga kembar beberapa tahun lalu adalah awal dari tenggelamnya Persebaya dari kompetisi untuk beberapa tahun terakhir.
BONEK ALAT KONSOLIDASI
Kini Persebaya telah kembali ke jalan kebesarannya. Kemenangan demi kemenangan telah diraih. Gelar juara telah digenggamnya. Kebanggaan bonek akan klub kesayangannya telah berhasil dibangun kembali. Demikian juga kesetiaan mereka telah diuji.
Persebaya sebagai klub legenda di Indonesia memang harus terus berbenah. Menyongsong masa depan yang lebih cerah. Sampai kemudian mampu mengukir sejarah berikutnya untuk menjadi klub yang disegani di kasta yang lebih atas. Kalau perlu menjadi juara di Liga 1 tahun depan.
Namun, sejarah pasang surut Persebaya tampaknya tak boleh dilupakan. Diantaranya adalah sejarah dari peran klub-klub anggota Persebaya yang menjadi ibu kandung klub kebanggaan warga Surabaya. Ini barangkali pekerjaan rumah yang masih tersisa.
Sebab, sampai saat ini, klub anggota Persebaya masih terbelah. Bahkan, klub legenda anggota Persebaya masih ada kesan yang tersingkirkan. Barangkali saatnya ada rujuk besar antar klub anggota Persebaya. Dengan manajemen modern seperti sekarang, owner Persebaya yang baru bisa berperan banyak.
Misalnya, dengan menyelenggarakan turnamen atau kompetisi rutin antar klub anggota secara lengkap. Dari situ, bisa juga menjadi sumber munculnya pemain baru yang hebat hasil binaan klub anggota. Manajemen Persebaya baru yang telah berpreestasi ini pasti mampu menjadi rekonsiliator untuk semua klub anggota.
Yang tak kalah penting, banyak piala dan artefak perjalanan panjang Persebaya sejak berdiri tahun 1927. Barangkali, sudah perlu mulai dipikirkan membuat Museum Persebaya. Biar banyak piala yang menggambarkan kebesaran Persabaya tidak kesepian di Mess Persebaya Karanggayam.
Kalau Museum Persebaya itu bisa diwujudkan, pasti Bonek akan makin setia.
*) Arif Afandi adalah Ketua Umum Persebaya 2005-2007