Bila Korupsi itu Budaya, Koruptor itu Budayawan
Seorang kawan satrawan di Jogjakarta sedang gelisah. RTS namanya. RTS inisialnya. Gelisahnya banyak, salah satu di antaranya adalah dilarang ngopi oleh dokter.
Duh... si dokter ini, tentu dia punya alasan sahih mengapa sampai membuat larangan demikian menyakitkan itu. Padahal dan sebab, bagi RTS, secangkir kopi adalah sejuta solusi bagi citarasa gelisah.
("Yo wes nek ngono, manut ora manut sing penting ora ngopi disik," gerundelnya pada suatu daripada ketika.)
Kopi itu di dalamnya ada kafein. Kafein dipercaya bikin efek menenangkan bagi yang biasa dalam aliran darahnya sudah terbiasa bersinergi dengan kafein. No kafein sama artinya memutus sinergi itu.
Pasti ada dampak, pasti ada efek samping. Lalu apakah si dokter juga membuat larangan pada efek samping? Misal; dilarang membuat efek samping bagi kafein kopi! Hehehehe kalau dokternya sampai berbuat begini berarti si dokternya yang kurang ngopi atau dokternya yang perlu dijejeli roastingan kopi.
Kawan sastrawan yang sedang gelisah ini makin gelisah. Manakala sudah tidak bisa ngopi tapi matanya melek kenceng dan hanya bisa melototi televisi. Ndilalah, televisinya pas tayangan sidang spektakuler Pak Setnov yang profilnya begitu cetar membahana itu.
Seperti halnya semua orang di Indonesia hari itu, mulutnya berdesis komat-kamit khas gaya Jogja. Kalau diperhatikan lafal mulut komit-kamitnya itu berbunyi; bajindul, bajindul, buajindul, tekek, painjooo tenan, baujinguk, suuu matamu suuu, dan beberapa komat-komat yang cukup sulit untuk dieja. (Mungkin kalimat lain yang tidak umum dan hanya dia yang mengerti).
Sontak dia membuat catatan. Seketika dia menulis. Sejurus kemudian dia menggugat. Hatinya tercekat, di banyak opini dan tayangan media massa, di banyak serasehan, seminar, dan forum-forum pembicaraan antikorupsi, sering disebut korupsi di Indonesia sudah begitu membudaya. Sulit binti sangat sulit untuk memberantasnya.
Garis bawahi kata budaya itu, katanya. Harus ada yang bertanggung jawab terhadap penggunaan kata budaya itu ketika menyebut korupsi di Indonesia sudah membudaya. Ada fase-fase sulit untuk melindasnya. Contoh nyata persidangan Pak Setnov itu. Begitu melukai rakyat Indonesia. Begitu membuat malu setiap orang yang lahir dan pernah lahir di Indonesia.
Budaya. Membudaya. Membudayakan. Budayakan. Dibudayakan. Adalah deretan kata yang sejatinya berkonotasi positif. Selalu sangat positif. Tapi jangan salah, deretan kata ini memiliki kesaktian meluas dan menyempit begitu dahsyat dalam hukum Tata Bahasa Indonesia.
"Budaya korupsi di Indonesia begitu masif...", "Korupsi di Indonesia sudah sangat membudaya, sebab itu sangat sulit untuk...", "Korupsi seolah dibudayakan pada rezim Orde Baru saat berkuasa...", adalah deretan contoh kalimat yang mampu membuat pemaknaan mengerikan.
Betapa tidak, pelaku korupsi, seorang koruptor, terdakwa koruptor yang sedang duduk di kursi pesakitan untuk diadili, kemudian diam saja saat ditanya hakim karena pura-pura budek, sesuguhnya berhak juga atas sebutan sebagai budayawan.
Bila korupsi itu budaya, koruptornya sudah barang tentu adalah budayawan. Nah, siapa bertangung jawab? Jangan-jangan Pak Setnov ini memang budayawan. Kalau keaktorannya memang sudah terakui mumpuni. Sakit, tiang listrik, mbendol sak bakpao, adalah pertunjukkan kelas keaktoran. Kalau budayawannya? Mungkin juga seperti yang di televisi, menunduk, merunduk, meski ditanya dengan sangat sopan sekalipun. Disaksikan orang sak Endonesa sekalipun.
Bahwa, filosofi padi itu, semakin merunduk makin dia berisi. Itu menunjukkan budaya. Itu menunjukkan kebesaran jiwa. Jiwa berbudaya adalah budayawan bagi pelakunya.
Nah, masalahnya, Pak Setnov makin menunduk saat ditanya Pak Hakim. Merunduk dan menunduk. Makin menunduk itu seperti filosofi padi yang diyakini banyak orang. Jadi, benar dong kalau begitu, orang yang satu ini juga seorang budayawan.