Blandang, Bandol, Peluncur is: Makelar
Para blandang, bandol, peluncur itulah sejatinya makelar utuh dalam dunia pertembakauan. Lalu? Ya sudah! Makelar tembakau ibarat tangan dan mata dewa bagi petani tembakau. Panenan mau untung apa buntung. Tinggal pilih.
Dimana ada gudang tembakau, pasti disitu ada petani tembakau. Dimana ada panen tembakau, disitu pula akan ada blandang, bandol, peluncur, yang gentayangan membayangi hasil panen petani. Tiga istilah tak sama tapi serupa artinya, yaitu makelar. Para makelar inilah yang membuat petani tembakau tak berdaya.
_________________
Petani di Kabupaten Jember dan Bojonegoro di Jatim, kemudian Pamekasan di Madura, setali tiga uang ketika menghadapi panen raya tembakau tiba. Mereka selalu dan pasti dihantui rasa was-was tak berkesudahan. Hasil panenan akan buntung atau untung. Pasalnya hanya kepada para blandang, bandol, peluncur panenan tembakau akan terserap masuk ke dalam gudang-gudang tembakau perusahaan raksasa.
Para blandang, bandol, peluncur itulah sejatinya makelar utuh dalam dunia pertembakauan di Jawa Timur. Lalu? Ya sudah. Makelar tembakau ibarat tangan dan mata dewa bagi petani tembakau.
Dia memiliki peran sangat besar dalam menentukan harga. Lantaran peran itu, para petani hanya bisa mengikuti harga yang ditentukan oleh makelar. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tawar menawar harga.
Apabila petani memberikan penawaran pada tingkat harga yang tinggi maka makelar dengan serta merta akan menolak tembakau petani. Akibatnya malapetaka akan terjadi, yaitu tembakau ini tidak akan terjual sehingga harus dibuang. Ini menyebabkan para petani tidak berdaya dalam menentukan harga. Harga selalu menjadi permainan para makelar. Dengan kata lain, para petani tembakau hanya sebagai price taker bukan price maker.
Jalur pemasaran tembakau memang rumit. Sebagai produsen, para petani memiliki hubungan yang sangat jauh dengan pembeli terakhir hasil panenannya yaitu gudang. Para makelar setelah mendapatkan tembakau dari petani selanjutnya akan menjual tembakaunya kepada para pedagang kecil, kemudian akan dijual lagi ke pedagang besar. Kendati begitu ada juga pedagang yang tidak memiliki kemampuan untuk langsung menyetok ke gudang, tapi harus melalui orang kepercayaan gudang.
Sementara itu, pihak gudang hanya menentukan beberapa pihak yang dapat langsung memasukkan tembakau ke dalam gudang. Gudang juga ada yang mewajibkan target, walaupun diucapkan secara lisan kepada para pedagang. Para pedagang seringkali tidak mampu untuk memenuhi target karena membutuhkan modal yang sangat besar. Sebab itu, dalam jalur pemasaran ini gudang menjadi penentu harga tembakau yang paling superior pada jalur tata niaga. Sedang makelar menjadi superior penentu harga pada tingkatan petani. Alhasil petani sama sekali tidak memiliki akses langsung ke gudang, apalagi bernegosiasi dengan gudang.
Kerumitan pemasaran tembakau di Jember dan Bojonegoro sedikit berbeda dengan yang ada di Pamekasan, Madura. Ada dikenal istilah ranting, dan ranting merupakan wakil dari gudang. Orang-orang yang menjalankan ranting ini dipilih oleh gudang, biasanya para kepala desa atau makelar atau pedagang setempat. Mereka memiliki hak untuk menentukan harga tembakau, tentunya di bawah standar gudang.
Di luar itu masih ada yang disebut tukang tongkok. Tukang tongkok juga orang kepercayaan gudang. Para pedagang tembakau menyebutkan peran mereka dalam pemasaran hasil tembakau ke gudang harus melalui tukang tongkok ini dengan memberikan sejumlah komisi sesuai dengan tembakau yang terserap di gudang.
Panjangnya jalur distribusi pemasaran tembakau di Pamekasan mengakibatkan tekanan harga semakin dirasakan para petani. Oleh karena itu muncul bentuk-bentuk perlawanan tersembunyi untuk menyiasati. Bentuk perlawanan itu antara lain menggunakan sabun atau minyak tanah untuk meningkatkan kualitas tembakau. Penambahan batu atau semen tembakau juga kerap dilakukan untuk meningkatkan timbangan berat tembakau.
Penyemprotan gula pada daun tembakau juga tak lupa dilakukan, sehingga daun nampak lebih mengkilat. Perlawanan ini bagi para pedagang merupakan bentuk kecurangan, namun mereka tidak dapat mencegahnya, karena mereka juga memahami kondisi para petani dan telah menjadi risiko dalam berusaha.
Kasus seperti ini mengemuka dan terjadi kepada para petani yang tidak mengikuti program kemitraan dengan pengusaha tembakau. Bagi para petani yang mengikuti program kemitraan telah memperoleh garansi, bahwa tembakaunya akan terbeli oleh perusahaan pada suatu tingkat harga tertentu. Para petani program kemitraan juga memperoleh pinjaman pupuk dan bibit dari perusahaan mitranya. Pinjaman itu harus dikembalikan pada saat panen telah dilakukan dan disetorkan.
Disatu sisi, program kemitraan mungkin memberikan jaminan kepastian kepada para petani. Namun, ternyata tidak semua petani mau mengikuti program ini. Bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Bagi yang menolak memberikan alasan, jika mengikuti program kemitraan mereka tidak memiliki potensi untuk memperoleh pendapatan sampingan selain tembakau.
Alasan yang masuk akal, sebab pendapatan sampingan yang mereka peroleh cukup membantu mengembalikan modal. Petani bisa menanam tanaman jenis polowijo seperti tomat, cabai, jagung, semangka di sekitar areal tanam tembakaunya.
Ada juga alasan lain yang tak bisa diabaikan, yaitu program kemitraan memiliki aturan yang ketat sehingga mereka mengalami beberapa kerugian. Seperti saat petik yang ditunda dan ketidakpastian tingginya tingkat hasil tembakau hasil panenannya. Menurut petani program kemitraan dipandang oleh petani seolah-olah menghilangkan identitas mereka sebagai pemillik sah lahan tembakaunya. (idi/bersambung)