Bondo Nekad Tidak Cukup untuk Menaklukkan Kerasnya Jakarta
Persaingan hidup di Kota Metropolitan Jakarta yang cukup keras membuat warga, bersikap bondo nekad. Terutama bagi para pendatang yang mengadu nasib di ibu kota ini. Meski begitu, mereka akan menemui banyak kesulitan jika cuma 'bondo nekad'.
Tanpa memiliki kemampuan yang cukup, tak sedikit dari mereka yang hanya bisa berkhayal dan bermimpi menjadi orang sukes di ibu kota. Sebab, hanya dengan modal keberanian dan keyakinan tidak cukup untuk menaklukkan kerasnya persaingan di Jakarta.
Warga yang kalah akan tersisih. Namun tak sedikit pula yang melakukan berbagai upaya untuk nenutupi kekalahannya. Salah satunya dengan menipu dan melakukan kebohongan.
Di Jakarta, bisa dimaklumi, ada orang yang tiba tiba mengaku karyawan pajak Kementerian Perhubungan, Badan Pertanahan Nasional ( BPN) , Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM. Pengakuannya itu hanya untuk gaya-gayaan demi gengsi. Sebab, pekerjaan aslinya tidak nyambung dengan instansi yang dicatut.
Kasus seperti itu terjadi karena pengaruh gaya hidup di Kota Metropolitan yang gemerlap dan glamour. Sehingga gengsi menjadi bagian yang cukup penting, meskipun terkadang harus berbohong dan mencatut nama instansi tertentu.
Ini salah satu contohnya. Seorang pendatang asal Purwokerto Jawa Tengah, bernama Sunarko. Pria lulusan SMP ini sudah 10 tahun bertarung menaklukkan Jakarta. Ia tinggal di rumah kos yang berdiri di atas bantaran sungai Ciliwung kampung Melayu Jakarta Timur.
Ayah anak semata wayang ini tergolong orang yang jaga image atau "Jaim" berat. Bahasa sehari-harinya pun menggunakan dialek Betawi. Lu, gue, bokab sebagai pengganti bapak, nyokab untuk menyebut ibu.
Tapi terkadang 'keplicuk' dengan bahasa kampungnya sepeti ketika memarahi anaknya. '"Kepriben bocah wis kaplak klaweran bae, belih gelem ngandang", (Bagaimana, sudah besar kok kluyuran saja tidak mau pulang).
Sunarko kepada teman-temannya di kampung, mengaku sebagai karyawan pajak yang bertugas wilayah Jakarta Timur. Kebohongannya itu terungkap, ketika salah seorang temannya memorgokinya. Ketika itu, Sunarko adalah seorang yang kerjanya tukang palak pedagang kaki lima di kawasan Terminal Bus Kampung Melayu. Dia setiap hari memungut 'pajak' liar dari pedagang makanan dan minuman di tempat ini.
Postur tubuh Sunarko yang kekar, membuat dia ditakuti oleh pedagang kaki lima. Dagangannya takut diobrak-abrik bila sampai tidak diberi uang. Candaan Sunarko, yang dilakukan petugas bea cukai dengan dirinya sama. "Cuma enyong gak punya kantor gitu bae," katanya.
Dalam pengamatan ngopibareng.id, mengaku-ngaku sebagai karyawan instansi ternama, merupakan modus untuk menjaga wibawa.
Ada seorang tukang gali tanah untuk pemasangan kabel dan pipa jaringan air bersih. Ia mengaku sebagai karyawan Badan Pertanahan Nasional.
Pembantu pengatur lalu lintas di perempatan jalan kampung juga ikut-ikutan latah. Tak mau disebut Pak Ogah, kepada temannya di kampung ia mengatakan sebagai karyawan Dinas Perhubungan.
Ada lagi. Seorang pedagang minyak dan gas elpiji keliling. Untuk menjaga wibawa di kampung, dia mengatakan bahwa dirinya sebagai karyawan di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM.
Ada yang mengakui bekerja di biro perjalanan yang kerjanya berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Ternyata, dia manusia gerobak yang tidak punya rumah, dan bekerja sebagai pengumpul barang bekas.
Pura-pura, ternyata juga melanda dunia hiburan. Sunarsih, asal Indramayu Jawa Barat, di kampungnya ia bercerita pada teman-temannya sebagai penyanyi di tempat hiburan malam papan atas di Mangga Besar Jakarta Barat. Sunarsih yang memakai nama samaran Susan, sempat dipergoki temannya, sedang ngamen di dekat Stasiun Jatinegara. Yakni tempat berkumpulnya sopir Angkot, Metromini, Kopaja, ojeg dan bajaj.
"Susan itu nama aslinya Sunarsih. Dia tetangga saya," kata salah seorang sopir angkot, Sukiman kepada ngopibareng.id Sabtu 7 Desember 2019 malam.
Di kampungnya ia mengaku biduan elit. "Setiap malam menghibur sambil menemani bos-bos minum. Kalau pulang kampung, sudah tidak seperti perempuan desa lagi," cerita Sukiman.
Menurut Sukiman, bila malam minggu biasanya ramai. Karena itu ada yang nyiapkan panggung untuk pemusik dan penyanyi dan mereka yang ingin berjoget. Syaratnya harus 'nyawer'.
Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo secara terpisah mengatakan perilaku menyimpang seperti ini adalah sebuah fenomena menjaga wibawa yang berlebihan, sehingga harus berbohong. "Saya menganggap mereka dipengaruhi oleh waham kebesaran. Artinya ingin disebut sebagai orang hebat, tapi tidak sesuai dengan aslinya," kata Imam Prasojo.
Supaya tidak menyiksa diri, nikmati saja hidup ini apa adaya dengan tetap bersyukur dan bekerja keras. "Jangan sok gengsi," pesan Imam Prasodjo.
Advertisement