Bhinneka Itu Anugerah, Tak Seharusnya Terbelah
SEKELOMPOK anak bermain ‘Ular Naga’ di sebuah tempat lapang. Di bawah temaran sinar rembulan. Dalam permainan ini, barisan ‘ular panjang’ berjalan memutar melewati ‘perangkap’ dengan menyanyikan lagu. Saat lagu habis, perangkap menjerat anak yang berada tepat di bawahnya. Seseorang yang berhasil ‘ditangkap’ oleh dua orang yang mewakili dua kubu, boleh memilih ikut kubu kanan atau kiri.
Selanjutnya mereka terus bermain untuk ‘memperebutkan’ sebanyak-banyaknya anak buah. Kelompok atau kubu yang bertahan paling lama dengan jumlah anggota kelompok lebih banyak, keluar sebagai pemenangnya. Permainan ini sering dimainkan oleh anak-anak hingga sekarang.
Mirip dengan gambaran pemilihan presiden (Pilpres) yang barusan berlalu. Kedua belah pihak saling berebut untuk memperkuat kubunya. Bedanya, di dalam pilpres, perebutan ‘anggota’ berlangsung penuh nuansa permusuhan dan bermuara pada masyarakat yang terbelah. Sedangkan dalam permainan Ular Naga, perebutan anggota dilakukan dengan sukacita. Mereka bernyanyi bersama. Dan mereka dengan sukacita pula memilih kubu mana yang ia suka.
Perupa Petrus Agus Herjaka mengangkat persoalan kekinian itu lewat simbolisasi permainan anak tradisional Ular Naga ini. Ia tampilkan “Membelah dengan Sukacita.” Tampak dua kelompok anak-anak terbelah ke dalam dua kubu. Tapi penuh kegembiraan. Karya Herjaka ini menyambut para pengunjung saat masuk ke Galeri Tembi Rumah Budaya menyaksikan Pameran Seni Rupa #4 Kelompok Termos’85. Pameran yang berlangsung 8-21 Juni 2019 ini, Sabtu (8/6) malam dibuka oleh Herry Zudianto. Walikota Jogja dua periode (2001-2011) yang kini menjadi Ketua Umum ICMI Orwil DIY.
Lewat karakter dan profil dunia pewayangan, sebagai ciri khasnya selama ini, Herjaka berhasil menerjemahkan tema Godhong Suruh yang dipilih dalam pameran perupa Alumni IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) ini. Kemampuan Herjaka menggambar wayang ini sudah diakui sejak awal kuliah. Saat kuliah, Herjaka sudah ‘nyambi’ menjadi ilustrator sejumlah majalah yang memiliki cerita wayang. Dan itu berlangsung hingga saat ini.
Yang saya kagumi dari Herjaka saat menggambar wayang adalah begitu spidol atau pena ia goreskan di kertas. Lalu, ia gerakkan tanpa putus atau tanpa mengangkat alat tulis itu, gambar wayang pun jadi. Kemampuannya ini, terus ia tingkatkan dengan menggambar beragam tema baik tradisional, cerita wayang klasik maupun tema kontemporer. Ia pun menerjemahkan tema Godhong Suruh dalam karya berukuran 145x80 cm.
Godhong Suruh (Daun Sirih) yang memiliki permukaan atas dan bawah yang berbeda tapi memiliki rasa dan manfaat sama. Berbeda tapi tidak terbelah. Godhong suruh menggambarkan hubungan antarsaudara sinarah wadi. Hubungan saudara istimewa. Jika yang satu dicubit, yang lain ikut merasa sakit. Seperti hubungan istimewa antara Kresna dan Arjuna dalam pewayangan. Berbeda tapi tidak bermusuhan.
Godhong Suruh juga bisa dipakai untuk menggambarkan hubungan antara suami dan istri, yang berbeda latar belakang dan fisiknya, tapi saling melengkapi untuk mewujudkan cita-cita bersama. Beda tapi saling menyayangi. Karena, “Berbeda itu kehendak Tuhan. Anugerah Allah yang Mahakuasa. Seperti Bhinneka Tunggal Ika yang justru menjadi kekuatan negara kita,” tegas Herry Zudianto dalam sambutan pembukaan pameran.
Herry Zudianto yang sangat concern dengan kondisi kebangsaan pasca-Pemilu, menilai tema Godhong Suruh sangat relevan. Menjaga persatuan dalam perbedaan di dalam bingkai NKRI menjadi tugas bersama. Kelompok Termos’85 telah melakukannya.
Benar yang disampaikan Herry Zudianto ini sejalan dengan salah satu tujuan pameran. Seperti disampaikan Ketua Panitia Pameran Tri Wiyono, pameran bertujuan untuk antara lain agar dapat udhu-udhu klungsu, walaupun sangat sedikit ikut urun (berkontribusi), untuk menjaga agar yang berbeda tidak terbelah, yang terluka tidak menganga dan yang susah sedikit terhibur. Paling tidak mulai dari kelompok Termos’85 sendiri.
Kelompok Termos’85 memang terdiri dari beragam profesi dan datang dari berbagai kota. Namun, mereka “tidak terbelah,” terbukti kelompok ini secara rutin sejak 2017 bisa menggelar pameran bersama. Pameran Reuni, setelah sekian lama berpisah. Pameran #1 saat di awal kuliah (1986) di Wonosobo. Pameran #2 ‘Kecil Itu Indah’ (Jawa Pos, 16 Juli 2017), dan pameran #3 tema On The Spot menjadi bukti persahabatan mereka yang tidak terbelah kendati mereka berbeda.
Saya yang ikut pameran sejak pertama (di Wonosobo) merasakan kehangatan dalam perbedaan warga Termos’85. Setiap kali pameran digelar, kebersamaan, keguyuban, gotong-royong sangat terasa. Saya yang tidak merampungkan pendidikan di IKIP, tetap dianggap sebagai anggota. Bahkan menjabat sebagai Sekretaris Kelompok Termos’85.
Eksplorasi tema Godhong Suruh oleh 19 perupa Kelompok Termos’85 kali ini sungguh menarik. Terutama yang mengaitkannya dengan situasi kekinian pasca Pilpres. Selain karya Herjaka di atas, adabkarya Sarjiyanto Sekar yang berjudul “Nyirih bukan Nyinyir.”
Sarjiyanto menggambar perempuan tua keriput dengan bibir memerah yang tampak menikmati kunyahan sirih dengan tangannya. Satu kenikmatan tradisi yang turun-temurun. Tradisi nginang atau makan sirih, biasa dilakukan oleh sebagian orang Indonesia. Tidak hanya di Jawa.
Nginang adalah sebutan dari tradisi makan sirih. Biasanya, sebelum dimakan sirih diramu terlebih dahulu dengan tembakau, kapur, gambir, dan buah pinang. Pada jaman dahulu, dalam tradisi Jawa Kuno mengunyah daun sirih hijau wajib hukumnya, terutama bagi kaum perempuan.
Judul ‘Nyirih bukan Nyinyir’ ini, menurut Pengamat Seni Budaya Ons Untoro, terasa sangat kontekstual. Kalau kita dekatkan kondisi sekarang, katanya, yang pahit dan nyinyir itu saling berseteru. Kalau aktivitas ‘nginang’ yang pahit itu meneguhkan rasa di lidah. Sedangkan dalam kehidupan hari-hari ini, yang (di) rasa (kan) pahit itu membuatnya terus nyinyir untuk menolak rasa pahit. Artinya tidak menerima kenyataan. Berbeda dengan orang nginang, rasa pahit itu dinikmati: kenyataan itu diterima.
Sebagai bagian kelompok Termos’85, saya merasakan karya teman-teman dalam pameran kali ini terasa begitu alami dan bernuansa lokal. Pahitnya hidup, rupanya bisa diterima secara jenaka, dan ini terasa sangat Jogja. Para perupa menghadirkan karya yang ‘sederhana’, mudah dicerna dan sangat komunikatif. Tengok saja misalnya ‘Kanca Ngamen’ (Handaya Murti, Jakarta), ‘Kompetisi Sehat (Muhamad Basuki, Surabaya), Kibarkan di Tempat yang Tinggi (Teguh Prihadi, Solo), Love Bird dan Godhong Suruh (Ch Sapto Wibowo, Lampung), ‘Gerobag Sapi’ (Fahrur Rozi, Bantul), Keluarga Bahagia (Wasis Subroto, Jogja), dan judul-judul lainnya.
Pendapat Ons Untoro ini diperkuat oleh salah satu pengelola Tembi Rumah Budaya Albertus Sartono. Menurutnya, perupa Kelompok Termos’85 begitu pas mengungkapkan kondisi situasi sosial kemasyarakatan dalam karya-karyanya. “Mereka kritis tapi tidak nyinyir. Dan begitulah cara seniman menyampaikan gagasannya,” katanya.
Sebagai pengelola galeri, pria yang akrab disapa Albes ini yakin yang dipamerkan oleh Termos’85 bisa diterima publik. Gagasannya menarik dan relevan. Visualnya beragam. Juga cara menyampaikan gagasannya.
Tembi Rumah Budaya punya catatan soal kelompok saya ini. Pameran kelompok ini selalu ramai pengunjung. Saat pameran ‘Kecil Itu Indah” (2017) sejumlah wisatawan Rusia pun tampak terpesona dengan karya yang dipamerkan. “Rekaman” soal Turis Rusia ini dimuat di Harian Tribun Jogja yang kemudian kami muat di dalam katalog pameran.
Harapan yang sama sepertinya juga pada pameran Godhong Suruh kali ini. Liburan lebaran diharapkan menjadi momentum bagi yang mudik maupun yang liburan ke Jogja untuk mampir ke Galeri Tembi. Monggo kami tunggu. (*)