Bohemian Rhapsody
Ketika kemarin istri mengajak nonton film Bohemian Rhapsody, spontan saya bertanya kepadanya: “Berapa lama film-nya?” Total panjang film itu sekitar 2,1 jam, di atas durasi rata-rata film. Pasti itu akan membuat saya terlelap di bangku bioskop. Tapi ajaib, saya tidak jatuh tertidur sepanjang film sampai credit title muncul di bagian akhir. Sebuah film bagus?
Bohemian Rhapsody adalah sebuah film ringan. Ia ringan karena plot-nya lempeng saja. Ia sekadar meringkaskan kisah sukses Queen dengan rapi. Kisah sukses itu diawali potongan audisi Farrokh Bulsara yang dilakukan sambil lalu dengan personel Smile – Brian May dan Roger Taylor – di sebuah halaman parkir nightclub. Audisi itu kocak. Ketika Farrokh Bulsara menawarkan diri untuk mengganti vokalis Smile yang pergi bergabung dengan band lain, Roger Taylor menolaknya dengan gurauan sinis bahwa gigi tonggos Farrokh tak akan membuat pengunjung tertarik menonton pentas mereka.
Farrokh terdiam sesaat dan mulai melangkah pergi. Tapi kemudian ia berbalik dan tiba-tiba menyanyi dengan suara tenor. Brian May dan Roger Taylor mendengarnya dengan takjub dan lantas terbawa ikut bernyanyi sebentar. Dengan tambahan bassist John Deacon, keempat mahasiswa itu kemudian membentuk sebuah grup dan bergerak dari panggung ke panggung yang sesungguhnya tak pernah mengangkat mereka ke tangga popularitas. Sampai kemudian, atas desakan Farrokh, mereka melakukan gambling. Keempatnya nekad menjual mobil van milik grup untuk memproduksi album pertama dengan menemui seorang produser musik.
Tapi, lagu yang mereka pamerkan ke produser adalah sebuah lagu aneh. Lagu itu mengambil elemen opera; dan celakanya, durasi lagunya dua kali lipat dari standar umum saat itu yang cuma tiga menit. Stasiun radio dan televisi mana yang yang akan memutar lagu pop-rock bercorak opera? Siapa audiens yang mau mendengarkan sebuah lagu bertele-tele sepanjang enam menit? Grup yang menamakan diri Queen itu kemudian menemukan produser lain yang mau merekamnya. Selebihnya adalah sejarah tebal Queen yang membekas di benak para fans-nya.
Apakah film itu membedah kerumitan pilihan identitas seksual Farrokh yang kemudian menjelma Freddie Mercury? Hanya sedikit. Film itu hanya mengutip jawaban mengambang Fredie di sebuah konferensi pers ketika seorang wartawan menanyakan orientasi seksualnya, “Anda sangat lihai. Tapi biarkanlah saya mengatakan seperti ini: Ada masanya saya adalah seorang anak muda yang lugu. Ini adalah periode yang semua anak-anak sekolah melaluinya. Saya menjadi bagian anak muda itu yang suka bermain-main dengan bermacam kebengalan. Dan saya tidak akan menjelaskannya lebih jauh lagi.”
Apakah film itu mengeksplorasi ketegangan yang muncul antara Freddie Mercury yang menjalani hidup di luar kenormalan dengan John Deacon, Brian May, dan Roger Taylor yang berkeluarga dengan normal? Topik kesetiaan pertemanan hanya hadir sebentar di penggal akhir film sebelum mereka memutuskan untuk menghidupkan lagi Queen. Dan potongan pendek lainnya ketika mereka bertiga meninggalkan pesta mewah di rumah Freddie – yang mengundang komunitas gay-nya.
Bagaimanakah Mary Austin mantan pacar Freddie melewati kenyataan rumit panjang ketika ia merasakan dan akhirnya mendapatkan pengakuan Freddie sendiri tentang orientasi seksualnya? Sejumlah scenes film menyentuhnya tetapi tak memotret dunia dalam Mary Austin.
Tetapi, Bohemian Rhapsody adalah sebuah film yang menghibur. Penggalan-penggalan kocak dan tragis yang mengundang senyum dan simpati berserakan di sepanjang film. Pernik-pernik penulisan syair Bohemian dan proses perekaman lagu yang berulang-ulang gara-gara Freddie meminta Roger Taylor untuk terus-menerus meninggikan vokalnya saat meneriakkan kata “Galileo” bisa menerbitkan senyum sekaligus apresiasi. Demikian juga, saat Roger Taylor bersitegang dengan Freddie Mercury, John Deacon beralih memainkan bass-nya yang kelak menjadi “Another One Bites the Dust.” Dan lebih penting lagi, pentas Freddie dan Queen yang memikat dan segar pada pentas Live Aids 1985 di Stadion Wembley cukup membuat fans Queen betah menongkrongi film panjang itu.
Sambil berjalan keluar lewat lorong bioskop dengan istri, bayangan wajah keempat personel Queen masih memenuhi pikiran saya. Rami Malek yang memerankan Freddie Mercury secara memukau, wajah Gwilym Lee terlihat sangat mirip dengan Brian May, dan Joseph Mazello juga tampak persis dengan wajah John Deacon semasa muda. Tapi wajah Ben Hardy yang memerankan drummer Roger Taylor rasanya kok lebih mirip Axl Rose dari Gun ‘n Roses …
Advertisement