Bintara Polisi Pengubah Wajah Kota Batam
Tahun ini, dua kali saya berkunjung ke Batam. Kota kepulauan yang berseberangan dengan Singapura. Bahkan, kita bisa melihat gedung pencakar langit dan gemerlap negara kota ini dari Batam setiap saat. Hanya dipisahkan oleh Selat Malaka.
Negara kota? Ya. Saya lebih suka menyebut negeri bekas jajahan Inggris itu sebagai negara kota. Besarnya seperti satu kota di Indonesia. Penduduknya hampir sama dengan Surabaya. Tapi Singapura adalah sebuah negara. Kaya pula.
Kunjungan akhir tahun ini untuk menghadiri pernikahan calon doktor dari Universitas Oxford, Inggris: Abid Abdurrahman Adonis. Anak seorang kiai dari Nganjuk. Mempersunting ahli PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) lulusan Oxford juga. Perjodohan anak-anak unggul.
Ini tergolong pernikahan istimewa. Selain kedua pengantin dari Universitas Oxford, saksi nikahnya juga istimewa. Saksi dari pengantin putri Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat A Muhaimin Iskandar. Saksi dari pengantin pria Ketua Umum Kadin Anindya Alvian Bakrie.
Tapi yang istimewa lagi adalah pesatnya perkembangan Kota Batam. Melesat bak meteor dibanding 10 tahun lalu. Bandaranya bagus. Jalan dari bandara ke tengah kota sangat bagus. Dua ruas dengan masing-masing enam jalur.
“Ini seperti jalan tol gratis di tengah kota,” kata Hardi Salamat Hood, mertua manten pria. Salah satu tokoh kota Batam ini baru saja mengikuti Pilkada serentak sebagai wakil walikota Batam. Sayang pasangannya belum menang. Ia memang kandidat yang tidak diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Di sekitar bandara juga sedang dibangun terminal baru. Hasil kerja sama dengan pengelola Bandara Incheon, Korea Selatan. Entah sejak kapan, dari Bandara Hang Nadim Batam memang ada penerbangan langsung ke negeri Ginseng itu. Tentu terminal baru akan menambah kemegahan terminal lama yang sudah tampak megah pula.
Saya pun merasakan suasana atau aura berbeda dari kota ini. Bahkan ketika berkunjung ke salah satu mall, terasa seperti suasana pusat belanja di Singapura. Apalagi banyak sekali warga Singapura dan asing hilir mudik dan berbelanja di pusat perbelanjaan ini.
Para pengunjungnya terkesan fashionable. Sangat sadar dengan fashion yang digunakan. Juga pengunjung malnya tampak beragam etnisnya. Juga bahasa yang digunakan mereka. Banyak pengguna bahasa Inggris Singapura. Mereka berbaur dengan warga Melayu.
Sejak kapan Batam maju pesat? Sejak walikota dan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Otorita Batam dirangkap Walikota Muhammad Heru. Ia sudah menjabat sebagai orang pertama di kota Batam dua periode. Sebelumnya, ia adalah wakil walikota di kota yang sama selama satu periode.
“Ia gunakan anggaran sisa Otorita Batam untuk membangun jalan lebar-lebar ini,” tambah Hardi. Tak hanya lebar jalannya, tapi juga asri di sepanjang jalan. Di tengah dua ruas jalan yang lebar ditanami pohon rindang. Juga di sepanjang pinggir jalan.
Sebagian orang pasti tahu, dulu Batam ditetapkan pemerintah Orde Baru sebagai kawasan otoritas. Kapalanya ditunjuk langsung oleh presiden. Setelah reformasi politik dan otonomi daerah sempat terjadi dualisme kepemimpinan: Kepala BP vs Walikota Batam.
Yang menarik, sebelum terjun ke politik, Rudi adalah seorang polisi. Berpangkat Aiptu. Bukan perwira. Semula, ia mengundurkan diri dari kepolisian karena ingin menjadi pengusaha. Tapi garis tangannya berkata lain. Setelah mundur dari polisi, ia sempat menjadi anggota DPRD dari PKB.
Meski ia mantan polisi berpangkat Aiptu, kepemimpinannya tampak berkarakter. Ia betul-betul memahami masalah utama birokrasi. Ia memulai dengan menciptakan birokrasi yang bersih. Dengan menata kembali belanja anggaran kota begitu menjabat sebagai orang pertama di Batam.
Mantan anak buahnya yang pernah menjadi kepala dinas bercerita. Begitu terpilih menjadi walikota, Rudi langsung merevisi kebijakan pengadaan mobil dinas, perjalanan dinas, dan paket-paket pengadaan ATK (Alat Tulis dan Kantor). “Tiga itu yang sering menjadi sumber korupsi,” kata mantan kepala dinas yang terakhir pindah tugas di Pekanbaru itu.
Dengan merevisi pengadaan di tiga hal itu, bisa dilakukan penghematan anggaran. Hasil penghematan itu yang kemudian dioptimalkan untuk membangun kota Batam. “Beliau orangnya detail. Jika kepala dinas di rapat tidak siap data langsung diusir dari ruangan,” tambahnya.
Sayangnya Rudi bukan Walikota Surabaya. Tampaknya juga kurang “cerdik” mem-branding dirinya. Sehingga tindakan nyatanya mengubah Batam dalam dua periode masa jabatannya kurang menjadi perhatian nasional. Hanya orang yang pernah ke sana sebelum dan sesudah ia menjabat yang bisa merasakan.
Ia adalah contoh mantan polisi berpangkat setara ASN golongan dua yang hebat. Yang bisa mengubah wajah kotanya jauh lebih maju hanya dalam dua periode kepemimpinannya sebagai walikota. “Kini Batam sudah setara dengan Johor lah. Kalau dengan Singapura belum. Tapi Singapura kan negara,” tambah Hardi ikut bangga.
Rudi dalam Pilkada serentak tahun ini mencalonkan sebagai Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Sayang, dia tidak menjadi bagian dari yang disebut Bocor Alus Politik Majalah Tempo sebagai bagian dari Parcok alias Partai Coklat.
Tapi setidaknya Ia akan tercatat sebagai Pimcok (Pimpinan Coklat) yang sukses mengubah wajah kota Batam. Seorang mantan bintara polisi yang mengundurkan diri dan sukses menjadi politisi. Sayang ia belum bisa meneruskan kesuksesannya karena pertarungan politik.
Tapi sebagai mantan polisi dan politisi, pasti ia tak akan mati setelah gagal sekali. politisi sejati bisa mati berkali-kali dan hidup berkali-kali. Kalau pun tak bisa hidup lagi, ia telah meninggalkan warisan hebat atau legacy: Pengubah Wajah kota Bayang-Bayang Singapura.