Bonek Manchester
Kita tidak pernah tahu kapan sebuah mimpi menjadi kenyataan. Bahkan, mimpi bisa menyaksikan laga klub kebanggaan banyak orang. Misalkan laga klub papan atas sepak bola Inggris seperti Manchester City dan Liverpool.
Saya dapat momentum mewujudkan mimpi itu. Saat, klub bola berjuluk The Sky Blue atau Citizen tersebut menjamu The Reds di Etihad Studium. Laga penting karena keduanya selalu bersaing menuju puncak dalam setiap kompetisi.
Kebetulan, saya sedang ada agenda yang mengharuskan saya ke Inggris. Menghadiri wisuda anak yang sedang lulus paska sarjana di University of Glasgow. Tiga hari sebelumnya, laga yang bisa disebut North West Derby berlangsung. Dua klub papan atas yang sama-sama pemegang mahkota juara Liga Inggris.
Inilah mimpi lama. Sejak saya mengenal sepakbola. Apalagi saat menjadi Ketua Umum Persebaya –kini disebut dengan Presiden Persebaya. Bukan sekadar ingin menyaksikan Pep Guardiola dan Jurgens Klopp adu taktik. Tapi pingin tahu manajemen laga dari liga terbaik dunia.
Sebelum berangkat ke Inggris, saya minta anak untuk mencarikan tiket laga tersebut. Bagaimana pun caranya. Sebab, seperti umumnya laga besar, mencari tiket pasti agak sulit. “Kalau terpaksa, biasanya bisa beli di calo. Pasti nanti akan ada yang nawari,” kata Yusuf Arifin Dalipin, bos Kumparan.com yang pernah bekerja di Manchester City.
Nasib sedang mujur. Tanpa lewat calo saya bisa mendapatkan tiket. Tidak tahu bagaimana anak saya bisa memperolehnya. Yang penting bisa menyaksikan laga penting ini secara langsung. Ikut merasakan suasana gegap gempita Etihad Studium oleh fans Citizen dan The Reds. Di box VIP lagi. Yang ada layanan hospitality.
Etihad Stadium tak jauh dari pusat kota. Bisa ditempuh dengan angkutan umum. Ada tram, bus, taksi dan taksi online. Tak jauh juga dari kawasan perumahan. Banyak supporter yang jalan kaki berombongan menuju stadion. Seperti sebagian arek Bonek yang berbondong-bondong datang saat Persebaya laga.
Saya mendapatkan tiket di boks The Ardwick. Salah satu bar yang ada di tribun timur Etihad Studium. Tidak di tengah. Tapi di ujung sisi selatan stadion. Separo dari tribun disamping saya sudah menjadi arena fans Liverpool yang datang dengan rombongan bis maupun sendiri-sendiri. Mereka berisik sepanjang pertandingan.
Manchester dan Liverpool memang tidak terlalu jauh. Perjalanan sejam dengan kereta api. Seperti Surabaya ke Malang. Cuma aroma persaingan antar suporternya tidak seperti Aremania dengan Bonek. Persaingan di lapangan yang seru. Dua klub ini punya kekuatan yang dahsyat di semua lini. Juga pelatihnya.
Seperti di Indonesia, supporter tim lawan selalu mendapat perlakuan khusus. Mulai pintu masuk ke stadion sampai dengan tribunnya. Kumpulan fans Liverpool ini juga mendapat penjagaan ketat dari security stadion. Termasuk barikade pengaman yang memisahkan nereka dengan suporter tuan rumah. You”ll Never Walk Alone berkali-kali menggema di kandang City.
Etihad Stadium terdiri atas tiga lantai tribun. Di sisi barat dan timur, sepanjang lantai 2 menjadi tempat suporter VIP. Kelas penonton ini pun masih dibagi-bagi. Mulai VVIP sampai dengan yang hanya VIP. Harga tiketnya beragam. Saya mendapatkan tiket kelas terendah VIP dengan per tiket hampir GBP 250 atau setara 5 jutaan rupiah.
Masuk melalui pintu utama sisi timur yang disebut dengan East Reception. Asyik. Tidak perlu antre. Dengan hanya memperlihatkan tiket online, petugas perempuan dengan ramah menunjukkan arah boks tempat saya menonton. Karena kick off masih lama, ia mengantarkan ke Ardwick Bar yang menjadi tempat makan dan minum suporter VIP termurah.
Saya mendapat kursi baris kedua nomer 26. Di depan saya masih ada satu baris kursi berisi enam orang. Depan kursi itu ada pagar yang menjadi pembatas antara suporter VIP dengan suporter biasa. Di sebelah kiri boks ini ada tempat khusus untuk para penonton difable. Deretan kursi roda berada di situ.
Semua penonton tidak boleh membawa tas. Harus ditinggal di tempat penitipan yang ada di luar stadion, Kecuali tas belanja dari ManCity Store. Toko marchandise klub bola milik konglomerat UAE Syekh Mansoet Zayed Al Nahyan ini sangat ramai jelang pertandingan. Tokonya terdiri dari dua lantai. Lokasinya terpisah dari stadion. Hanya berada dalam satu kompleks.
Ada beberapa pintu masuk ke dalam kompleks stadion. Juga ada tempat parkir mobil khusus yang bisa dipesan –tentu dengan membayar– oleh suporter yang membawa kendaraan pribadi. Semuanya serba tertata. Baik alur penonton yang memakai kendaraan sendiri, pakai tram dan yang menggunakan alat transportasi khusus.
Stadion juga telah dilengkapi sound system permanen yang cukup. Baik di dalam maupun di luar stadion. Sehingga setiap pengumuman dan musik yang keluar dari sound system itu terdengar jelas. Tampak sekali sudah diperhitungkan sesuai dengan kapasitas akustik yang dibutuhkan. Tidak perlu sound system tambahan sewaan seperi setiap laga di Gelora Bung Tomo.
Lima puluh ribu lebih penonton bisa tertib saat jelang maupun usai laga. Tidak ada kemacetan di sekitar stadion. Ketika pulang pun ribuan supporter antre mengular untuk menunggu tram datang. Tak ada yang berebut. Semuanya sudah berjalan secara mekanis dan tertata dengan rapi.
Tampaknya menata pertunjukan besar memang membutuhkan imajinasi pengelolanya secara matang. Mulai dari penyediaan tiket sampai dengan transportasi publiknya. Di Etihad sampai ada tram khusus yang beroperasi hanya saat ada event di stadion. Jika tidak ada, maka transportasi publik itu tak beroperasi.
Ide menyediakan shuttle bus saat pelaksanaan Piala Dunia U17 di Gelora Bung Tomo kapan hari sangat bagus. Sayangnya, sosialisasinya kurang dan penataan jalur kepulangannya masih tidak teratur. Banyak penonton saling berebut bus yang masing-masing tujuan “lupa” tidak diatur pula.
Menonton di Etihad Studium terasa nyaman dan aman. Meski saya hanya sendirian, tak merasa sebagai orang asing diantara para suporter The Citizens. Apalagi tidak ada perbedaan mencolok antara pendukung The Reds dan The Sky Blue di dalam stadion. Suhu udara yang mendekati 1 derajat celsius menjadikan semua penonton lebih dominan dengan kostum jaket warna hitam.
Yang membedakan suporter The Reds dan The Citizens hanya berisiknya. Sebagai penonton asing saya menikmati semuanya. Meski merasa merinding juga mendengar anthem keduanya bergema di stadion dengan kapasitas 53.400 ini. Kebetulan, boks tempat saya menonton disamping kelompok Liverpudlian.
Untuk Liga Inggris, saya bukan loyalis salah satu klub. Saya penggemar Mancity, Liverpool, dan Arsenal. Belakangan mulai tertarik dengan Tottenham Hotspur dan Newcastle United. Tidak seperti Pak Mahfud MD –cawapres Ganjar Pranowo– yang mati urip mendukung Manchester United. Malah saya tidak pernah suka dengan klub sekota dengan Mancity itu.
Karena itu, saya sungguh menikmati permainan kedua klub di Etihad kemarin. Baik saat Hallan dan kawannya melakukan serangan, maupun saat Moh Salah merangsek ke depan gawang Mancity yang dijaga Ederson Moraes. Selama 90 menit pertandingan tak terasa meski suhu udara sangat dingin untuk ukuran suporter Persebaya.
Tapi menonton laga tanpa memihak salah satu klub bisa bikin blunder. Ini yang saya alami. Ketika Trent Alexander Arnold mampu menjebol gawang Moraes atas assist Salah, saya pun tanpa sadar berdiri dan berjingkrak sambil teriak girang.
Saya baru sadar saat menengok ke samping dan belakang. Semua mata memandang saya sambil terheran. Yah, saya ikut larut merayakan gol Liverpool di tengah supporter The Citizens. Untuk menutup malu, saya pun keluar boks menuju toilet. Tidak kembali ke tempat duduk sampai laga usai.
Ah, dasar bonek sedang kesasar di kandang Manchester!