Bikin Dekdekan: Sri Sultan Hamengku Buwono IX Ditilang di Jalan
Ketundukan pada hukum dan aturan yang berlaku adalah keteladanan yang langka di zaman ini. Kisah itu terjadi di Semarang, Jawa Tengah, pada pertengahan tahun 1960-an. Ketika itu, jam baru menunjukkan pukul 05.30 WIB.
Di pagi berkabut itu, Royadin, yang baru sepekan mendapat kenaikan pangkat dari agen polisi menjadi brigadir, sudah berada di pos jaga, yang mulai ramai dilalui delman dan becak.
Tiba-tiba, sebuah sedan hitam keluaran tahun 1950-an melaju pelan melawan arus.
Ketika itu, sangat jarang warga yang memiliki mobil. Sehingga, yang tengah berkendara itu pastilah bukan orang sembarangan.
Namun demikian, nyali Royadin tak menjadi ciut.
Tanya soal SIM alias Rebuwes
Dia menghentikan mobil yang melaju santai tersebut.
"Selamat pagi, bisa ditunjukan rebuwes?".....kata Royadin.
Rebuwes merupakan surat kendaraan kala itu.
Pengemudi mobil membuka kaca. Namun dada Royadin terhentak. Seperti digebuk palu godam. Dia hampir pingsan setelah melihat siapa gerangan sang pengemudi itu. Dialah Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
"Ada apa pak polisi?"demikian tutur Sultan dengan sopan, setelah membuka pintu.
Tubuh Royadin masih gemetar. Namun dia segera siuman dari keterpanaan. Hatinya tetap bulat. Semua pelanggar harus ditindak.
"Bapak melanggar verboden" kata Royadin.
Royadin mengajak Sultan melihat papan tanda verboden itu. Namun ditolak.
"Ya saya salah. Kamu yang pasti benar. Jadi bagaimana?" tanya Sultan.
Meski Kikuk Tetap Tilang
Royadin agak kikuk. Pertanyaan itu sulit dia jawab. Dalam batin dia berkata, bagaimana bisa menilang seorang raja. Bagaimana bisa menghukum pahlawan Republik. Sementara, dia hanya polisi muda berpangkat brigadir.
Namun Royadin heran mengapa Sultan tak memperkenalkan diri sebagai Raja, lantas meminta pelanggaran itu tak diurus dengan menggunakan kekuasaannya.
"Maaf, Sinuwun terpaksa saya tilang" kata Royadin.
"Baik brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya.
Saya harus segera ke Tegal" jawab Sultan.
Dengan tangan bergetar Royadin membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu. Tapi dia sadar, tidak boleh memberi dispensasi.
Yang membuatnya sedikit tenang, tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Sultan minta dispensasi. Surat tilang diberikan dan Sultan segera melaju.
Terlanjur Ditilang, Dimarahi Komandan
Royadin baru sadar setelah Sultan berlalu. Dia menyesal, berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Ingin rasanya dia mengambil kembali surat tilang Sultan dan menyerahkan rebuwes mobil yang ditahan. Tapi semua sudah terlanjur.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di Markas Polisi Semarang. Dari ruang Komisaris, nama Royadin disebut berkali-kali. Royadin langsung disemprot sang komandan dalam bahasa Jawa kasar.
"Royadin! Apa yang kamu perbuat? Apa kamu tidak berfikir?
Siapa yang kamu tangkap itu? Siapaaa? Ngawur kamu! Kenapa kamu tidak lepaskan saja Sinuwun, apa kamu tidak tahu siapa Sinuwun?" teriak sang komisaris.
"Siap pak. Beliau tidak bilang Beliau itu siapa. Beliau mengaku salah, dan memang salah," jawab Royadin.
"Ya tapi kan kamu mestinya mengerti siapa dia. Jangan kaku.
Kok malah kamu tilang. Ngawur, kamu ngawur. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri Kepolisian Negara," tutur sang Komisaris meledakkan amarahnya.
Surat dari Sultan HB IX
Selang beberapa hari kemudian datang surat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menyatakan agar Brigadi Polisi Royadi dipindah ke Yogyakarta dan pangkatnya dinaikkan satu tingkat. Hal ini dilakukan untuk apresiasi atas sikap ketegasan Brigadir Polisi Royadi yang tanpa pandang bulu melakukan tindakan tilang kepada pelanggar lalu lintas.
Namun Brigadir Polisi Royadi memilih untuk tidak pindah sampai akhir hayatnya di tahun 2007 lalu.
Belajar dari kasus kasus orang yang suka marah marah jika di stop aparat, semoga kisah beliau jadi pelajaran bagi kita.
Sumber: Nguri-uri Adat Budaya Tradisional Nusantara.