Biennale Jatim, Yang Sebaiknya Itu Bagaimana
Oleh: Wahyu Nugroho
Sebagai sebagai pelaku seni rupa saya berharap Biennale Jatim, sebagai acara dua tahunan seni rupa yang dibiayai oleh Pemprov Jatim melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, dilaksanakan dengan melakukan pembenahan-pembenahan.
Setelah mengikuti beberapa kali berhelatan Biennale Jatim, saya merasa ada yang perlu dibenahi pada pelaksanaan teknisnya, mengingat dengan menyematkan kata keterangan ‘Jatim’. Dan barangkali juga usulan dan harapan saya ini nanti bisa menjadi inspirasi bagi biennale-biennale di daerah lain.
Sejak 16 tahun silam Jawa Timur secara rutin telah melaksanakan biennale sebanyak tujuh kali. Tahun 2019 adalah perhelatan yang kedelapan.
Keunikan paling menonjol dari Biennale Jatim adalah pada cakupan wilayah. Umumnya perhelatan biennale menggunakan nama kota, misalnya; Venice Art Biennale, Biennale de Montréal, La Biennale Paris, Macau Visual Art Biennale, Jakarta Biennale, Jogja Biennale, dan sebagainya. Sedangkan pada Biennale Jatim, belakangan disusul oleh Biennale Jateng, meliputi satu provinsi. Tentu saja rentang wilayahnya sangat luas, dengan latar belakang sosial dan kultur yang sangat beragam.
Menengok pola perhelatan Biennale Jatim selama ini nyaris sama, yaitu selalu berlokasi di kota Surabaya. Peserta yang dilibatkan atas pilihan tim kurator. Pernah juga ada penambahan peserta melalui open call, tapi kuotanya sangat sedikit. Yang paling sering dilakukan adalah melalui undangan tertutup. Jadi praktiknya mirip dengan pameran seni rupa yang diinisiasi oleh galeri seni komersial, bukan oleh Pemprov Jatim selaku penanggung jawab pengembangan seni rupa di seluruh Jawa Timur.
Jika Biennale Jatim ditujukan untuk membaca perkembangan dan pencapaian seni rupa Jawa Timur, apalagi jika perhelatan ini dimaksudkan sebagai pesta atau perayaan perupa Jawa Timur, maka pola penyelenggaraan yang dilaksanakan selama ini, pada hemat saya, ada menyimpangan dari sasaran.
Penyimpangan itu di antaranya; Pertama, oleh karena keterbatasan waktu, perupa yang diundang biasanya sebatas data yang diketahui tim kurator. Kalau pun pernah ada tambahan peserta melalui open call. Selain kuota yang disediakan sangat kecil, informasi tentang open call itu sendiri tidak banyak diketahui oleh sebagian besar perupa Jawa Timur.
Pengalaman saya yang sering ikut menangani perhelatan seni rupa sejak 1997 dengan jumlah peserta yang lumayan besar, melibatkan perupa dari wilayah yang sangat terbatas, yaitu Kota dan Kabupaten Pasuruan, sering mengalami persoalan tidak mendapatkan informasi tentang keberadaan perupa potensial yang tinggal di pelosok. Akibatnya mereka tidak terakomodasi dalam perhelatan yang dilaksanakan secara rutin. Salah satu contoh perhelatan yang saya ikut menangani yang dilaksanakan rutin tahunan adalah Pameran Seni Rupa Gandheng-Renteng.
Berdasarkan pengalaman saya di atas, apa mungkin tim kurator Biennale Jatim mampu menjangkau atau mendapatkan informasi up to date tentang keberadaan perupa yang tinggal di pelosok-pelosok Jawa Timur yang begitu luas ?
Kedua, tempat perhelatan Biennale Jatim selama ini selalu menggunakan gedung dan galeri berlokasi di Surabaya. Maka masyarakat umum dan pelajar yang dimudahkan aksesnya untuk menikmati perhelatan itu hanya yang bertempat tinggal di Surabaya dan sekitarnya. Kalau ada penikmat yang datang dari luar kota jumlahnya tidak signifikan. Itu pun biasanya adalah sesama perupa yang ingin mengetahui perkembangan karya teman-temannya, atau sekedar untuk reuni melepas rindu.
Dengan pilihan lokasi selalu di Surabaya, bagaimana mungkin Biennale Jatim disebut sebagai perhelatan milik publik Jawa Timur ? Juga, apakah perupa di seluruh Jawa Timur merasa ikut merayakan perhelatan itu ? Mengingat label yang disematkan pada perhelatan itu adalah Biennale Jatim, bukan Biennale Surabaya.
Ketiga, apabila Biennale Jatim dimaksudkan sebagai rekaman perkembangan seni rupa Jawa Timur dalam periode dua tahunan, apakah dalam katalogus-katalogus Biennale Jatim yang pernah diterbitkan ada ulasan khusus tentang pergerakan komunitas seni rupa yang tinggal di daerah-daerah, terutama komunitas yang kontribusinya tidak kecil dalam mewarnai seni rupa di Jawa Timur ?
Katalogus yang selama ini diterbitkan, biasanya lebih didominasi tentang biografi dan ulasan masing-masing perupa peserta. Kalau pun ada tambahan catatan kuratorial tentang sejarah seni rupa Jawa Timur hanyalah ulasan bersifat umum.
Untuk menjawab ketiga persoalan di atas saya menawarkan gagasan untuk merombak pola pengorganisasian Biennale Jatim yang biasa dilakukan. Dari top-down menjadi bottom-up. Dari perhelatan yang bersifat elitis menjadi kerakyatan. Termasuk juga mengupayakan agar Biennale Jatim bisa menjadi perhelatan milik bersama, dan bisa menjangkau seluruh wilayah Jawa Timur secara lebih demokratis.
Gagasan yang saya sampaikan bersifat teknis, yaitu; Lokasi perhelatan tidak terpusat di Surabaya, tapi dilaksanakan serentak di seluruh kota Jawa Timur yang mau dan mampu menyelenggarakan. Atau dibagi dalam zona-zona, yaitu sebagai venue dari Biennale Jatim. Panitia penyelenggara di masing-masing venue ditangani oleh Dewan Kesenian atau komunitas seni rupa yang sudah berpengalaman menangani perhelatan seni rupa besar di daerah masing-masing. Misalnya; KGSP di Pasuruan, Galeri Seni Rupa Gresik, Pondok Seni Batu, Dewan Kesenian Mojokerto, dan sebagainya.
Kalau di suatu kota atau zona tidak ada komunitas seni atau dewan kesenian yang sanggup melaksanakan, maka perupa di kota tersebut bisa bergabung di venue terdekat. Peserta biennale boleh dari seluruh perupa yang tinggal di Jawa Timur, setelah disetujui oleh kurator daerah.
Untuk bisa menjadi panitia dan kurator daerah dengan cara mengajukan ke panitia inti untuk diuji kelayakannya. Jika dianggap kredibel, maka dipersilakan untuk menangani venue. Jadi penanggung jawab pelaksana Biennale Jatim, selain panitia dan tim kurator inti, dibantu oleh panitia dan kurator di masing-masing daerah.
Sedangkan dana dari pemerintah yang dikelola panitia inti dialokasikan untuk; mensubsidi venue-venue, biaya operasional panitia inti, dan penerbitan katalog utama. Karena sifatnya subsidi, yaitu sekedar dana tambahan, maka panitia daerah harus mampu menggalih dana secara mandiri, termasuk dipersilakan menerbitkan katalog tersendiri. Dana mandiri itu bisa dari sponsor, donatur, atau melalui urunan dari peserta, seperti yang biasa dilakukan oleh para perupa Pasuruan.
Salah satu tugas pokok panitia inti adalah mencetak katalog utama yang diterbitkan post event. Katalog utama berisi biografi perupa-perupa pilihan dan foto karyanya, yang dinilai layak memrepresentasikan perkembangan seni rupa Jawa Timur oleh tim kurator inti. Pemilihan itu dilakukan dengan cara mencermati langsung karya di masing-masing venue.
Katalog utama juga memuat ulasan khusus tentang komunitas-komunitas seni rupa yang dinilai berkontribusi dalam mewarnai seni rupa Jawa Timur, sehingga layak untuk didokumentasi. Ulasan itu misalnya tentang sejarahnya, prestasi, strategi dalam mempertahankan eksistensi, atau strategi dalam mengembangkan seni rupa di daerahnya masing-masing. Ulasan ini tentu akan bermanfaat sebagai referensi bagi komunitas-komunitas lain.
Demikian catatan saya, untuk menyambut Biennale Jatim 2019, kalaupun tahun ini digelar oleh panitia yang ditunjuk oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur. (Wahyu Nugroho, perupa dan pegiat seni tinggal di Pasuruan).
Advertisement