Bingung, Kita Bela atau Sikat Penjahat
Oleh: Djono W. Oesman
Kita ini ambigu. Sebagian menganggap, HAM penjahat harus dihormati. Penjahat juga manusia. Lainnya menganggap, abaikan HAM penjahat. Karena mereka merampas HAM orang lain. Akibatnya fatal. Mantan narapidana korupsi pun jadi pejabat publik. Saking sayangnya rakyat pada penjahat.
—---------
Contoh konkret terbaru: Selasa, 11 Juli 2023, Walikota Medan, Muhammad Bobby Nasution menyatakan, menghargai aparat Polrestabes Medan menembak mati begal bernama Bima Bastian alias Jarot.
Bobby Nasution kepada pers: "Begal dan pelaku kejahatan, tentu saja tak punya tempat di Kota Medan. Aksi mereka meresahkan. Sudah tepat jika aparat bertindak tegas karena kita ingin ketenangan, keamanan di Medan. Saya mengapresiasi tindakan tegas aparat Polrestabes Medan."
Pernyataan itu diprotes keras Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Melalui siaran pers, Selasa 11 Juli 2023 KontraS menyatakan begini:
"Walikota Medan Minta Begal Ditembak Mati: Pernyataan Arogan dan Melegalkan Kesewenang-wenangan Penggunaan Senjata Api".
Maka, KontraS mendesak agar Walikota Bobby Nasution mencabut ucapan mendukung penembakan begal di Medan itu. Sekaligus, Bobby Nasution harus minta maaf kepada publik.
KontraS: "Perlu digarisbawahi, bahwa para begal juga merupakan warga negara yang memiliki HAM untuk memperoleh proses hukum secara adil dan oleh Perkap Nomor 8 Tahun 2009, secara tegas diatur bahwa anggota Polri harus menjamin hak setiap orang untuk diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak".
Menanggapi balik atas tanggapan KontraS itu, Bobby Nasution menyatakan: "Saya mewakili para begal, menyampaikan terima kasih untuk KontraS dan LBH yang sudah mendesak saya untuk mencabut pernyataan tegas itu. Terima kasih.”
Artinya, Bobby Nasution tampak kesal bahwa dukungannya pada polisi yang bertindak tegas terhadap begal, justru dilawan oleh KontraS. Sehingga dalam gaya menyindir, ia menyatakan “Saya mewakili para begal” berterima kasih.
Terakhir, Bobby Nasution menyatakan: "Tanyakan ke masyarakat saja, deh." Maksudnya, soal begal ditembak mati polisi, tanyakan masyarakat, setuju atau tidak.
Latar belakang: Mengapa begal bernama Bima Bastian ditembak mati? Kapolrestabes Medan, Kombes Valentino Alfa Tatareda kepada wartawan, Minggu 9 Juli mengatakan:
"Tersangka atas nama BB atau Bima alias Jarot, pada saat kita melakukan penangkapan, tersangka melawan, membahayakan petugas. Sehingga anggota melakukan tindakan tegas. Kita tembak pelakunya mengenai bagian dada, dan korban sudah disemayamkan di kamar jenazah."
Dijelaskan, begal Bima bersama kelompoknya bersenjata api, merampok Alfamart dan sebuah salon di Medan. Mereka ditangkap di wilayah Sei Beras Sekata, Kecamatan Sunggal, Medan.
Saat mereka diamankan, Bima melawan petugas dengan menggunakan senjata airsoft gun. Bima menembak ke arah petugas sebanyak enam tembakan. Salah satu tembakan mengenai polisi penyergap. Polisi ini masih dirawat di RS di Medan.
Maka, Bima ditembak polisi langsung kena dada. Diperkirakan kena jantung. Tewas di tempat. Jenazahnya dikirim ke RS Bhayangkara Medan. “Tersangka Bima dan kelompoknya adalah residivis perampokan, yang bertindak sadis kepada korban,” kata Kombes Valentino.
Persoalan jadi jelas. Bobby Nasution mendukung polisi menembak mati penjahat. Sebaliknya, KontraS mendesak Bobby agar mencabut dukungan itu. Masyarakat jadi ambigu. Terombang-ambing oleh pendapat pejabat publik dan LSM KontraS itu.
Kondisi ambigu inilah merasuki bangsa kita sekarang. Sangat dalam. Soal kejahatan. Apalagi, kejahatan korupsi. Kejahatan yang membuat uang negara dicolong. Uang negara mestinya digunakan memakmurkan rakyat. Namun dicolong.
Contoh lain: Mantan Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, Muhammad Taufik. Ia Wakil Ketua DPRD DKI selama dua periode, 2014-2019 dan 2019-2022. Padahal, Taufik korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2004 saat menjabat sebagai Ketua KPU DKI Jakarta. Ia korupsi Rp 488 juta. Diusut, diadili, divonis hukuman penjara 18 bulan.
Setelah bebas penjara, ia dibolehkan ikut Pileg DPRD DKI 2019. Menang. Terpilih lagi jadi Anggota DPRD DKI Jakarta. Artinya rakyat menghendaki ia jadi pejabat publik. Tidak peduli mantan narapidana korupsi.
Bahkan Taufik menjabat Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, lagi. Taufik meninggal di Rumah Sakit Siloam, Jakarta Selatan, Rabu malam, 3 Mei 2023 akibat kanker paru-paru.
Contoh lain: Anas Urbaningrum, narapidana korupsi juga, selama delapan tahun. Bebas dari LP Sukamiskin Bandung, Selasa, 11 April 2023 siang.
Anas kepada pers: "Alhamdulillah… hari ini saya bebas. Saya ingin sampaikan permohonan maaf kalau ada yang berpikir bahwa saya di tempat ini membusuk, kalau ada yang berpikir saya menjadi bangkai fisik dan sosial di sini (penjara), mohon maaf, alhamdulillah itu tak terjadi.”
Tapi, itu belum bebas murni. Istilahnya Cuti Menjelang Bebas (CMB) selama tiga bulan wajib lapor.
Anas terbukti korupsi di proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Ketika ia menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, 2012.
Ia ‘digigit’ teman sesama Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin, yang juga korupsi di proyek pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. 2012.
‘Gigitan’ Nazarudin sangat tajam. Anas diselidik. Melalui penyelidikan sangat rumit. Lalu ditetapkan sebagai tersangka Februari 2013.
Pastinya Anas tidak mengaku. Ucapan Anas paling terkenal se-Indonesia saat itu: “Kalau saya korupsi, maka gantung saya di Monas.”
Namun, Anas ditahan Januari 2014. Atau sebelas bulan setelah ditetapkan tersangka korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Ia diadili,
September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. Hak politik (memilih dan dipilih) dicabut selama lima tahun, terhitung sejak bebas hukuman.
Anas naik banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan, mengurangi hukuman Anas setahun. Menjadi tujuh tahun penjara.
Anas masih merasa kurang, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Di luar dugaan (Anas) vonis MA: Hukuman empat belas tahun penjara. Atau dua kali lipat dari keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ditambah denda Rp 5 miliar. Juga hak politik dicabut.
Ketua majelis Hakim Agung Artidjo Alkostar (alm) yang sangat terkenal. Rakyat bersorak, memuji Artidjo Alkosar.
Anas mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Terus, lima tahun kemudian, September 2020 majelis hakim PK dipimpin Sunarto memotong hukuman Anas enam tahun.
Menjadi delapan tahun penjara. Atau balik lagi ke besaran hukuman awal. Namun, tetap mengembalikan uang negara Rp 57,9 miliar dan USD 5.261.070. Hak politik tetap dicabut selama lima tahun sejak bebas murni.
Anas bebas murni Senin, 10 Juli 2023. Pada hari itu ia datang ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, mengurus surat bebas murni. Anas sangat gembira. Kepada wartawan ia katakan begini:
"Alhamdulillah… hari ini saya secara resmi selesai menjalani program CMB. Dapat sertifikat, karena tidak ada hal-hal pelanggaran. Anggap saja, ini statusnya cumlaude.”
Cumlaude adalah istilah penghargaan akademik dengan hasil nilai tertinggi. Berarti Anas lulusan terbaik dari penjara. Unik. Cukup sulit dimengerti artinya.
Terpenting, sangat banyak pendukung Anas. bahkan sudah mendirikan partai politik. Namanya Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) didirikan Oktober 2021. Kini, Ketua Umum PKN, I Gede Pasek Suardika.
PKN sudah lolos seleksi dan terdaftar sebagai peserta Pemilu 2024.
PKN akan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Jakarta pada 14 Juli 2023.
I Gede Pasek Suardika kepada wartawan mengatakan, agenda Munaslub PKN cuma satu: Menetapkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum menggantikan dirinya. Berarti, PKN didirikan khusus menunggu Anas bebas penjara.
Sangat jelas, masyarakat kita ambigu. Antara mendukung kejahatan dengan mendukung kebaikan. Antara pro kekejaman dengan pro kemanfaatan masyarakat. Gampangnya, sistem nilai dalam masyarakat kita terbelah dua di situ. Bingung membedakan moral baik dengan yang buruk. Sebagian mendukung moral baik, sebagian sebaliknya.
Kalau sistem nilai kita rusak, ya berat. Sebab, sistem nilai adalah pondasi hidup bermasyarakat. Sebelum bicara kemajuan dan kemakmuran.
*) Penulis adalah wartawan senior