‘Bolo Dupak’ Ngalap Berkah 1 Abad NU
Bulan Januari ini genap 1 tahun aku menjadi bagian dari PBNU.
Diumumkan menjadi pengurus pada tanggal 12 Januari di Jakarta lalu dilantik pada tanggal 31 Januari di Balikpapan, Kalimantan Timur. Itulah babak baru dalam kehidupanku: Dadi ‘Bolo Dupak’ di PBNU, persisnya menjadi wakil sekjen PBNU (seperti pernah kutulis di FB pada 16 Januari 2022).
Tahun ini usia Nahdlatul Ulama (NU) akan genap 100 tahun atawa Satu Abad menurut almanak Hijriah. Persisnya pada 16 Rajab 1444 H yang bertepatan dengan 7 Februari 2023. Menyambut Hari Lahir (Harlah) tersebut PBNU telah menyiapkan sejumlah agenda yang akan menandai abad baru dalam perjalanan khidmahnya bagi warga nahdliyyin, bangsa dan dunia. Sejumlah agenda yang telah diselenggarakan antara lain: NU-Women, NU-Tech, Gerakan Pemberdayaan Ekonomi NU, dan G20 Religion Forum (R20).
Alhamdulillah sebagai ‘bolo dupak’ sejumlah tugas kecil diberikan padaku dalam rangkaian perhelatan itu, khususnya R20. Dalam acara mengumpulkan para pemimpin agama sedunia dalam rangkaian G20 tersebut, tugas sebagai jubir alias juru bicara atawa ‘juru bibir’ dibebankan padaku. Sembari belajar dan mencari ilmu dari berbagai pihak, aku mencoba menjalankan tugas sebaik-baiknya. Semoga, sih, hasilnya tidak terlalu mengecewakan.
Selain itu, sejumlah agenda lain sedang dipersiapkan, di antaranya Pekan Oleh Raga dan Seni (Porseni) NU, Festival Tradisi Islam Nusantara, Muktamar Internasional Fiqih Peradaban dan puncaknya adalah Resepsi Akbar 1 Abad NU. Tulisan pendek ini akan coba membahas dua agenda terakhir di mana aku diberi sejumlah tugas untuk ditunaikan.
Sebuah kenduri besar sudah disiapkan untuk digelar di Stadion Delta Sidoarjo pada saat Hari Lahir (Harlah) NU ke-100 pada 7 Februari 2023. Direncanakan sekurangnya satu juta warga Nahdliyyin akan berkumpul, bartafakur dan bertasyakur pada hari itu. Bukan hanya dari Jawa Timur dan Jawa saja, namun dari seluruh penjuru tanah air, bahkan dunia…
Jika tak ada aral, Presiden Jokowi juga akan hadir dalam momen tasyakur yang sekaligus merupakan ajang ‘unjuk keindahan’ (show of beauty) Islam Nusantara dalam aneka wujudnya itu. Bahkan sejumlah komunitas lintas-agama juga berminat ikut hadir merayakan.
Senin lalu, 2 Januari 2023, Ketua Umum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf bersama delegasi melakukan audiensi, melaporkan sejumlah agenda, dan sekaligus menyampaikan undangan kepada beliau. Aku kebetulan ikut nyempil dalam delegasi tersebut. Alhamdulillah, beliau menyatakan berkenan hadir.
Nah, persis sehari sebelum Harlah NU tersebut, pada 6 Februari 2023, akan digelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Surabaya. Acara tersebut insyaallah akan dihadiri oleh para ulama dan fuqaha terkemuka dari berbagai negara, termasuk Syaikh Ahmad Al-Thayib (Grand Syaikh Al Azhar), Syaikh Syauqi Ibrahim Allam (Mufti Besar Mesir), Syaikh Abdullah bin Mahfudh Ibn Bayyah (Majelis Hukama Al-Muslimin, Uni Emirat Arab), Prof. Koutoub Moustapha Kano (Sekjen Council of Islamic Fiqh Afrika).
Direncanakan ratusan ulama dan fuqaha dari berbagai negara tersebut juga akan hadir dalam Resepsi Akbar Satu Abad NU di Sidoarjo keesokan harinya. Lalu apa topik Muktamar Fiqih Peradaban tersebut dan apa urgensinya?
Halaqah fiqih peradaban pada dasarnya merupakan ikhtiar PBNU untuk merespon konteks peradaban yang berubah drastis sejak tumbangnya kekhilafan Turki Usmani. Sejak itu bertumbuhlah konstruk baru tatanan ekonomi-politik berdasarkan konsep negara-bangsa (nation state) menggantikan konsep kekhilafan (imperium), termasuk di dunia Islam. Namun demikian, pemikiran fiqih siyasah yang berkembang di dunia Islam sebagian besar masih bersandar pada konstruksi lama berbasis khilafah tersebut.
Nah, untuk itulah PBNU menggelar rangkaian halaqah fiqih peradaban yang berpuncak pada Muktamar Internasional fiqih peradaban. Acara tahunan yang pertama kali digelar ini mengambil topik mengenai pandangan fiqih terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dideklarasikan pada 24 Oktober 1945. Piagam tersebut merupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional yang digelar pada 26 Juni 1945 di San Fransisco.
Legitimasi Fiqih
Mengapa memilih topik legitimasi fiqih terhadap Piagam PBB?
Menurut Gus Staquf, hingga kini dunia masih dibayangi oleh konflik identitas dan agama atau yang mengatasnamakan agama. Sebenarnya itu merupakan warisan lama, khususnya ketika konstruksi peradaban masih berdasarkan atas struktur politik kerajaan yang acap melekat dengan identitas agama. Peradaban konstruksi peradaban berbasis negara-bangsa tersebut berpundak dengan lahirnya PBB yang dalam piagamnya memuat pasal tentang hak asasi manusia universal dan kemerdekaan negara bangsa.
Sayangnya, menurut kyai asal Rembang Jawa Tengah tersebut, pokok-pokok fikiran yang ada dalam Piagam PBB tersebut jarang diperbincangkan secara serius di kalangan ulama dan pemikir Islam. Nah, melalui Muktamar tersebut PBNU bermaksud membahas perkara tersebut dari tinjauan fiqih siyasah sebagai bentuk kontribusi umat Islam dalam membangun perdamaian dunia.
Lebih spesifik ulama berlatar belakang Pendidikan sosiologi tersebut menyampaikan bahwa Muktamar akan membahas “sejauh mana keabsahan Piagam PBB dan organisasi PBB—dengan mempertimbangkan alasan, proses, mekanisme serta tujuan kelahirannya—sebagaimenuru perjanjian (‘ahd) yang mengikat umat Islam atas dasar keabsahan pihak-pihak (negara-negara dan para kepala negara) yang mengklaim posisi sebagai wakil umat Islam pada saat menyepakatinya.” (NUonline, 15 Oktober 2022).
Relevansi dan urgensi topik tersebut dibahas dalam sebuah ulasan yang dibuat oleh James Dorsey, seorang jurnalis veteran dan pemikir independent isu-isu internasional. Seperti dilaporkan oleh www.religionwatch.com dalam tulisannya yang berjudul “Indonesian Muslim organization seeks to reform Islamic jurisprudence,” pembahasan tersebut merupakan kontra narasi dan argumentasi terhadap gagasan khilafah dan negara Islam transnasional yang diusung oleh sejumlah kelompok Islamis dan jihadis.
Lebih jauh, menurut analisisnya, jika pandangan mengenai legitimasi fiqih terhadap PBB dan Piagam PBB tersebut diterima luas oleh para ulama, maka penerimaan dan dukungan terhadap prinsip hak asasi manusia universal akan semakin kuat dan mengikat bagi para penandatangannya. Sebuah langkah yang bermakna besar dalam ikhtiar membangun tata dunia baru berdasar prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Bukan hanya di panggung internasional, komitmen PBNU terhadap perlunya dilakukan rekontekstualisasi fiqih siyasah juga diwujudkan melalui rangkaian Halaqah Fiqih Perdaban (fiqh hadharah) yang telah digelar di berbagai pesantren di tanah air sejak bulan Juli lalu. Hingga akhir Desember lalu lebih dari 200 halaqah telah diselenggarakan menuju target 250 sebelum berlangsungnya Muktamar.
Dengan demikian, wacana fiqih peradaban bukan sekadar ikhtiar dan manuver di aras global semata melainkan sebuah gerakan intelektual yang nyata di akar rumput. Saya sendiri berkesempatan hadir dan ‘ngalap berkah’ dalam acara halawah fiqih peradaban yang digelar di Pondok Pesantren Aswaja Nusantara di Mlangi, Sleman, pada penghujung Desember lalu.
Yang juga menarik, wacana fiqih peradaban telah dijalankan dan digerakkan melampui struktur kelembagaan PBNU. Sejumlah pondok pesantren secara mandiri menggelar halaqah fiqih peradaban dari tinjauan dan tilikan khas masing-masing. Pondok Pesantren Kali Opak, misalnya, mengangkat tema “Dari Fiqih Siyasah Menuju Strategi Kebudayaan Nasional”. Sedangkan Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Bantul, membincangkan topik “Membaca Arah Ideologi Kebudayaan Kontemporer”.
Akhirul kalam, semoga semua ikhtiar tersebut mampu memberi alas dan pijakan bagi terwujudnya taglineperingatan Harlah 1 Abad NU yaitu: “Mendigdayakan NU, Menjemput Abad Kedua, Menuju Kebangkitan Baru”.
Bismillah, semoga berkah 🙏🌿🤲🌹🇲🇨
Sleman-Banyuwangi, 8 Januari 2023
Najib Azca,
Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dosen FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM).
*) Ditulis dalam perjalanan ke Banyuwangi untuk menghadiri Festival Budaya Islam Nusantara pada 9 Februari 2023