Blunder Lippo Group dan Rumah DP 0 Persen
Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik
John Riady anak kandung taipan James Riady dari Lippo Group, membuat sebuah blunder bisnis dan politik. Kepada sejumlah wartawan yang menemuinya di sebuah seminar di Jakarta Kamis (20/4), John menyatakan groupnya tertarik untuk membangun rumah tanpa uang muka.
Program kerja pasangan Anies-Sandi tersebut dinilainya sangat baik karena meningkatkan daya beli masyarakat. “Buat kami itu sangat baik sekali dan kami akan mendukungnya,” tegas cucu kandung pendiri konglomerasi Lippo group Mochtar Riady.
Berita yang muncul di berbagai situs resmi berbagai media online tersebut langsung viral. Setidaknya ada dua alasan.
Pertama, berita tersebut merupakan pukulan telak bagi para “Bani Taplak” nama julukan para pendukung pasangan Ahok-Djarot. Secara nyinyir mereka menjadikan janji kampanye yang dikenal dengan DP 0 persen tersebut tidak masuk akal. Rumah di bawah harga Rp 350 juta, apalagi rumah tapak rasanya sangat sulit diwujudkan. Mana ada rumah di Jakarta dengan harga segitu?
Argumen lain berkaitan dengan DP 0 persen yang berarti melanggar aturan Bank Indonesia (BI). BI mengatur untuk rumah di bawah 70 M2 tetap harus menggunakan DP , yakni sebesar 10 persen.
Kedua, berita tersebut menjadi sangat penting karena datangnya dari group Lippo yang selama ini ditengarai menjadi penyokong utama pendanaan kampanye Ahok-Djarot. Melalui James Riady, Lippo juga dikenal sebagai penyokong utama dan sangat dekat dengan Megawati dan Jokowi. Jadi kalau mereka tiba-tiba mendukung program Anies-Sandi, maka itu akan menjadi tusukan yang menyakitkan bagi Ahok, Megawati dan Jokowi.
Pernyataan John Riady putera mahkota kerajaan Lippo itu seperti tikaman sembilu di luka-luka yang baru saja dialami oleh Ahok dan para pendukungnya. Khusus bagi Jokowi dan Mega, pernyataan ini bisa dinilai sebagai pengkhianatan dari James Riady dan Lippo Group. Jangan lupa Jokowi masih akan menjadi presiden sampai tahun 2019 dan Megawati selaku Ketua Umum PDIP, menjadi penguasa tidak resmi, alias penguasa bayangan.
Karena itu tidaklah mengherankan bila berita tersebut segera dibantah Juru Bicara Lippo Group Danang Kemayan Jati. Mereka segera mengirim bantahan ke berbagai media dan menyebutnya sebagai berita hoax. Alias berita palsu. Berita boong-boongan. Nah lho?
Sikap Lippo yang membantah pernyataan John Riady ini tampaknya akan menjadi blunder baru. Sebab sejumlah media online yang cukup kredibel seperti Republika online, Kompas.com dan ccnindonesia.com memuat berita tersebut. Ketika memuat bantahan dari Danang, Kompas.com memberi catatan redaksi di bawahnya, bahwa redaksi memiliki rekaman asli pernyataan John yang menyatakan tertarik mewujudkan rumah tanpa DP.
Masih ingat dengan kasus Sari Roti pada saat Aksi Bela Islam (ABI) III atau yang dikenal dengan Aksi 212? Saat itu ada pedagang Sari Roti dalam gerobak dorong yang menggratiskan rotinya untuk para Mujahiddin 212. Manajemen Sari Roti yang berada di bawah kelompok usaha Indofood juga membuat rilis dan membantah bahwa mereka mendukung Aksi 212. Akibatnya Sari Roti langsung diboikot di pasaran. Harga saham Sari Roti langsung anjlok. Dampaknya masih terasa sampai kini. Tumpukan produk Sari Roti di rak-rak sejumlah mini market yang tidak terjual merupakan pemandangan biasa.
Apakah publik juga akan melakukan aksi boikot produk Lippo Group? Ini yang masih akan kita tunggu. Walaupun tidak masuk ke dalam sektor consumer good, Lippo banyak bergerak di sektor properti, jasa dan retail.
Di properti, selain kawasan hunian, mereka banyak mengembangkan mal dan supermarket seperti Hypermart, pendidikan seperti Universitas Pelita Harapan dan kesehatan melalui jaringan rumah sakit Siloam. Ada juga toko online Mataharimall.com. Di bisnis hiburan ada Cinemaxx dan First Media.
Pernyataan John Riady menyebabkan Lippo Group seperti makan buah simalakama. Jika tidak segera dibantah bakal menyulitkan posisinya dengan rezim yang tengah berkuasa. Namun, ketika dibantah akan menimbulkan antipati dan kemarahan para pendukung Anies-Sandi dan mayoritas umat Islam yang menentang Ahok. Sebab bantahan tersebut kian menegaskan keberpihakan mereka kepada Ahok.
Dari sudut pandang pengusaha, apa yang dilakukan oleh John Riady sebenarnya sangat wajar dan khas sebagai pengusaha. Seorang pengusaha harus bersikap pragmatis dan rasional. Mereka harus bisa dekat atau setidaknya mendekati penguasa. Kalau dalam bahasa konglomerat Chaerul Tandjung “ Kalau lu mau jadi pengusaha, jangan pernah jadi oposisi.”
Bagaimanapun penguasa atau pejabat adalah pemegang regulasi. Tanpa dukungan penguasa, maka akan sulit bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya. Nah, karena DKI Jakarta punya penguasa baru, wajar bila John Riady mencoba mendekati Anies-Sandi dengan cara mendukung programnya. Toh menurut John, membangun hunian di bawah Rp 350 juta ini sebuah konsep yang masuk akal, dan masih menguntungkan bagi pengembang. Apalagi bila lahannya disediakan pemerintah DKI.
Hanya saja niat baik John ini tidak disertai dengan bacaan konstelasi politik makro Indonesia yang komprehensif. Dia hanya membaca peta politik Jakarta. Poros dan haluan politik DKI Jakarta di bawah Anies-Sandi berbeda dengan poros dan haluan politik nasional yang dikuasai Megawati dan Jokowi.
Blunder politik dan bisnis ini sebenarnya tak perlu dilakukan oleh John. Walaupun masih sangat muda (22 tahun) pemahamannya soal lobi bisnis dan kekuasaan ini seharusnya sangat dikuasainya. Dia pasti banyak belajar dari sang master James Ryadi yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri.
Kelas James Ryadi dalam lobby politik dan kekuasaan, tidak main-main. Ia punya kelas dan skala internasional. Masih ingat kan kasus ketika James dicekal oleh Kementerian Kehakiman Amerika Serikat karena melanggar aturan batas sumbangan ke partai dan capres yang boleh dilakukan oleh orang asing.
James saat itu diketahui memberi sumbangan yang sangat besar kepada Partai Demokrat dan Bill Clinton ketika berlaga memperebutkan kursi Presiden AS (1992). Group Lippo sampai dikenakan pinalti sebesar USD 8.6 juta, sebuah rekor hukuman terbesar sepanjang sejarah AS, terkait dengan aturan pendanaan kampanye di AS.
William Safire pada tahun 1996 pernah menulis kisah James di New York Times dengan judul The Asian Connection. James dan istrinya saat Clinton maju sebagai capres itu secara terbuka diketahui menyumbang dana sebesar USD 200 ribu kepada tim pengumpul dana Partai Demokrat dan melalui Arief Wiriadinata sebesar USD 425 ribu.
Kisah Arief ini menjadi menarik karena dia adalah WNI yang mendapat green card alias ijin tinggal permanen di AS dan bekerja sebagai ahli pertamanan. Lha gardener kok bisa menyumbang dana begitu besar, hampir Rp 1 miliar? Usut punya usut ternyata mertua Arief terafiliasi dengan group Lippo.
Sumbangan lain yang terafiliasi dengan Lippo bukan hanya itu. John Huang, bekas Presiden Grup Lippo di Amerika Serikat, mengucurkan dana USD 65.850. Charles Dequeljoe, warga Filipina yang menjadi Presiden Direktur Lippo Securities Jakarta disebut juga menyumbang USD 36.500. Hip Hing Holding, anak usaha Lippo di AS, yang mengelola lahan parkir di Los Angeles,mengucurkan USD 67.500.
James Riady mengenal Clinton ketika masih menjadi gubernur di Arkansas. Pada tahun 1976 James mulai bekerja di Little Rock ibukota Arkansas dan pada tahun 1978 membeli sebuah bank di sana. Dari situlah kemudian hubungan mereka menjadi erat. Ketika Clinton menjadi Presiden AS pada tahun 1993, keluarga Riady diketahui bisa leluasa mondar-mandir bertandang ke White House, istana Presiden AS.
Safire menulis berdasarkan catatan setidaknya keluarga Riady bertandang ke Gedung Putih sebanyak 14 kali. Jadi setidaknya setiap tahun berkunjung lebih dari dua kali. Mochtar, ayah kandung James Riady, tercatat mengirim 17 kali surat pribadi kepada Clinton dan para pembantunya. Surat pribadi tersebut berisi ucapan selamat ulang tahun, sampai doa-doa dalam agama Kristen yang disarankan oleh Mochtar untuk dibaca Clinton.
Namun, Mochtar juga memanfaatkan kedekatannya dengan Clinton untuk kepentingan bisnis dan politik. Salah satu surat yang bocor adalah sarannya kepada Clinton agar membuka embargo dan membuka kembali hubungan diplomatik dengan Vietnam.
Bocornya surat tersebut ke media membuat pemerintahan Clinton kalang kabut dan segera membantahnya. Namun bulan Agustus 1993 atau lima bulan setelah surat itu ditulis, pemerintahan Clinton menormalisasi hubungan diplomatik dengan Vietnam. Hubungan kedua negara terputus pasca jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan Vietnam Utara dalam perang saudara (1975). AS saat itu mendukung Vietnam Selatan yang nasionalis melawan Utara yang komunis.
Kesaktian keluarga Riady di AS juga terlihat dengan berhasilnya mereka menempatkan John Huang, salah satu karyawannya, di puncak kekuasaan administrasi pemerintahan Clinton. Huang pernah menjadi Deputi Menteri Perdagangan AS.
Semua fakta tersebut menunjukkan betapa lihai dan tingginya level kemahiran keluarga Riady dalam lobi bisnis dan politik. Kalibernya sudah internasional. Di negara adidaya seperti AS saja kelas mereka sudah di atas. Kalau cuma Indonesia, ukurannya mungkin kelas kampung bagi mereka. Cemen.
Blunder John Riady menjadi pelajaran berharga dan akan menjadi bekal penting sebagai calon pemegang kekuasaan di Kerajaan Lippo.
Jika anda sempat menonton sekuel film The Godfather yang dibintangi oleh Marlon Brando dan Al Pacino ada pelajaran berharga yang bisa kita petik. “ Know your friends, your enemies and total cost of risk.” Ketahui dan pahami siapa kawan-kawanmu, siapa musuh-musuhmu dan kalkulasilah segala risiko. ***