Blackout Munir, Payung Hitam, Pentas Teater
Teater Payung Hitam dari Bandung, sudah lama tidak pentas di Surabaya. Ketika hari Selasa 31 Juli malam kemarin kelompok ini main di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, kebutuhan batin peminat teater di Surabaya agak terpenuhi.
Blackout Munir, judul pentas Payung hitam adalah karya Rachman Sabur, sutradara yang tak pernah berhenti mengembara. Blackout Munir (bunuh Munir), menyuguhkan tontonan untuk batin sejak awal hingga akhir. BOM (Blackout Munir) adalah ledakan yang tak pernah berhenti selama 40 menit.
Menonton pementasan Teater Payung Hitam, siapapun harus siap diteror. Karena selama pementasan tidak akan muncul adegan yang mengundang tertawa. Jangankan adegan konyol yang diharap mengundang tawa, dialogpun tak pernah terdengar dari atas panggung. Tapi menonton pentas TPH, adalah hiburan juga namanya. Hiburan bagi hati agar sejenak beristirahat dari rasa suka dan kecewa.
BOM langsung dimulai tanpa basa-basi. Tanpa sambutan maupun narasi pembukaan. Seorang wanita dengan membawa speaker toa (horn speaker) ukuran besar masuk ke panggung. Kedua matanya ditutup kain hitam yang diikatkan di kepala. Di belakangnya, enam lukisan besar tergantung di atap panggung. Satu berbentuk bingkai kosong. Wanita itu kemudian mendekati bingkai yang juga tergantung di atap.
Speaker itu tiba-tiba berdesis keras. Suara yang terdistorsi memekakkan telinga. Setelah penonton cukup terteror oleh nois yang rusak itu, kemudian terdengar suara seorang wanita. Dia sedang bertestimoni. Ternyata suara itu adalah milik Suciwati, istri almarhum Munir yang meninggal 7 September 2014. Sampai sekarang, setelah tiga pemerintahan berlalu di negeri ini, siapa orang yang membunuh Munir dengan arsenik juga belum ditangkap.
“Perjuangan masih panjang. Tapi kita harus terus menerus memperjuangkannya. Kita Tidak rela apabila orang yang kita cintai diculik, diracun, dibunuh dengan sewenang-wenang. Kita harus terus berjuang untuk menuntut keadilan,” suara Suciwati, melalui corong yang dibawa wanita di atas panggung itu.
Tanpa musik. Masuk seorang laki-laki berambut panjang, bepakaian hitam, berkaca mata hitam. Dia kemudian mendekati wanita yang memegang speaker tadi. Corong diambil dan diletakkan di lantai. Dia peluk wanita itu dari belakang. Kedua tangan wanita itu dimain-mainkannya.
Kedua tangan wanita itu seperti menari. Laki-laki berkaca mata hitam itu dengan tetap memeluk si wanita kemudian berputar, sambil terus menggerak-gerakkan kedua tangan wanita. Kedua orang itu menciptakan gerakan-gerakan yang sepertinya tak direncana, tetapi sebenarnya melalui proses latihan yang tentu amat lama.
Laki-laki tadi kemudian mengangkat tubuh wanita, memanggulnya, lantas membawa ke bingkai kosong di sisi kanan panggungyang tergantung di atap tadi, dan meletakkannya di dalam bingkai itu. Laki-laki itu seperti sedang menyampirkan sehelai kain di tali jemuran. Dan semua adegan itu tadi, berlangsung dalam sunyi.
Wanita itu, interpretasikan saja sebagai Suciwati, mirip selembar kain yang melambai dan terayun ditiup angin. Kadang angin kencang, kadang angin lembut. Dia terayun terus dalam ketidak-pastian.
Dari corong tadi, juga terdengar suara SBY ketika menjadi presiden. Kemudian disusul dengan suara Presiden Jokowi. Inti suara keduanya sama, yaitu janji untuk menuntaskan kasus terbunuhnya Munir Said bin Thalib.
Wanita yang tersampir di bingkai kosong tadi, masih tetap diayun-ayunkan angin. Sedang di lantai persis di bawahnya, kertas-kertas berserakan, termasuk kertas-kertas yang tersusun dalam ordner dan map. Kertas dan berkas-berkas hasil temuan tim pencari fakta kasus Munir, teronggok begitu saja di lantai. Begitu kira-kira menafsirkannya.
Blackout Munir karya Rachman Sabur dan Teater Payung Hitam di Gedung Cak Durasim hari Selasa malam, justru membuat Munir tak pernah mati.
Lima orang aktor Teater Payung Hitam bergantian muncul di panggung. Salah seorang diantaranya, laki-laki, masuk dengan memeluk selembar papan. Papan itu dimain-mainkannya. Diajak menari, diajak berguling-guling. Dia kemudian naik ke bingkai kosong, dan menari di dalam bingkai. Seperti sebuah lukisan yang hdup.
Sekali lagi, tanpa dialog. Dialog mereka lakukan dengan gerakan-gerakan tubuh. Juga dengan permainan lampu yang digantung di depan lukisan. Dialog juga dilakukan dengan suara-suara bising yang muncul dengan memukuli lukisan-lukisan yang digantung itu, yang ternyata bermedia seng.
Tanpa dialog, inilah memang keistimewaan Teater Payung Hitam yang hampir semua pentasnya disutradari Rachman Sabur. Hingga sekarang sudah lebih dari 90 lakon yang dipentaskan oleh kelompok yang berdiri tahun 1982 ini, pentas di hampir semua kota-kota besar di Indonesia. Juga di luar negeri.
Pada pertengahan tahun sembilanpuluhan, ada satu kelompok teater sebagaimana Teater Payung Hitam, juga menghilangkan dialog yaitu Teater SAE. Dari hasil kolaborasi sutradara SAE yaitu Boedi S Otong dengan penyair Afrizal Malna, lahirlah beberapa lakon yang fenomenal. Seperti Rachman Sabur, Boedi Otong juga mengeksplore gerakan-gerakan aktor di atas panggung.
Payung Hitam dan SAE saling pengaruh mempengaruhi, memperkaya genre teater yang berkembang di Indonesia, saat itu. Masuk tahun dua ribuan, Boedi Otong hengkang ke Eropa, teater SAE seperti hilang ditelan bumi. SAE tak lagi berproduksi. Kini tinggal kelompok Payung Hitam yang kita harap akan terus melahirkan karya-karya baru.
Payung Hitam telah membuat sejarah, bahkan ikut mempengaruhi konsep dari banyak kelompok teater dan sutradara di Indonesia. Rachman Sabur bersama Payung Hitamnya, banyak yang mengekor. Karena itulah banyak orang yang menunggu pentas Teater Payung Hitam berikutnya. (m. anis)