Bila Setiap Orang Menafsirkan Al-Quran, Ini Bahayanya
Al-Quran harus disampaikan oleh orang yang betul-betul memahaminya. Bila setiap orang menafsirkan, hal itu akan sangat berbahaya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan berbagai macam tipe ayat Al-Quran. Ada ayat yang muhkamah, ayat yang jelas, tidak butuh penafsiran. Ia mencontohkan keseluruhan Surat al-Ikhlas.
Tipe yang berlawanan dengan muhkamat adalah mutasyabihat, ayat Al-Quran yang membutuhkan penafsiran. Dalam hal ini, ia mencontohkan ayat yang menjelaskan tentang batalnya wudhu, aw laamastum al-nisa.
"Ayat yadullahi fauqa aydihim, tangan Allah di atas tangan mereka. Tangan yang dimaksud bukan secara fisik, melainkan kekuasaan. Pun dengan wajhu rabbika, bukan wajah Allah, tetapi Zat-Nya. Ayat wa jaa rabbuka wal malaku shaffan shaffa, juga bukan Allah datang, tetapi perintah atau kebijakan-Nya."
Menurut Kiai Said, maksud penggalan ayat itu dari perspektif empat mazhab. Imam Syafi’i, jelasnya, menyatakan bahwa sentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki, sengaja ataupun tidak, disertai syahwat ataupun tidak, dihukumi batal wudhunya.
Sementara itu, Imam Hanafi menafsiri laamastum sebagai bahasa halus dari hubungan badan. Jika tidak begitu, wudhunya tidak batal. Adapun Imam Maliki dan Imam Hambali, kata Kiai Said, saling menyenggol itu batal, bukan satu pihak.
“Jadi enggak gampang (memahami ayat Al-Qur’an) maksud saya,” kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Jakarta.
Lebih lanjut, Kiai Said menerangkan, ada ayat Al-Quran yang mutlaqah (absolut) dan muqayyadah (tidak mutlak). Dua tipe ini, ia contohkan pada ayat tentang perintah menaati Allah dan Rasul-Nya yang bersifat mutlak dan menaati pemerintah yang bersifat tidak mutlak, yakni dengan syarat pemerintah yang baik.
“Ini lho saya tunjukkan rumitnya paham Al-Qur’an,” kata Kiai Said.
Ada lagi ayat haqiqi (realistis) dan majazi (metaforis). Untuk tipe kedua ini, Kiai Said menjelaskan ayat yadullahi fauqa aydihim, tangan Allah di atas tangan mereka. Tangan yang dimaksud bukan secara fisik, melainkan kekuasaan. Pun dengan wajhu rabbika, bukan wajah Allah, tetapi Zat-Nya. Ayat wa jaa rabbuka wal malaku shaffan shaffa, juga bukan Allah datang, tetapi perintah atau kebijakan-Nya.
Demikian penjelasan Kiai Said, saat memberikan ceramah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Nurul Irfan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rawamangun, Jakarta, Jumat malam lalu. (adi)