Bintang Kejora di Papua, Gus Dur dan Sikap Wiranto Kini
"Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora,” ujar Wiranto melapor.
Mendengar laporan tersebut, kemudian Presiden Abdurrahman wahid bertanya, “Apa masih ada bendera Merah Putihnya?” tanya Presiden ke-4 RI yang akrab Gus Dur.
“Ada hanya satu, tinggi,” ujar Wiranto sigap.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur kemudian menjawab, “Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul,” ujar Gus Dur santai.
“Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya,” sergah Wiranto.
Gus Dur pun menjawab, “Pikiran Bapak yang harus berubah. Apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul! Sepak bola saja banyak benderanya!” ucap Gus Dur.
Kisah tersebut, dituturkan kembali Muhammad AS Hikam, Menristek zaman Presiden Gus Dur dalam Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013). Ketika itu Wiranto menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam) dan melapor ke Pak Presiden terkait pengibaran bendera OPM, Bintang Kejora.
Agaknya, sejarah memang berulang. Wiranto kini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres M Jusuf Kalla, Wiranto kembali sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Kini, sikap Wiranto lebih mengedepankan nilai kultural dan kemanusiaan dalam menghadapi masalah Papua itu. Seperti tampak dari sikap Wiranto dalam acara kesenian masyarakat Papua di Bundaran HI, Jakarta, Minggu 1 September 2019. Ia menyatakan saat ini situasi keamanan di Papua dan Papua Barat berangsur aman. Ia meminta seluruh elemen masyarakat menjaga situasi tetap aman.
"Hari ini kita sangat bersyukur ya, bahwa kita mendengar saudara-saudara kita di Papua - Papua Barat sana sudah berdamai, sudah tenang, kehidupan mulai berjalan lagi, toko-toko sudah buka," ujar Wiranto.
Melalui acara kesenian khas Papua ini, bagi Wiranto, terlihat pula masyarakat Papua diterima dengan baik di Indonesia. Dalam acara tersebut Wiranto turut menyanyikan lagu Maluku Tanah Pusaka. Beberapa lirik ia ubah untuk menunjukkan persaudaran bangsa Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Ia pun mengingatkan masyarakat di Papua dan Papua Barat tak lagi bertindak anarki dan menyampaikan aspirasi secara damai.
Akhirnya, Wiranto pun mengucapkan terima kasih kepada seluruh tokoh Papua yang telah membantu pemerintah menciptakan situasi yang aman usai kerusuhan. "Terima kasih kepada temen-temen di Papua - Papua Barat yang sudah sadar bahwa tidak perlu kita berkelahi, tidak perlu kita anarki, tidak perlu kita bakar-bakaran," ujar Wiranto.
"Kita semua mencoba untuk menyiarkan bahwa kita semua bersaudara untuk mengambarkan ke seluruh Indonesia, ke seluruh dunia, bahwa kita semua bersaudara, dan kita siap menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya," lanjut dia.
Dalam catatan ngopibareng.id, KH Abdurrahman Wahid mempunyai catatan khusus terkait soal Papua. Pada 2007, Gus Dur tidak lagi jadi Presiden. Namun, Gus Dur sempat menyebut alasannya memperbolehkan bendera Bintang Kejora berkibar. Gus Dur menganggap bendera Bintang Kejora hanya bendera kultural warga Papua. “Bintang kejora bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri,” kata Gus Dur kepada wartawan.
Gus Dur, yang saat menjabat presiden mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya (waktu itu) untuk menggunakan sebutan Papua, justru menuding polisi dan TNI tidak berpikir mendalam ketika melarang pengibaran bendera Bintang Kejora.
“Ketika polisi melarang, tidak dipikir mendalam, (tim) sepak bola saja punya bendera sendiri. Kita tak perlu ngotot sesuatu yang tak benar,” katanya.
Menurut Franz Magnis Suseno, sahabat Gus Dur di Forum Demokrasi, pemberian nama Papua pada Irian Jaya dan pemberian izin pengibaran bendera Bintang Kejora bukan tanda Gus Dur meremehkan terhadap Indonesia. Hal itu justru sebaliknya, Gus Dur mau membantu orang-orang Papua untuk bisa menghayati Ke-Indonesiaan dari dalam.
“Gus Dur percaya pada Orang Papua. bahwa itulah cara untuk merebut hati suatu masyarakat yang puluhan tahun merasa tersinggung, tidak dihormati, dan bahkan dihina. Karena itu orang-orang Papua mencintai Gus Dur,” ujar Franz Magnis dalam kata pengantar buku karangan Muhammad AS Hikam, berjudul Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013).
Ahmad Suaedy yang menulis buku Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa dalam menyelesaikan konflik Papua? Gus Dur mencoba ‘menenangkan’ hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Perhatian Gus Dur terhadap konflik vertikal dan kedekatannya dengan para eksponen, yang oleh pemerintah pusat disebut separatis, sebenarnya bukan hanya di Indonesia, melainkan juga kepada negara-negara tetangga, seperti di Pattani, Thailand Selatan dan di Mindanao, Filipina Selatan.
Gus Dur tidak hanya memfasilitasi dialog dan mencari jalan damai, tetapi juga mendampingi mereka sebagai sahabat dan saudara, tanpa memprovokasi dan melanggar etika hubungan antar-negara. Karena Gus Dur juga terlibatk aktif mewujudkan perdamaian bangsa-bangsa di dunia yang terlibat konflik.
Gus Dur menempatkan dua konflik vertikal di Papua sebagai isu kewarganegaraan. Prinsip utama kewarganegaraan adalah kesetaraan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur adalah dialog langsung. Melakukan penguatan masyarakat sipil. Melakukan berbagai pertemuan. Membangun kesepakatan, sampai pada titik nol derajat, yang berarti tidak ada tuntutan.