Bolehkah Nikah Kontrak saat Darurat? Komparasi Ushul Fiqh Su-Si
Dalam masyarakat kita masalah pernikahan telah lazim untuk hidup selamanya hingga akhir hayat. Namun, ada juga masalah lain yang belum banyak dipahami. Yakni, soal nikmah mut’ah alias kawin kontrak.
Dalam penjelasan pada suatu forum pengajian, KH Ma’ru Khozin cukup memberikan pemahaman berdasar ushul fiqh antara Sunni dan Syiah. Berikut catatan kiai pesantren yang Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur:
Bolehkah Nikah Mut'ah Saat Darurat? (Komparasi Ushul Fiqh Su-Si*)
Bedah kitab Ushul Fiqh suatu malam saya lihat di list Zoom sempat menyentuh angka 100 lebih. Kajian Ushul Fiqh memang agak berat bagi kalangan umum. Ushul Fiqh ibarat ilmu resep membuat makanan dan Fikih adalah ilmu produk jadi yang siap dikonsumsi. Ini cocok sekali dengan karakter kebanyakan kita yang sedikit sekali belajar ilmu memasak tapi lebih suka menyantap makanannya.
Karena tema semalam tentang relevansi fikih maka saya tampilkan beberapa kasus di abad modern ini dengan kacamata Ushul Fiqh dan sebagian contoh real fatwa ulama kontemporer, mulai pergeseran uang fisik ke uang digital, kemajuan teknologi di bidang medis, teknologi informasi dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah nikah online dengan tampilan gambar gerak yang difatwakan ulama Mesir dengan hukum boleh dan Ulama Indonesia tidak membolehkan.
Materi 30 Menit
Materi saya sampaikan 30 menit. Tapi tanya jawab sampai hampir 1 jam. Rata-rata pertanyaan masih seputar Fikih, belum menyentuh ke Ushul Fiqh. Kecuali satu pertanyaan yang akhirnya saya bawa ke ranah Ushul Fiqh.
Yakni pertanyaan dari Sulawesi Selatan, perihal seorang laki-laki yang bekerja di negeri rantau apakah boleh nikah mut'ah? Nikah mut'ah, sebuah pernikahan dengan jangka waktu tertentu dan lazim disebut kawin kontrak, telah disepakati oleh ulama Ahlussunah sebagai pernikahan yang diharamkan. Meskipun pernah diperbolehkan, akan tetapi Nabi menghapus hukum kebolehan tersebut.
Awal mula sebagian ulama membolehkan dengan dalil ayat An-Nisa' 24. Yaitu:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Diperkuat dengan beberapa hadis:
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ، ﻭﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ اﻷﻛﻮﻉ، ﻗﺎﻻ: ﺧﺮﺝ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﻨﺎﺩﻱ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻘﺎﻝ: «ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﺃﺫﻥ ﻟﻜﻢ ﺃﻥ ﺗﺴﺘﻤﺘﻌﻮا» ﻳﻌﻨﻲ ﻣﺘﻌﺔ اﻟﻨﺴﺎء
Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa' berkata bahwa ada petugas yang menyeru dari Nabi shalallahu alaihi wasallam bahwa diizinkan untuk nikah mut'ah (HR Muslim)
Namun pada akhirnya nikah mut'ah ini dilarang berdasarkan hadis:
ﻗﺎﻝ ﺳﺒﺮﺓ اﻟﺠﻬﻨﻲ، ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ، ﻭﻗﺎﻝ: « ﺃﻻ ﺇﻧﻬﺎ ﺣﺮاﻡ ﻣﻦ ﻳﻮﻣﻜﻢ ﻫﺬا ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ »
Subrah Al-Juhani berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang nikah mut'ah. Nabi bersabda: "Ketahuilah sungguh nikah mut'ah haram sejak hari ini sampai hari kiamat" (HR Muslim)
Tidak bisa dipungkiri bahwa ulama dari aliran Syiah memperbolehkan nikah mut'ah tersebut. Hal ini karena berbeda sudut pandang soal hukum Mansukh. Di Mazhab Syiah ayat Al-Qur'an tidak bisa dihapus dengan hadis Nabi. Nasikh-Mansukh ayat Al-Qur'an harus dengan sesama ayat Al-Qur'an. Sementara bagi Ulama Sunni ayat Al-Qur'an bisa dihapus dengan Hadis. Sebab penghapusan tersebut tetap berdasarkan Wahyu, karena perbuatan Nabi juga berdasarkan Wahyu.
Kalau darurat gimana? Sabar dulu dan segera pulang untuk menemui istrinya yang sah. Intinya nikah mut'ah tetap diharamkan dalam pandangan ulama Mazhab Ahlussunah.
*Su-Si, Sunni-Syiah
Advertisement