BMKG: Tahun 2023 jadi Tahun Terpanas, Waspada Ketahanan Pangan
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebut, tahun 2023 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim. Data ini mengikuti pencatatan dari Organisasi Meteorologi Dunia.
"Dari data Organisasi Meteorologi Dunia, bulan Juli-Agustus 2023, tercatat sebagai tiga bulan terpanas sepanjang sejarah, dengan menyimak evolusi iklim 2023, tahun ini berpeluang besar akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim," kata Dwikorita, Rabu 15 November 2023.
Dilansir dari Antara, Dwikorita menyampaikan informasi itu dalam seminar nasional dengan tema "Perspektif Daerah: Rekomendasi Penanganan Perubahan Iklim untuk Pemerintah Mendatang" di Jakarta. "Suhu panas di tahun 2023 mengalahkan saat terjadi El Nino kuat di tahun 2016, bahkan organisasi meteorologi dunia menyimpulkan, ada potensi terjadinya kekeringan yang besar akibat tren kenaikan suhu sebagai dampak perubahan iklim ini," lanjutnya.
Data itu menyebut, bencana iklim di tahun ini terjadi di antaranya di Italia, Yunani, dan Afrika Utara. Di wilayah itu suhu bahkan mencapai 47 derajat Celcius, sedangkan di Amerika di bagian barat mencapai 53 derajat Celsius. Kondisi itu terjadi bersamaan di bulan Juli 2023.
Sedangkan suhu di Indonesia disebutnya relatif aman. Kondisi geografis yang dikelilingi samudra disebut berperan menciptakan suhu panas yang tidak setinggi negara lain.
Meski begitu, ancaman pada ketahanan pangan tetap bisa muncul, akibat El Nino yang membawa kemarau lebih dari tiga bulan. Selain itu, kenaikan suhu akibat gaya hidup juga berdampak pada gangguan ketahanan pangan di pertengahan abad 21 atau sekitar tahun 2050.
"Terjadi peningkatan kerentanan pada stok pangan dunia, dan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), hampir 500 juta petani skala kecil yang memproduksi lebih dari 80 persen stok pangan dunia akan sangat terdampak, karena paling rentan terhadap perubahan iklim," lanjutnya.
Dibutuhkan kolaborasi untuk upaya adaptasi dan mitigasi, dari tiga pilar, yakni kebijakan, pelayanan dan sains. Skema itu bisa dilakukan dengan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama perguruan tinggi, kemudian kebijakan melalui KLHK atau kementerian terkait, yang diperkuat oleh DPR RI, hingga akhirnya dieksekusi oleh BMKG.