Bintang Jokowi Untuk Kuliner Kita
Akun media sosial Presiden Joko Widodo (Jokowi), kembali memposting seri kuliner pada Sabtu, 18 Januari 2020. Kali ini, judulnya #JKWKuliner Aceh. Isinya tentang kedai makanan yang pernah disambanginya di Aceh.
Isi tampilannya menarik. Dari Kopi Solong, Warung Kari Kambing Lem Bakrie, Mie Razali, serta Warung Bu Si Itiek. Pengambilan gambarnya detail. Semuanya jadi tampak lezat dan mengundang selera.
Saya yang belum pernah menikmatinya, jadi tergugah. Ingin bergegas ke Banda Aceh. Untuk merasakan senikmat apa kuliner yang dapat bintang dari mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Maklum, yang menyiapkan konten media sosial presiden tentu para profesional. Pasti serius membuatnya. Buktinya, untuk pengambilan gambar itu, ada tim khusus yang datang. Perekaman gambarnya bahkan berulang.
Tak perlu heran, karena takut menganggu kegiatan jualannya, seusai pengambilan gambar, tim produksi pun menyodorkan honorarium. Kepada pemilik kedai, sebagai pengganti pendapatan. Saya yakin, banyak dari mereka pasti menolaknya.
Sebab warungnya didatangi presiden untuk bersantap saja, sudah sebuah kebanggaan. Apalagi lalu dibuat jadi liputan berkelas. Lantas muncul di media sosial Pak Jokowi dengan jutaan pengikut.
Tentu saja, efek ledakannya bisa tak terkira. Padahal, efek pernah disinggahi dan sajiannya dinikmati presiden pun, sudah jadi omongan orang. Inilah cara pemasaran paling paripurna.
Gratis dan dagangan makin laris. Setelahnya, pasti berbondong orang akan datang. Ingin mencoba mencecap nikmatnya.
Sebelum Aceh, sebelumya #JKWKuliner membahas dua kuliner kota tempat tinggal Pak Jokowi. Pertama di Solo. Lantas, kuliner di Bogor.
Bintang kuliner ala Pak Jokowi ini, hemat saya, cara paling efektif mengenjot wisata kuliner lokal. Karena rekomendasi dari presiden. Yang utama, makanannya akan enak. Kalau ternyata seleranya beda, setidaknya rasa ingin tahu sudah tertunai.
Tapi saya kok yakin, kadar enaknya pasti tinggi. Karena kedainya telah disurvey, dicoba oleh tim pendahulu Paspampres. Mereka akan menilai dari kualitas masakan, keahlian koki, cita rasa, kebersihan, juga unsur kesehatan. Kalau semua lolos, baru akan dikunjungi presiden.
Bisa jadi, munculnya #JKWKuliner ini, karena Pak Jokowi tak sabar menanti program wisata kuliner dari kementerian terkait. Program yang seharusnya bisa membantu pemerintah daerah menarik pelancong. Akhirnya, belio bikin program sendiri saja.
Memang, ada seribu cara mengenjot kedatangan para penikmat wisata. Yang tak lekang gaya, menariknya dengan belaian rasa. Ya, wisata kuliner dengan beragam rupa.
Pencarian pengalaman atas makanan dan minuman, terutama yang enak dan unik, akan menghasilkan kesan. Hilanglah penasaran. Juga kesenangan yang bisa ditularkan.
Jangan lupa, kuliner lokal juga mengandung banyak pesan. Di dalamnya ada praktik perilaku keseharian, sejarah, juga warisan budaya. Makanan yang mengikat dengan tanah dan identitas.
Makanan juga tempat berbagi cerita. Cerita atas pengalaman yang otentik. Karena tiap daerah punya makanan khas nan menawan.
Cerita bintang kuliner, tentu tak bisa dilepaskan dari bintang kuliner Michelin. Pabrik ban dari Perancis itu, tiap tahun mengeluarkan daftar kuliner yang top. Baik level restoran kelas tinggi hingga kuliner kaki lima.
Awalnya, daftar itu dikeluarkan bagi para sopir dan mekanik. Rating dengan satu bintang, mulai muncul pada 1926. Artinya, restoran ini bagus.
Dalam perkembanganya, muncul stempel bintang dua dan bintang tiga. Kalau yang ini, artinya luar biasa dan layak untuk diulangi. Keduanya mulai diperkenalkan pada 1933.
Yang memberikan penilaian tentu bukan pelanggan. Tapi, tim inspektor. Mereka tim khusus dari Michelin. Sehingga kadar independensi penilaian akan terjaga.
Negara tetangga, Singapore paling lihai memanfaatkan stempel bintang ini. Tak cuma untuk restoran kelas atas. Di sini, beberapa kedai kaki lima juga mendapatkan stempel bintang.
Inilah dagangan baru untuk mendongkrak wisata. Minggu lalu, saat melawat ke Singapore, saya pun berselancar di mesin pencari Bing. Tentu saja, untuk mencari kaki lima dengan bintang Michelin.
Saya mencari kaki lima untuk masakan halal. Di daftarnya, terbaca ada Kedai Aullauddin di Tekka Center. Jualannya, nasi briyani.
Malam itu, saya memilih naik taxi online dari hotel. Sekalian ingin bertanya, bagaimana persaingan taxi online dan taxi biasa. "Tahun lalu, bisnis taxi saya lumayan," ungkap Ahmad dalam bahasa Inggris berdialek Singapore itu.
Sesampai di Tekka Center, keramaian memuncak. Pas jam makan malam. Karena dekat dengan kawasan Little India, penuh para warga keturunan India.
Di samping Tekka Center ini juga pasar tradisional. Banyak pedagang yang masih berjualan. Dari sayur mayur, ikan, hingga daging kambing.
Lapak makanan banyak sekali. Saya harus bertanya ke beberapa orang untuk menemukan Kedai Aullauddin itu. Sebagian menunjukan kedai nasi briyani yang penuh sesak.
Wisatawan manca, juga terlihat banyak meriung. Sebenarnya, saya sempat tergerak mau berhenti di salah satu kedai yang ramai. Itu tanda sederhana, kalau sajian menunya enak.
Tapi kepalang basah. Saya harus menemukan kedai yang dapat bintang Michelin itu. Setelah tiga kali bertanya, mata saya menemukan plang nama Aullauddin.
Saya sempat ragu. "Kok kedainya agak sepi?" batin saya. Tapi, tekad sudah bulat. Saya pun maju memesan nasi briyani.
"Nasi briyani ayam?" tanya sang pelayan.
Saya pun menggeleng. Lantas meminta disajikan nasi briyani dengan daging domba. Tangannya bergerak cepat. Menyiapkan pesanan saya.
"Lima dollar," Katanya sambil menyerahkan makanan. Seusai membayar, saya pun duduk di meja. Beberapa foto pejabat dengan pemiliknya tertempel di sana. Ada sertifikat dari badan pariwisata Singapore.
Saya pun mulai memasukkan sesuap nasi. Rasanya? Mohon maaf, tak seenak bayangan saya. Biasa saja.
Mohon maaf, saya pun tak menandaskan nasi briyani itu. Makan ala kadarnya. Karena saya tetap masih ingin menghormati penjualnya.
Bisa dikatakan, Singapore menata dengan rapi pusat makanan kaki lima ini. Di beberapa tempat yang dekat perkantoran, saya dengan gampang menemukan makanan kaki lima.
Dari masakan Melayu, Indonesia, peranakan, atau Vietnam, semua lengkap. Untuk memastikan restoran itu halal atau tidak, saya punya jurus sederhana. Lihat penjualnya atau pembelinya.
Bila ada yang memakai tudung atau jilbab, dipastikan halal. Kadang ada juga yang memakai kopiah haji. Yang jelas, banyak juga yang menulis restoran muslim. Jadi tak perlu banyak bertanya.
Atau, bila di kaca ada gantungan daging babi atau tulisan menu babi, itu jelas tak halal. Membuka bisnis makanan di Singapore, tak segampang di Indonesia. Tak bisa membuka warung di depan rumah atau memasak di rumah.
Dinas kesehatan mensyaratkan hal yang ketat. Yang pasti harus ada dapur utama bersertifikat. Selain itu, persaingan sangat ketat. Entah mengapa.
Seorang teman warga Singapore keturunan Padang bercerita, suaminya sudah punya tiga restoran masakan ladang. Tapi selalu ada yang melaporkan. Tak butuh lama, usahanya gulung tikar.
Singapore juga cerdik merejuvenasi kuliner kaki limanya. Ada sebagian merk kuliner yang diangkat kelasnya. Masuk ke mall papan atas.
Saya mencoba nasi lemak dari salah satu yang terkenal. Di mall yang lebih bersih dan wangi. Rasanya sama, enak. Yang berbeda cuma satu. Harganya lebih mahal.
Upaya itu tentu jadi cara membuat wisata kuliner tetap jadi primadona. Tak semua orang mau menjelalah ke kedai-kedai di pusat kaki lima. Walaupun, biasanya lokasi pusat jajanan kaki lima, letaknya tak jauh dari stasiun kereta bawah tanah.
Tentu saja, itu bisa ditiru di sini. Menyediakan pusat jajan kaki lima yang rapi. Dengan pengawasan dari dinas kesehatan setempat. Agar para konsumen tetap terlindungi.
Lantas penambah kekhasan, para bupati atau walikota bisa menambah keramaian kawasan itu. Bisa dengan lampu atau gerbang yang ikonik. Agar pengunjung bersuka ria berfoto dan memajangnya di akun media sosial mereka.
Kembali ke urusan daftar kuliner bintang ala Pak Jokowi. Bila daftar kuliner lokal yang direkomendasikan Pak Jokowi makin beragam, tentu ini mengasyikkan. Bisa jadi rujukan dan tujuan wisata baru.
Tinggal Pak Jokowi memberikan sertifikat bintang saja. Semoga nanti ada bintang satu, bintang dua, atau bintang tiga. Biar bisa dipajang di tembok. Untuk bukti, kedai ini sangat layak dikunjungi dan dinikmati masakannya.
Ajar Edi, kolomnis "Ujar Ajar".
Advertisement