Bonek Itu Seduluran Sampai Matek
Saya khusus datang di Gelora Bung Tomo (GBT) tadi malam. Ingin melihat langsung pertandingan Persebaya lawan Bhayangkara FC. Dua klub yang dalam sejarahnya sempat berebut nama besar Persebaya.
Juga karena sudah lama tidak merasakan suasana lapangan saat bersebaya berlaga. Sejak Djajang Nurdjaman menjadi pelatih bajol ijo. Sejak Persebaya mulai bangkit lagi di tangan pelatih yang pernah kursus di Inter Milan ini.
Tapi yang paling menggerakkan hati saya datang adalah boneknya. Bagaimana suporter paling fanatik se dunia ini memperlakukan klub "adik durhaka" Persebaya?. Klub yang pernah mengambil mahkota kebanggaannya.
Adakah dendam membara di hati para Bonek? Akankah mereka melampiaskan kegeraman lamanya terhadap "adik durhaka" yang pernah menyakiti dirinya? Akankah muncul cacian di Stadion untuk para pemain Bhayangkara?
Bravo....Bonek sekarang top tenan. Tak ada ungkapan rasis. Tak cacian untuk pemain Bhayangkara. Tiada rasa dendam di antara mereka. Mereka tetap fokus mendukung Persebaya tanpa peduli siapa lawan.
Pertandingan sempat berhenti karena ada protes dari tim lawan. Protes karena ada lemparan sesuatu ke arah lapangan. Suporter yang melempar itu pun diadili kawannya sendiri. Mereka digiring keluar lapangan oleh suporter lainnya.
Bravo Bonek. Kalau membayangkan 5 tahun lalu, tak mungkin suasana pertandingan yang asik seperti ini bisa terjadi. Ketika para pecinta Persebaya yang asli berjuang mati-matian menghidupkan Persebaya yang dimatikan. Perjuangan yang sangat lama.
Persebaya yang asli adalah Persebaya yang berdiri tahun 1927. Klub Persebaya yang klub internal legendaris. Bukan sekadar tim yang diambil dari tim lain tanpa ada benang sejarahnya. Klub yang tidak hanya menjadi anggota PSSI, tapi salah satu pendiri PSSI.
Namun setelah tahun 2010-an ada dualisme Persebaya yang diakibatkan oleh kebijakan PSSI. Di saat manajemen Persebaya 1927 tersingkir dari mainstream PSSI, lahirlah klub Persebaya yang diambil dari Persikubar Kutai Barat. Tim dari tanah Kalimantan ini dibeli dan diberi baju Persebaya.
Bonek pecinta Persebaya yang berdarah daging arek Surabaya berontak. Skala pertarungan tak hanya antar pengurus Persebaya 1927 bersama Bonek dan Persebaya eks Mitra Kukar. Tapi meluas menjadi pertarungan dengan PSSI. Bonek menggugat ketidakadilan PSSI soal ini.
Saya yang pernah menjadi Ketum Persebaya 2005-2007 sering didatangi arek-arek Bonek. Kepada mereka, beberapa kali saya mengusulkan agar mereka dibiarkan hidup. Biar alam yang menentukan. Bukankah di Eropa banyak kota yang mempunyai lebih dari dua klub. Seperti Manchester United dan Menchester City. Seperti Real Madrid dan Atletico Madrid.
Saya usulkan biar saja ada dua Persebaya. Persebaya dan Persebaya City atau Persebaya United atau Persebaya apa saja. Bedanya Persebaya yang satu punya benang sejarah dengan klub legendaris Surabaya, satunya klub lain yang diberi baju Persebaya United atau City.
Yang penting Persebaya asli harus berbenah. Harus dikelola secara profesional menjadi industri yang membanggakan kota. Kurang lebih seperti yang pernah saya usulkan saat saya menjadi Ketum Persebaya dan paska APBD tak boleh lagi membiayai klub bola profesional. Harus ada investor yang gila bola dan cinta mati Persebaya.
Tapi saking cintanya dengan Persebaya yang asli, bonek tak mau dengan skema itu. Mereka lebih memilih berjuang terus. Dengan biaya sendiri, mereka nglurug PSSI. Menuntut pengakuan Persebaya 1927. Mereka berjuang habis-habisan agar eksistensi Persebaya sebagai pendiri PSSI dipulihkan. Mereka boikot pertandingan-pertandingan Mitra Kukar berbaju Persebaya.
Perjuangan bonek Surabaya lambat laun menuai hasil. Hak paten merek dan logo Persebaya dikeluarkan Depkum-HAM. Gugatan hak atas nama dan logo Persebaya juga dimenangkan lewat pengadilan Niaga Surabaya. Persebaya yang tidak asli terlempar. Ia harus berganti nama. Mulai Surabaya United, Persebaya Bhayangkara, sampai akhirnya menjadi Bhayangkara FC yang baru saja dikalahkan Persebaya di depan 20 ribu bonek di Gelora Bung Tomo.
Dalam proses perjuangan panjang bonek itu, Persebaya 1927 mendapatkan investor penggila bola dan bonek asli Dahlan Iskan dan anaknya Azrul Ananda. Di tangannya, Persebaya yang bertahun-tahun mati suri bangkit kembali. Menjadi juara Liga 2 dan kini menapak ke 5 besar Liga 1 kompetisi bola terelit di Indonesia.
Bravo Bonek. Perjuangan panjangnya telah mendapatkan hasil gemilang. Sebelum pertandingan tadi malam, saya sempat ngobrol panjang dengan Ulik --panggilan akrab Presiden Persebaya Azrul Ananda. Ia bercerita tentang visi ke depan pengeloaan Persebaya. Menjadikan Persebaya sebagai klub bola industri terdepan di Indonesia.
Ia juga menunjukkan inovasi barunya untuk balas budi ke bonek yang telah membuktikan cinta sampai matek ke Persebaya. Ia siapkan aplikasi "KTP Bonek" yang modern dan sepenuhnya untuk Bonek. Lewat aplikasi itu, keanggotaan bonek terdata dan berbagai keuntungan bagi bonek bisa didapat. Uangnya tidak masuk Persebaya tapi untuk pembinaan Bonek.
Pengelolaan klub yang makin baik, komitmen pengelola Persebaya yang besar terhadap suporternya, dan pengalaman jatuh bangun Persebaya selama ini telah membuat Bonek makin dewasa. Bonek telah tunjukkan kecintaannya ke Persebaya dengan benar. Chant-chantnya di Stadion bikin merinding lawan. Tanpa ada teriakan rasis dan ujaran kebencian.
Bonek bukan lagi suporter bondo nekat. Bonek kini adalah identik dengan suporter Persebaya yang cinta sampek elek (sampai jelek) ke klubnya. Suporter yang menganut prinsip Seduluran Sampek Matek (persaudaraan sampai mati) dengan sesama. Menganggap saudara meski ke mantan adiknya yang durhaka.
Hanya satu yang perlu dijaga. Jangan ganggu harga diri Bonek yang cinta setengah mati ke klubnya. Mestinya, suporter klub lain belajar bagaimana Bonek membangun diri menjadi suporter bola yang dewasa dan membanggakan.
Nggak percaya? Lihatlah saat mereka mendukung Persebaya berlaga di lapangan. Bravo Bonek Persebaya. Bravo manajemen Baru Persebaya. (Arif Afandi)