Biru Langit
Pengantar Redaksi
Hidup yang selalu mengalir. Panta rei. Begitulah si Kusno menjani hidup di masa mudanya. Lalu orang pun mengenalnya sebagai Bung Karno, meyakini konsep kehidupan yang mengalir itu.
Tanpa bermaksud menyejajarkan dengan Sang Proklamator, agaknya banyak orang bercita-cita tinggi tanpi tetap pada keyakinan akan "aliran sungai" yang harus dijalaninya itu. Seorang di antara mereka adalah Ahmad Zainul Hamdi. Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) ini, belum lama menjalani tugas sebagai Wakil Rektor setempat -- menyusul diangkatnya Prof Akh Muzaki sebagai rektor di kampus indah di bilangan Ahmad Yani Surabaya itu.
Mengalirlah tugas-tugas yang berikutnya pada diri Inung --panggilan akrab Ahmad Zainul Hamdi. Pada Rabu, 4 Januari 2023, Wakil Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur ini mendapat hadiah di awal tahun, diangkat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS), Kementerian Agama RI.
Kali ini, Inung tak menghadirkan renungan khusus. Tapi, catatan atas dirinya menjadi hal yang patut diketahui bersama oleh publik. Silakan membaca!
PADA tahun 1985, di antara lagu-lagu pop ciptaan Rinto Harahap, A. Riyanto, Pance Pondaag, dan Obbie Messakh yang membahana di era itu, Biru Langit me-release album pertamanya dengan lagu “Luka” sebagai lagu andalannya. Band ini menawarkan konsep yang berbeda. Biru Langit adalah sebuah grup band dari Sukabumi bentukan musisi Nuris Iskandar.
Ketika lagu-lagu pop didominasi oleh genre "menye-menye” ala Nia Daniati atau pop riang ala Ria Resty Fauzy, lagu “Luka” Biru Langit jelas terdengar “aneh”. Nuansa klasik Eropa dengan string biola terdengar seperti sebuah bunga merah di tengah taman melati putih. Mencolok. Menarik perhatian. Saya terpikat.
Jelas ini bukan jenis lagu pop yang biasa digenjreng atau didendangkan para remaja. Saya sendiri nyaris tidak memiliki teman berbagi untuk menikmati lagu ini. Saking tidak populernya di lingkungan pergaulan, saya sampai tidak tahu apa judul dan siapa penyanyinya. Saya baru tahu kemudian bahwa lagu itu berjudul “Luka” yang dibawakan oleh Biru Langit.
***
Pelajar dan Santri
Tahun 1985 saya kelas 1 di MTs Matholiul Anwar Simo, Sungelebak, Lamongan. Saat yang sama, saya nyantri di Pesantren Tanwirul Qulub Sungelebak, Lamongan. Di sini saya mulai belajar nahwu-sharaf atau tata Bahasa Arab melalui nadzam Jurumiyah dan al-Amtsilat al-Tashrifiyah serta ilmu fiqh dasar melalui kitab Fath al-Qarib al-Mujib. Di tingkat ini, saya juga belajar menulis Arab pegon dan khat (kaligrafi Arab). Di sinilah saya mulai mengenal kitab kuning.
Sekalipun lingkungan saya tetap didominasi oleh lagu-lagu dangdut dan kasidah ala Nasida Ria (tentu juga shalawatan yang tidak jarang disenandungkan menggunakan irama lagu-lagu dangdut dan kasidah), sebagaimana lingkungan keluarga dan pertemanan saya di desa kelahiran, namun lagu-lagu pop mulai gencar memanjakan telinga saya.
***
MAN Lamongan
Tahun 1987/1988 saya melanjutkan sekolah ke MAN Lamongan. Bersekolah di luar lingkungan pesantren adalah sesuatu yang “tabu” di keluarga saya. Saya memaksa. Saya ingin mengenal dunia luar. Dijinkan asal tetap tiggal di pesantren. Ya, saya sekolah MAN dengan tetap mondok di pesantren. Sekecil apapun, Kota Lamongan tetap memukau saya yang sejak kecil hanya tinggal di desa.
Saya menjalani kelas satu MAN dengan baik. Hampir semua pelajaran saya lalui dengan baik kecuali matematika, fisika, dan biologi. Entah mengapa otak saya mampet untuk ketiga pelajaran ini. Saya menyelesaikan kelas satu dengan predikat 10 terbaik di kelas. Pinter? Jelas, di mata wali kelas, saya tergolong anak pinter. Tapi justru di sinilah celakanya. Saya “dipaksa” masuk ke jurusan Fisika, padahal otak saya sama sekali gak mau bekerja untuk ilmu fisika beserta ilmu-ilmu pendukungnya.
Kelas dua saya lalui dengan kehancuran. Fisika hancur. Matematika lebur. Kimia binasa. Justru saya sangat antusias untuk pelajaran kesenian dan sastra Indonesia. Sejak itulah saya bercita-cita menjadi penyanyi. Jika tidak, saya ingin menjadi guru Bahasa Indonesia. Pokoknya masa depan saya adalah bermain gitar, bernyanyi, dan berpuisi. Betapa indahnya. Lupakan Fisika! Persetan Matematika! Gak mau berteman dengan Kimia.
Saya mulai belajar main gitar. Belajar memetiknya sambal mendendangkan lagu-lagu slow rock Nicky Astria. Nge-band bersama kawan-kawan. Menyanyikan lagu-lagu God Bless atau SAS atau Ikang Fauzi. Menikmati Rolling Stones atau Scorpion. Menghadiri setiap acara band di berbagai SMA dan alun-alun kota.
Berangkat ke sekolah hanya dengan satu buku tulis yang terlipat dan diselipkan di saku belakang celana. Sepatu diinjak tumitnya. Bukannya tidak mau belajar, tapi otak terus-merus menolak membuka diri untuk matematika, fisika, dan kimia. Apa boleh dikata.
Tidak ada yang bisa dibanggakan kecuali bahwa saya pernah mewakili sekolah untuk ikut lomba menyanyi antar-MAN se-Jatim. Menyanyikan “Panggung Sandiwara” dan “Hening”. Juara harapan I. Lumayan!
***
Album Lagi
Saat saya kelas 2, tahun 1989, Biru Langit mengeluarkan album ketiganya: “Ujung Hari”. Lagu andalan di album ini sebetulnya adalah “Ujung Hari” yang diciptakan Farid Hardja, namun yang meledak justru “Terlampau Jauh” yang diciptakan Nuris Iskandar. Jika pada album sebelumnya, “Luka”, Biru Langit lebih mengandalkan string section, pada “Terlampau Jauh” kental nuansa saxophone. Di album ini, vokalis Biru Langit tidak lagi Irma Kirana, tapi Lina Alia, seorang penyanyi asal Cianjur yang kala itu masih duduk di bangku kelas dua SMA.
Di tahun-tahun itu, era Rinto Harahap dan Obi Mesakh mulai meredup diganti genre pop kreatif. Nama-nama beken seperti Fariz RM, Oddie Agam, Utha Likumahuwa, Deddy Dukun, Dian Pramana Putra, Trie Utami, Mus Mujiono, dkk. merajai blantika musik tanah air waktu itu. God Bless semakin garang dengan cabikan gitar Eet Sjachranie. Musik rock menggemuruh seantero negeri melalui tangan dingin produser Log Zhelebour.
Tentu saja saya menikmati semua itu. Tapi hati saya tidak bisa berpaling dari Biru Langit. Di antara dentam drum yang kami mainkan bersama kawan-kawan saat nge-rock, diam-diam saya menikmati “Terlampau Jauh”. Lagu ini dibuka dengan lantunan solo saxophone yang dipadu dengan dentingan piano.
Setelah bagian awal musik yang nge-beat, vokal Nuris terdengar menyanyikan bait pertama “Terlampau Jauh”:
“Ketika mimpi t’lah usai berlalu
Dari suasana kasih hingga kecewa
Sesalnya aku mudah terjatuh
Dalam bayang duga dan sangka
Meski akhirnya kutahu juga….”
Setelah lagu ini, saya tidak lagi mendengar Biru Langit. Tapi hingga kini, saya masih menikmatinya. Sendirian.
***
Akhirul kalam
Jika saat ini saya menjadi seorang profesor, kemudian Wakil Rektor di UINSA Surabaya, lalu hari ini dilantik menjadi Direktur DIKTIS, saya tahu jalan apa yang telah saya lalui. Juga, saya sadar semua capaian ini jauh melebihi angan saya. Bahkan, tak pernah menjadi angan. Tapi seperti orang bijak katakana, di atas BIRU LANGIT, masih ada langit biru.[]