Bila Wong Tengger Rayakan Karo. Ini Mirip Idul Fitri
Tengger. Tradisi Tengger. Minimal pernah mendengar ini. Boleh jadi malah pernah mengikutinya. Di sana ada Hari Raya Karo. Hari Raya yang serupa benar dengan Hari Raya Idul Fitri.
________________
Mulai Selasa, 28 Agustus hari ini, warga Tengger di tiga desa: Wonotoro, Jetak, dan Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo merayakan Hari Raya Karo. Perayaan ini mirip benar dengan Idul Fitri.
Perayaan ini berlangsung selama sepekan. Mayarakat Tengger juga beranjangsana ke rumah-rumah untuk bersilaturahmi. Saling bersalaman, saling memaafkan.
Puncak Hari Raya (Yadnya) Karo tahun 1940 Saka (bertepatan 2018 Masehi) diperingati bersama warga tiga desa di Desa Wonotoro. Ketiga desa itu secara bergiliran menjadi tuan rumah puncak peringatan Yadnya Karo setiap tahunnya.
“Tahun ini giliran Desa Wonotoro yang menjadi tuan rumah sekaligus tempat Tari Sodoran digelar,” ujar Santoso, warga Desa Ngadisari, Selasa. Sejak pagi, warga tiga desa itu, tua-muda, pria-wanita, berbondong-bondong menuju balai Desa Wonotoro.
Hari itu tiga kepala desa dinobatkan menjadi ”Raja Tengger”. Ketiga “raja” itu duduk di singgasana di hadapan ribuan warga Tengger yang duduk lesehan, mengepung hidangan berwadah takir kawung. Takir dari anyaman janur kelapa itu berisi nasi berserta lauk-pauk dan jajanan tradisional.
Bagian tengah balai desa sengaja dikosongkan untuk ritual Tari Sodoran. “Tari Sodoran menggambarkan asal-usul penciptaan jagat dan manusia, selalu digelar saat Hari Raya Karo,” ujar Supoyo, sesepuh Tengger.
Ritual Yadnya Karo dimulai dari prosesi besanan. Usai besanan, tiga pengantin yang semuanya laki-laki duduk di singgasana Raja Tengger. Ketika pengantin sudah bersanding, gamelan membahana, penari-penari Sodoran, semuanya juga laki-laki, dengan gemulai berjalan sambil melenggangkan tangan.
Mereka menunjuk penari pengganti dengan cara memberi sarak (tanduk kerbau). Mereka yang terkena sarak tak boleh menolak untuk melanjutkan tarian.
Ketika para laki-laki larut dalam gamelan dan gemulai Tari Sodoran, para perempuan Tengger berbondong-bondong menuju balai desa. Mereka berjalan beriringan sambil membawa rantang berisi makanan yang akan disantap usai ritual Karo.
“Selain merupakan ritual adat Tengger, Hari Raya Karo merupakan sajian wisata yang menarik bagi wisatawan,” ujar Supoyo. Mirip Idul Fitri, Yadnya Karo menjadi ajang silaturahmi (anjangsana) sesama warga Tengger.
“Namanya saja berhari raya, seperti halnya saudara-saudara kami umat Islam saat merayakan Idul Fitri, warga Tengger pun beranjangsana dari rumah ke rumah,” ujar anggota DPRD Kabupaten Probolinggo itu.
Sementara itu menurut peneliti Tengger dari Universitas Jember, Prof. Dr Simanhadi Widya Prakosa, Karo merupakan ritual adat Tengger. Tidak ada kaitannya dengan agama Hindu yang mereka anut.
Karo dirayakan untuk mengenang penciptaan jagat gede (alam semesta) dan jagat cilik (manusia). Prosesi penciptaan kedua jagat itu dilambangkan dalam gerakan-gerakan penari Sodoran.
Konon Hari Raya Karo sudah diperingati masyarakat Tengger sejak tahun 1700-an Masehi. Indikasinya, bisa dilihat dari kepingan mata uang logam yang dimasukkan dalam celengan sebagai sesaji upacara.
Uang logam yang dimasukkan dalam jimat klonthong itu di antaranya, berupa mata uang VOC tahun 1790. “Setiap tahun saat ritual Karo, uang logam selalu dimasukkan ke dalam jimat klonthong,” ujar Supoyo.
Tidak hanya warga Tengger di Probolinggo (Brang Wetan), warga Tengger di Pasuruan (Brang Kulon) juga merayakan Yadnya Karo. (isa)