Ketika Tanggung Jawab Pribadi Runtuh? Ini Pesan Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid, almaghfurlah, di antara sederet intelektual Muslim dikenal sebagai Guru Bangsa. Pesan-pesannya khas. Di antara deretan karyanya, Islam, Doktrin dan Peradaban, merupakan pusat orientasi apresiasinya terhadap khazanah pemikiran klasik dan modern. Ada yang menyebut pemikiran liberal. Namun, minatnya pada khazanah klasik itu menjadikan ia dilabeli neo-modernis.
Cak Nur, panggilan akrab intelektual yang lahir dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, pernah menuturkan kisah menarik dalam kaitan tanggung jawab seseorang terhadap hidup.
Alkisah, ada seorang lurah di sebuah desa penghasil madu. Ia mengumpulkan warganya untuk menyumbangkan madu kepada masyarakat lain yang baru ditimpa bencana alam. Kepada warganya ia menganjurkan agar masing-masing menyumbangkan madu dalam cangkir dan supaya pada waktu malam dikumpulkan di Pendopo. Di sana sudah tersedia bejana-bejana.
Mengapa pada waktu malam, supaya tidak malu, sebab mungkin saja di antara anggota masyarakat itu ada yang hanya bisa menyumbangkan setengah cangkir, seperempatnya, atau bahkan kurang dari itu. Tak soal, yang penting semuanya ikut berpartisipasi dalam kebaikan.
Dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid (Jilid 3), 2012 (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi) Cak Nur melanjutkan kisahnya.
Sang lurah senang sekali karena ternyata semua warganya datang dan menuangkan isi cangkir ke dalam bejana-bejana yang telah disiapkan, dan dia tidak sabar menunggu pagi. Tetapi apa yang terjadi ketika hari sudah mulai terang. Sang lurah kaget luar biasa, karena tidak satu pun bejana itu yang berisikan madu melainkan air.
Maka dikumpulkan lagi rakyat untuk menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi. Masing- masing menoleh kepada yang lain, dan mengira bahwa yang membawa air itu cuma dia sendiri. Rupanya malam itu ada yang berpikir bahwa jika semua orang membawa madu, maka kalau ada seorang yang membawa air tentu tidak akan kentara. Dia lupa, ada kemungkinan semua orang berpikiran seperti itu. Memang, yang terjadi adalah semua orang berpikiran demikian sehingga tidak ada setetes pun madu dalam bejana.
Itu suatu lukisan tentang tidak adanya tanggung jawab pribadi. Maka, Nabi mengatakan ibda’ binafsik (mulailah dari dirimu sendiri). Bayangkan kalau yang terjadi sebaliknya, yakni seluruh warga desa menyadari tanggung jawab mereka sebagai warga yang baik, sehingga semuanya membawakan madu yang terbaik. Maka tentu pada pagi harinya sang lurah akan merasa kaget. Dia minta sekadar madu, tetapi yang terkumpul madu yang kualitasnya terbaik. (adi)