Bohong, HTI Tidak Pernah Punya Bendera! Ini Faktanya
Di tengah kegaduhan di masyarakat soal bendera HTI yang dibakar di Garut, eks-jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto melakukan kebohongan. Yakni, ketika ia mengatakan, HTI tidak pernah memiliki bendera organisasi resmi.
Ismail berkukuh, bendera yang dibakar oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU) Garut adalah bendera atau panji Nabi Muhammad.
"Bendera yang dibakar itu bukanlah bendera HTI, HTI tidak pernah punya bendera," katanya lewat akun twitter pribadinya @ismail_yusanto, Selasa 23 Oktober.
Menanggapi hal itu, Habib Abu Bakar Hasan Assegaf, menegaskan bahwa Banser (Barisan Serba Guna) Ansor, tidak anti terhadap kalimat tauhid. Tapi yang ditolak oleh NU adalah politisasi kalimat tauhid, yang justru dijadikan sebagai alat provokasi dan adu domba umat Islam.
“Sangat tidak mungkin kalau Banser anti dengan kalimat tauhid. Yang kita tolak adalah politisasi kalimat tauhid, untuk dijadikan alat politik. Apalagi dijadikan sebagai alat mengadu domba antara sesama ummat Islam atau pun sesama ormas, ” ujar Habib Abu Bakar Hasan Assegaf, Wakil Rois PC NU Kabupaten Pasuruan, Kamis 25 Oktober.
Pada kesempatan yang sama, Habib Abu Bakar yang dibarengi Ketua PC NU Kabupaten Pasuruan, KH Imron Mutamakkin, serta Ketua PC NU Kota Pasuruan, KH Halim Mas’ud meminta kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpancing provokasi yang berupa mengadu ummat Islam.
Dalam penelusurannya, ngopibareng.id berhasil menemukan fakta yang justru bertolak belakang dari penjelasan Islam Yusanto. HTI menerbitkan buku pada 2008, berjudul “Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi)". Buku ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizbut Tahrir sekaligus merevisi semua isi buku yang bertentangan dengannya”.
Pada halaman 285-289, terdapat bahasan soal “Bendera dan Panji Negara” yang menjelaskan hal ihwal bendera HTI, yakni Al-Liwa' dan Ar-Râyah.
“1. Al-Liwa' dan Ar-Rayah secara bahasa keduanya berarti al-'alam(mu) (bendera). Di dalam Al-Qamus al-Muhith, pada pasal rawiya dinyatakan: ar-rayah adalah al-'alam(u) (bendera), jamaknya rayat...; dan pada pasal lawiya dinyatakan:...Al-liwa' adalah al-'alam(u) (bendera) an jamaknya alwiyah.”
“Sangat tidak mungkin kalau Banser anti dengan kalimat tauhid. Yang kita tolak adalah politisasi kalimat tauhid, untuk dijadikan alat politik. Apalagi dijadikan sebagai alat mengadu domba antara sesama ummat Islam atau pun sesama ormas, ” ujar Habib Abu Bakar Hasan Assegaf.
Kemudian dari sisi penggunaan, syariah telah memberikan makna syar'i untuk masing-masing sebagai berikut:
Al-Liwa' berwarna putih, tertulis di atasnya La ilaha illa allah Muhammad Rasulullah dengan tulisan warna hitam. ia diakadkan untuk amir brigade pasukan atau koamndan brigade pasukan. Al-Liwa' itu menjadi pertana posisi amir aau komandan pasukan dan turut beredar sesuai peredaran amir atau koamndan pasukan itu. Dalil penetapan al-Liwa untuk amir pasuka sebagai berikut.
Ar-Râyah berwarna hitam; tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan warna putih. Ar-Râyah berada bersama para komandan bagian-bagian pasukan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan yang lain).
Al-Liwâ’ diakadkan kepada amir brigade dan menjadi pertanda keberadaannya, yakni selalu menyertai amir brigade. Adapun di medan peperangan, komandan peperangan, baik ia amir brigade atau komandan-komandan lainnya yang ditunjuk oleh amir brigade, diserahi ar-râyah.
Ar-Râyah itu ia bawa selama berperang di medan peperangan. Karena itu, ar-Râyah disebut Umm al-Harb (Induk Perang), karena dibawa bersama komandan tempur di medan peperangan. Karena itu, dalam kondisi sedang terjadi peperangan, tiap-tiap râyah berada bersama komandan tempur.
"Praktik demikian merupakan praktik yang dikenal luas pada masa itu. Keberadaan ar-Râyah yang tetap berkibar menjadi pertanda kekuatan tempur komandan pertempuran. Ini merupakan pengaturan yang bersifat administratif sesuai dengan tradisi berperang pasukan."(adi)