Boleh Pilih Nasi Goreng Bu Mega atau Nasi Kebuli Bang Surya
Ibu Megawati menyuguhkan nasi goreng ke Pak Prabowo Subianto. Sedangkan Bang Surya Paloh menghidangkan nasi kebuli ke Mas Gubernur Anies Baswedan. Peristiwanya bersamaan, hari Rabu, 24 Juli.
Tempatnya juga berdekatan, sama-sama di Menteng. Hanya sepelemparan batu kerikil. Nasi goreng di Jalan Teuku Umar dan nasi kebuli di Jalan RP Suroso.
Kira-kira enak mana ya? Ya, makanannya juga suasananya.
Bagi Mas Bowo, panggilan akrab Bu Mega ke Pak Prabowo, tentu saja lebih enak nasi goreng. Alasannya, cuma satu. Karena ada romantisme di sana.
Harap maklum, Bu Mega dan Mas Bowo pernah berpasangan. Itu lho, saat Pilpres 2009. Keduanya bertanding melawan pasangan Pak SBY dan Prof Budiono. Juga Pak Jusuf Kalla yang mengandeng Pak Wiranto.
Bu Mega sempat pamer keahlian memasak nasi goreng, saat kampanye. Mas Bowo, berpakaian safari, takzim berdiri di sampingnya. Keduanya pakai celemek.
Sebenarnya, mereka pasangan serasi. Kedua orang tua mereka gigih membangun negeri. Saling melengkapi. Sayang, nasib baik belum menyertai.
Kalau soal rasa nasi goreng racikan Bu Mega, tentu tak terbantahkan. Enak tentu saja. Mas Bowo bahkan nambah porsi, lantas memuji setengah mati.
Tentu, tak elok juga, misalnya ini, Mas Bowo nyeletuk, “nasi goreng Bu Mega kurang gurih.” Wah, dia bisa dipiting sama Pak Budi Gunawan. Jadi berabe urusan.
Hubungan Bu Mega dan Mas Bowo memang unik. Sempat patah hati terkait urusan janji. Kesepakatan di Istana Batu Tulis, Bogor yang tidak ditindaklanjuti.
Mungkin peristiwa itu bisa jadi inspirasi. Khusus buat Lord Didi Kempot, untuk mencipta lagu. Syair Bahasa Jawa nan menyayat hati.
Tapi itu dulu. Sekarang sudah beda. Kalau kata politisi, kondisinya dinamis. Namun, boleh dong, ada pertanyaan serius. Kenapa Bu Mega yang berinisiatif mengundang Mas Bowo?
Menurut penerawangan, Bu Mega tak ingin mengulangi kesalahan periode Jokowi-JK. Lima tahun lalu, PDI P pemenang Pileg dan Pilpres. Tapi apa yang didapat?
Kursi Ketua DPR melayang. Posisi para menteri di kabinet sekarang, serasa tempelan. Kementerian strategis dan kunci yang mengurus hajat hidup banyak diambil orang.
Padahal PDI P menang mutlak. Dia punya kewajiban mewujudkan janji kampanye. Tapi, kondisi susah. Tekanan dari banyak pihak datang. Mereka pula yang turut menikmati kekuasaan.
Nah, Pemilu 2019, PDI P menang lagi. Baik Pilpres dan Pileg. Lho, masak, kesalahan yang dulu, sekarang mau diulangi lagi.
Pasalnya, beberapa pihak yang merasa berjasa mulai pasang kuda-kuda. Dari organisasi masa dan partai politik, terang-terangan meminta kue kuasa. Ingin kembali menyandera.
Jadi, kalau Mas Bowo satu irama bahkan satu biduk dengan Bu Mega, alur cerita bisa berbeda. Harapannya, tekanan pihak seberang berkurang. Lalu mau nurut dengan aturan main sang pemenang.
Memang, dengan dinamika yang muncul, setidaknya Pak Jokowi dikepung banyak pihak. Kalau salah pendekatan, bisa bikin berantakan. Setidaknya, ada tiga faksi utama.
Pertama, Klub MRT. Di sini para pihak yang mengatur pertemuan Pak Jokowi dangan Pak Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus. Ada jaringan PDI P kubu Marhaen, ada Pak Budi Gunawan, Pak Pramono Anung, juga Pak Budi Karya Sumadi.
Kedua, Klub Sentul. Mereka yang mengerakkan acara penyampaian Visi Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Minggu, 14 Juli 2019. Relawan Jokowi penyokong utama. Tapi di baliknya ada Pak Luhut Pandjaitan, Pak Pratikno, Pak Moeldoko, juga Pak Triawan Munaf.
Ketiga, Klub Gondangia. Isinya para ketua partai koalisi pendukung Pak Jokowi. Bang Surya Paloh yang tampil sebagai ketua informalnya.
Namun, perkembangan arah politik, tampak disetir Klub MRT. Hal ini sepertinya membuat Klub Gondangdia resah. Mereka pun merasa perlu bikin pernyataan terbuka.
Gerbong sudah penuh. Tak perlu lagi tambahan anggota koalisi. Tak perlu plus-plus.
Makin runcingnya gesekan, jelas membuat Pak Jokowi pening bukan kepalang. Jadi, pahamkan, kenapa Pak Jokowi memposting video minum jamu di media sosialnya pada Selasa, 23 Juli 2019.
Menurut Pak Jokowi, rebusan umpon-umpon itu adalah rahasia bugarnya. “Jamu ini, adalah jamu dari campuran temulawak, jahe, kunyit," ungkap Pak Jokowi. Sebetulnya, kalau boleh jujur, jamu itu obat peningnya.
Namun, Bang Surya yang sudah kenyang asam garam politik, cergas bergerak. Malah menaikkan tekanan. Mengundang calon lawan terkuat ikut kelompoknya.
Mas Anies Baswedan, salah satu kandidat utama calon presiden 2024 diajak masuk lingkaran. Dibuatkan acara tandingan. Makan siang bersama di hari yang sama. Panggung media yang sempurna.
Pesan tersirat muncul. Jika komunikasi dengan PDI P tak semulus jalan tol, bahkan membentur tembok, ada alternatif pengganti. Kapal siap bersama sekondan baru.
Tak heran, seusai acara, dukungan untuk Mas Anies di 2024 mengemuka. “Sudah pastilah dukungan. Secara politik, lahiriah, batiniah dukungan," ucap Bang Surya sembari tertawa kepada wartawan Rabu, 24 Juli 2019.
Yang menarik, Bang Surya bahkan hafal luar kepala kegemaran Mas Anies ini. Buktinya, dia memilih menyuguhkan nasi kebuli. Dibanding menawari mie Aceh, kegemarannya sendiri.
Mas Anies, yang keturunan Hadramaut ini, memang penyuka nasi kebuli dengan daging kambing. Olahan nasi kebuli Restauran Al Zein di FX Sudirman Mall, adalah kegemarannya. Tak heran, Al Zein sering jadi pemasok katering acara resmi di Gubernuran.
Makan siang itu, menambal asa Mas Anies. Setengah jalan ke Istana Merdeka, sudah ada bayangan. Jangan salahkan kalau Mas Anies dianggap tak melakukan apa-apa untuk Jakarta.
Masalahnya, jika dia salah jalan dan kebijakannya dianggap salah, bisa dibully masa. Jadi amunisi menyerang. Berantakan mimpinya ke Istana Merdeka.
Lebih baik seperti sekarang saja. Mengolah kata. Sesuatu yang jadi signaturenya. Terlihat bijak, cerdas, dan menyenangkan jiwa.
Tapi ada orang lain yang sedih atas pernyataan Bang Surya itu. Siapa lagi kalau bukan Gubernur Ridwan Kamil. Kang Emil mungkin sudah patah arang. Konon, dia juga mengincar tiket dari Nasdem untuk Pilpres 2024.
Pernyataan dukungan itu bikin banyak orang jantungan. Ada yang bilang ini hanya drama. Bisa jadi sebelumnya tidak direncanakan, tapi terpancing pertanyaan wartawan.
Tapi apa pun itu, jangan terlalu dirisaukan. "Biar enggak digoreng-goreng, rileks saja lah di negeri tercinta ini menurut saya," kata Bu Mega, seusai pertemuannya dengan Mas Bowo. Jadi, kita ikuti saja pesan beliau.
Tapi kalau masih terus pusing dengan perilaku para politisi? Jangan kuatir. Ikuti saja cara Pak Jokowi. Minum jamu sebanyak-banyaknya.
Ajar Edi, Kolumnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id
Advertisement