Bikin Ngakak Puool! Telor yang Adil, Membeli Keringat Guru
Sesekali kita perlu mencermati lelucon ala Abu Nawas, yang khas dan cerdik itu. Kali ini cukup menjadi renungan seraya menyehatkan otak kita agar tetap berpikir jernih.
Tentang telur dan pembagiannya. Ditambah dengan lelucon yang cukup menyentuh perasaan, sehingga justru menjadikan kita meneteskan air mata.
Ya, begitulah, si Amrin Pembolos, tokoh humor kita bisa juga meneteskan air mata karena terenyuh. Padahal, setiap hari dia selalu melucu dengan humor-humor khasnya.
Telor yang Adil
Suatu hari Raja Harun Al Rasyid, megundang Abu Nawas untuk makan bersama di Istana. Sekaligus untuk menguji kembali kecerdasan Abu Nawas. Abu Nawas ini ada telor 5 biji coba bagikan kami bertiga biar adil tanpa memotong telor tersebut.
Sejenak Abu Nawas terdiam.
"Kalau kau tidak bisa membaginya dengan adil, maka kau pulang dari sini dengan berjongkok".
Abu Nawas kemudian langsung membagi telor itu. Dia sendiri mendapat 1 telor, sedang sang raja pun mendapatan bagian 1 telor. Sementara sang permaisuri mendapatkan 3 telor.
Raja pun heran, "Lho kamu 1, saya 1. Kenapa permaisuriku mendapat 3. Itu 'kan tidak adil?
Abu Nawas menjawab:
"Adil paduka. Karena paduka sudah punya 2 dan saya juga punya 2 telor.
"Sementara permaisuri tidak punya sama sekali. Jadi saya kasih 3 supaya adil, sehingga punya 3 telor semuanya".
Sang Raja terdiam sejenak dan kemudian tertawa. Sang permaisuri pun tertawa begitu menyadari makna telor yang dimaksud.
He he he..
Mereka bertiga pun tertawa karena dirasa bikin badan sehat. Ha ha ha...
Membeli Keringat Guru
Dalam sebuah diskusi, seorang murid bertanya kepada gurunya.
Murid : "Jika memang benar para guru adalah orang-orang yang pintar. Mengapa bukan para guru yang menjadi pemimpin dunia, pengusaha sukses, dan orang-orang kaya raya itu?
Gurunya tersenyum, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia masuk ke ruangannya, dan keluar kembali dengan membawa sebuah timbangan.
Ia meletakkan timbangan tersebut di atas meja, dan berkata "Anakku, ini adalah sebuah timbangan, yang biasa digunakan untuk mengukur berat emas dengan kapasitas hingga 5000 gram".
"Berapa harga emas seberat itu? "
Murid mengernyitkan keningnya, menghitung dengan kalkulator dan kemudian ia mejawab,
"Jika harga satu gram emas adalah 800 ribu rupiah, maka 5000 gram akan setara dengan 4 milyard rupiah,"
Guru : "Baik lah anakku, sekarang coba bayangkan seandainya ada seseorang yang datang kepadamu membawa timbangan ini dan ingin menjualnya seharga emas 5000 gram, adakah yang bersedia membelinya?"
Murid berkata: "Timbangan emas tidak lebih berharga dari emasnya, saya bisa mendapatkan timbangan tersebut dengan harga dibawah dua juta rupiah, mengapa harus membayar sampai 4 milyar?"
Guru menjawab: "Nah, anakku, kini kau sudah mendapatkan pelajaran, bahwa kalian para murid, adalah seperti emas, dan kami adalah timbangan akan bobot prestasimu, kalianlah yang seharusnya menjadi perhiasan dunia ini, dan biarkan kami tetap menjadi timbangan yang akurat dan presisi untuk mengukur kadar kemajuanmu. "
Guru berkata lagi, "Satu lagi pertanyaanku. Jika ada seseorang datang kepadamu membawa sebongkah berlian di tangan kanannya dan seember keringat di tangan kirinya.
Kemudian dia berkata : "Di tangan kiriku ada keringat yang telah aku keluarkan untuk menemukan sebongkah berlian yang ada ditangan kananku ini, tanpa keringat ini tidak akan ada berlian, maka belilah keringat ini dengan harga yang sama dengan harga berlian"
"Apakah ada yang mau membeli keringatnya? "
"Tentu tidak," ujar guru lagi.
"Orang hanya akan membeli berliannya dan mengabaikan keringatnya. Biarlah kami, para guru, menjadi keringat itu, dan kalianlah yang menjadi berliannya."
Sang murid menangis, ia memeluk gurunya dan berkata: "Wahai guru, betapa mulia hati kalian, dan betapa ikhlasnya kalian, terima kasih guru. Kami tidak akan bisa melupakan kalian, karena dalam setiap kemajuan kami, setiap kilau berlian kami, ada tetes keringatmu..."
Guru berkata: "Biarlah keringat itu menguap, mengangkasa menuju alam hakiki di sisi ilahi rabbi, karena hakikat akhirat lebih mulia dari segala pernak-pernik di dunia ini."
"Untuk semua guruku, termasuk guru ngajiku. Terima kasih atas segenap perjuanganmu yang telah mendidikku. Barakallahu fiikum," begitulah Amrin Pembolos, tokoh humor kita, merenung dengan humor ini.