BNPB: 5 Bulan 2023 Ini, Sudah Terjadi 1.675 Kejadian Bencana
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengungkapkan, dari data yang ada lima bulan di awal tahun 2023 ini, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana. Sedangkan kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologi (bencana akibat aktivitas cuaca).
“Kejadian didominasi bencana hidrometeorologi,” ujarnya Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang dihelat di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat Sabtu 3 Juni 2023.
Sesuai data BNPB, lanjut Suharyanto, disebutkan dari 1 Januari hingga 31 Mei 2023 terdapat setidaknya 1.675 kejadian. Di antaranya adalah bencana hidrometeorologi basah dan bencana hidrometeorologi kering. Kemudian sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi.
Menurut Suharyanto, untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan. Baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.
Adapun urbanisasi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat. Sedangkan alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan berkurangannya kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.
Dampak dari adanya perubahan iklim tidak hanya terjadi di hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.
“Terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob). Diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir, catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah kejadian bencana banjir rob meningkat 46% dari 35 kali kejadian di tahun 2020 menjadi 75 kejadian di 2022,” ungkap Suharyanto.
Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Yaitu terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari pekan ke pekan, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat.
“Data dari KLHK menunjukkan bahwa luas lahan terdampak karhutla khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan. Pada tahun 2019 contohnya, dari 1.64 juta Ha lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara. ” ucap Suharyanto
Suharyanto mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk saling bahu membahu untuk mengurangi dampak perubahan iklim.