Blusukan di Padepokan Dimas Kanjeng. Ada Apa?
Rabu pagi, 29 Agustus 2018, sinar matahari setinggi sepenggalah belum mampu mengusik dingin udara pagi di musim kemarau di kaki dua gunung, Lemongan dan Argopuro. Aktivitas pasar kecamatan yang terletak di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo terlihat menggeliat.
Aktivitas jual-beli tidak hanya berlangsung di dalam bangunan pasar. Sebagian badan jalan juga menjadi arena para pedagang sayur menggelar dagangannya.
Hanya berjarak beberapa ratus meter dari pusat bisnis itu tampak gerbang depan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Desa Wangkal. Jalan hotmix mulus seolah memanjakan tamu-tamu yang datang ke padepokan itu.
Tetapi sekitar 20 meter dari gerbang dalam padepokan, jalan mulus itu terhalang sebuah pipa besi portal. Setiap orang yang mau masuk padepokan harus berhenti di depan portal.
Sekitar 5-10 orang berjaga-jaga di pos penjagaan di sisi utara portal.
Setiap tamu yang mau masuk ke padepokan harus terlebih dulu melaporkan identitasnya, juga tujuan mendatangi padepokan.
"Bapak mau menemui siapa? Keperluannya apa?" ujar Hasan, seorang penjaga asal Situbondo.
Kebetulan subuh tadi, Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Marwah Daud Ibrahim tiba di padepokan.
"Maaf, Bu Marwah tidak bisa diganggu masih tidur soalnya subuh baru tiba di padepokan setelah terbang dari Makassar," ujar Daeng, laki-laki yang mengaku masih kerabat Marwah.
Daeng menyodorkan selembar kertas dan sebuah pena, agar tamu yang hendak menemui Marwah menuliskan nama, nomor HP, dan tujuannya.
Ia kemudian bergegas meninggalkan pos keamanan untuk kemudian meletakkan selembar kertas itu di rumah tempat Marwah menginap di komplek padepokan.
Memang tidak semua yang datang ditanya "macam-macam" saat hendak memasuki portal. "Kalau kerabat Dimas Kanjeng, juga para santri, ya langsung dipersilakan masuk. Kami sudah hafal dengan wajah-wajah mereka," ujar Daeng.
Daeng mengaku, hafal wajah-wajah kerabat Dimas Kanjeng, juga para santri. Perbincangan dengan Daeng terhenti ketika sejumlah koordinator keamanan mengajak penulis beringsut ke teras Asrama Putera, yang jaraknya sepelemparan batu dari pos keamanan.
Beralaskan selembar tikar, koordinator kemananan padepokan, Dodik dan Sunarto kemudian mengajak berbincang-bincang seputar kondisi padepokan. Sejumlah santri (pengikut) padepokan ikut nimbrung dalam perbincangan santai itu.
"Silakan dibuktikan sendiri, apakah ada yang perlu dicurigai di padepokan ini seperti yang diungkapkan MUI," ujar Dodik diamini Sunarto. Bahkan jika MUI memang menemukan sesuatu yang kurang pas, dipersilakan untuk meluruskan.
Seperti diketahui, sebelumnya Sekretaris MUI setempat, M. Yasin dalam rapat koordinasi dengan Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) Gading di ruang Rupatama Mapolres, Senin, 27 Agus lalu mendesak aparat keamanan segera bertindak terkait aktivitas padepokan.
"Aparat keamanan harus segera bertindak karena aktivitas padepokan akhir-akhir ini meningkat," ujarnya.
Dilaporkan, ratusan pengikut padepokan kembali bermukim di tenda-tenda di komplek padepokan. "Pengikutnya terus bertambah dan portal jalan yang selama ini terbuka untuk umum kembali ditutup dan dijaga pengikut padepokan," ujar Yasin.
Temuan lain yang memperkuat geliat padepokan, kata Yasin, ada video di Youtube yang menggambarkan aktivitas padepokan saat menggelar upacara bendera saat Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2018 lalu. Video berdurasi 3 menit 6 detik itu diunggah Yudha Sandi Pribandono pada 18 Agustus 2018 lalu.
"Bahkan MUI juga menerima laporan, salah satu istri Taat Pribadi yang bernama Rahma Hidayati, didaulat sebagai ratu, untuk menggantikan Taat Pribadi," ujar Yasin.
Disinggung soal sorotan MUI, Dodik dan Sunarto menyayangkan pernyataan MUI yang tanpa melalui klarifikasi kepada padepokan. "Dalam pertemuan itu pihak padepokan tidak diundang. Silakan MUI datang ke sini, biar semua gamblang," kata Dodik.
Soal aktivitas padepokan, kata Sunarto, tidak ada yang aneh atau perlu dipertanyakan. "Setiap hari santri shalat lima waktu di masjid, juga istighotsah. Kami juga bersih di lingkungan padepokan," ujarnya.
Terkait tayangan di Youtube yang menggambarkan upacara bendera untuk memperingati Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2018 lalu, Dodik membenarkan. "Benar, ada upacara bendera di sini, kami gelar internal, khusus santri padepokan," ujarnya.
Diakui padepokan sengaja menggelar upacara khusus warga padepokan, tanpa melibatkan warga di luar padepokan. "Kami mau ikut upacara di lapangan kecamatan gak enak, wong gak diundang. Ya akhirnya menggelar upacara sendiri secara internal, mirip di sekolah-sekolah, juga di kantor-kantor," ujar Dodik.
Sebenarnya aktivitas padepokan, ujar laki-laki asal Madiun itu, sudah jauh berkurang. Kegiatan yang melibatkan ribuan orang seperti pembagian santunan tidak lagi dilakukan pasca Dimas Kanjeng terjerat kasus hukum.
"Sejak tragedi tanggal 22 September 2016, padepokan tidak menggelar santunan dengan sasaran ribuan orang," ujarnya. Hal itu terpaksa dilakukan mengingat kasus hukum yang menjerat "Raja Anom" (sebutan Dimas Kanjeng) belum sepenuhya selesai.
Terkait aktivitas keseharian padepokan, Dodik mengatakan, harus tetap berjalan. "Soal ada person atau istilah lain oknum yang terjerat hukum, tidak berpengaruh. Padepokan ini di bawah naungan yayasan yang sah, ada SK Kemenkumham," ujarnya.
Disinggung adanya njumenengan (penobatan) istri Dimas Kanjeng, Rahma Hidayati sebagai ratu pengganti Raja Anom (Dimas Kanjeng), Sunarto tertawa. "Tidak benar isu tersebut, lagian siapa yang mengukuhkan?" ujarnya.
Perbincangan dengan Dodik dan Sunarto terhenti ketika terdengar sirine meraung-raung. Ternyata, sejumlah kendaraan dari Polres Probolinggo memasuki padepokan.
Tampak Wakapolres Kompol Ali Rahmad didampingi Kasat Sabhara AKP Sujianto dan Kapolsek Gading Iptu Bagus Purnama turun dari mobil patroli. Disusul sejumlah personel polisi pengendalian massa (Dalmas) berhamburan dari atas truk.
Dodik dan Sunarto tampak terburu-buru menyambut rombongan Wakapolres. Setelah saling memperkenalkan diri, Wakapolres blusukan ke sejumlah sudut padepokan.
"Ini rumah Dimas Kanjeng, kosong gak ada penghuninya. Istri Dimas Kanjeng (Rahma Hidayati, Red.) tinggal bersama anaknya yang kuliah di Malang," ujar Dodik.
Pendopo Agung di komplek padepokan juga menjadi sasaran inspeksi mendadak (sidak) di siang bolong itu.
Bangunan dengan empat tiang penyangga (sokoguru) dilengkapi kayu jati berukir, berdinding kaca itu mirip pendopo bupati di sejumlah kabupaten. Pintu kaca pendopo dibuka, Kompol Ali Rahmad dan sejumlah polisi memasukinya dan melihat-lihat pendopo mewah dan megah itu.
Rombongan Wakapolres sempat mengecek tenda-tenda atau lebih tepat gubuk-gubuk di area tanah lapang di belakang rumah Dimas Kanjeng. Di tempat sederhana inilah para santri tinggal.
"Saya sudah lama tinggal di gubuk sini, sudah kerasan, sesekali pulang kampung. Terkadang istri datang ke sini," ujar Wahidin, warga Indramayu, Jabar.
Hal senada diungkapkan Khoirun Nashihin, warga Rembang, Jateng. "Saking lamanya, saya sudah lupa berapa tahun di sini," ujarnya lelaki berusia lanjut itu.
Bahkan Daeng yang masih kerabat Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Marwah Daud Ibrahim, mengaku, sudah sembilan tahun tinggal di padepokan. "Saya sudah sembilan kali berlebaran di padepokan," ujarnya sambil tertawa.
Kompol Ali Rahmad sempat menanyakan jumlah santri yang tinggal di padepokan. "Jumlahnya sekitar 300-400 orang yang tinggal di padepokan," ujar Dodik.
Mengapa santri rela bertahan di padepokan? Ternyata motivasinya beragam, mulai ingin menjaga (mengamankan) padepokan, belajar agama, hingga menunggu cairnya dana yang dijanjikan Dimas Kanjeng.
"Kalau saya ya mengamankan padepokan sambil belajar ilmu lelaku kehidupan," kata Dodik. (Ikhsan Mahmudi)