Beyond Memory; Walter Spies, Pita Maha dan Raden Saleh
Oleh: (Wicaksono Adi)
Pada bulan November 2022 ini, adalah momen 70 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman. Tapi sesungguhnya hubungan itu, utamanya di ranah kultural, telah dimulai jauh sebelumnya, sekurang-kurangnya sejak paruh pertama abad ke-19, ditandai dengan sejarah artistik pelukis Raden Saleh Sjarif Bustaman yang pergi ke Eropa, dimulai dari Belanda lalu berkarir di Jerman, Prancis dan negara-negara lain selama kurang lebih 23 tahun.
Kemudian pada dasawarsa 30-an, berlangsung hubungan kreatif seniman Jerman kelahiran Rusia, Walter Spies (1895-1942) dengan Nusantara. Seniman ini sempat menetap di Yogyakarta dan kemudian di Bali. Pertemuan kreatif Spies dengan budaya Nusantara, khususnya Bali, adalah bagian proses dialog budaya yang membawa pengaruh mendalam serta jejak yang panjang.
Perjalanan hidup dan riwayat kekaryaannya terbentuk oleh interaksi dan bahkan penjelajahan pada ceruk-ceruk terdalam kultural dalam proses dialog tanpa batas hingga terbentuk sejarah kebudayaan yang baru: saling mengambil dan memberi, menghidupi, hingga saling menemukan diri.
Walter Spies adalah pianis sekaligus perupa-pelukis, musisi, koreografer, konsultan film, kurator, fotografer, hingga menjadi motor lahirnya spirit baru dalam kehidupan kolektif kehidupan seni dengan akar tradisi yang sangat kuat. Menetap di Bali sejak tahun 1927, – sebelumnya berada di Yogyakarta memimpin orkestra Eropa sekaligus belajar gamelan dari Djodjodipoero hingga terlibat dalam ririsan metodis musik Jawa tersebut – sang seniman mengukuhkan diri sebagai salah satu tokoh terpenting dan berpengaruh dalam sejarah seni Bali pada paruh pertama abad ke-20.
Karya-karya lukisannya menjadi salah satu pencapaian artistik terbaik seniman-seniman Eropa yang berada di Nusantara saat itu – sebagian besar merupakan kelanjutan pertemuan budaya dalam relasi kolonial dalam tatapan oriental, – namun secara gamblang Spies terlepas dari relasi semacam itu, hampir secara keseluruhan, dengan menciptakan kenyataan visual sebagai dunia baru yang unik, suatu “firdaus” tropika yang cemerlang sekaligus mencekam berikut kontras antara limpahan cahaya di sela-sela rapatnya hutan dan bayang-bayang sosok manusia, flora dan fauna, dalam tatapan magis dan bahkan nuansa surealistik yang membawa imajinasi ke relung-relung terdalam memori arkhaik.
Bali telah memberikan kepada sang seniman dunia ajaib yang tak tergantikan oleh apapun, setulus-tulusnya membuka diri kepada siapapun yang hendak merasuk ke dalam pesona sublimasi alam dan lingkungan serta manusianya yang menjelma jagat baru yang tak kalah mempesonanya ketimbang keindahan dan kebesaran alam itu sendiri yang melahirkan ketakjuban manusiawi terhadap segala misteri di baliknya.
Selama di Ubud, sang seniman kemudian terlibat dengan proses pertemuan budaya oleh kaum intelektual dan seniman-seniman Eropa: komposer Collin Mc Phee, aktor Charlie Chaplin, pengarang Vicky Baum, dokumentator Baron von Plessen, antropolog Margaret Mead, antropolog Gregory Bateson, pelukis-penulis Miguel Covarrubias, dan lain-lain.
Tentu, yang terpenting adalah keterlibatan Spies dalam gerakan seni Pita Maha, bersama seniman Belanda Rudolf Bonnet (1895-1978), atas dukungan penuh tokoh kultutal Tjokorda Gde Raka dan Tjokorda Gde Agung Sukawati. Dari gerakan ini muncul pengayaan artistik pada seniman-seniman yang sudah mapan maupun lahirnya generasi seniman-seniman baru, dalam jumlah yang belum pernah terjadi pada sejarah seni lukis Bali.
Sementara di bidang seni pertunjukan, selain melakukan penelitian dan mempublikasikan buku tentang seni drama dan tari, sang seniman juga melakukan kolaborasi dengan warga desa Bedulu sekaligus penari Bali Wayan Limbak dalam memformulasikan tari Cak (Kecak) baru. Suatu koreografi yang tak dapat dilepaskan dari tari Sanghiang yang sakral.
Tari Cak adalah suatu transformasi artistik dari wahana suci, wujud hubungan spiritual antara dewa dengan manusia, suatu amalan ideoreligius di mana bobot kehadiran penari dan pemusik tidak hanya dipandang dalam dimensi estetika belaka melainkan sebagai tugas ritualnya sebagai anggota masyarakat, menjadi tarian yang dapat ditampilkan di luar konteks ideoreligius dan ritual spesifik apapun dengan pertimbangan-pertimbangan musikal maupun kaidah dramatik yang diatur secara ketat, tidak hanya oleh fungsi-fungsi koreografik tetapi juga membuka kemungkinan atas kreasi elemen-elemen baru untuk mencapai format yang kian rumit secara estetis.
Sang pelukis, koreografer, fotografer, naturalis, peneliti, kreator soliter sekaligus motor gerakan seni di masyarakat tempatnya menjadi, adalah satu eksemplar penting dalam perkembangan dan pembentukan sejarah kebudayaan Bali maupun pembuka jendela dan pintu dalam suatu proses dialog dalam dimensinya yang paling dalam. Dia telah meninggalkan jejak panjang, bahkan melampuai memori yang diterakan dalam keseluruhan hidup dan karyanya yang belum sudah.
Akibat kemelut Perang Dunia II, sebagai orang Jerman, sang seniman ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibawa kapal van Imhoff menuju Sri Lanka. Ketika melewati lautan barat Sumatra, kapal tersebut ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Jepang, 19 Januari 1942. Pada suaia 47, sang seniman telah “moksa” larut menyatu dalam haribaan Pertiwi, selamanya.
PITA MAHA
Walter Spies (1895-1942) bersama Rudolf Bonnet (1895-1978) terlibat dalam gerakan seni Pita Maha yang didirikan pada 29 Januari 1936 di Ubud Bali, berkat prakarsa tokoh aristokrai terdidik, Tjokorda Gde Raka Sukawati dan Tjokorda Gde Agung Sukawati serta seniman kawakan Gusti Nyoman Lempad. Nama Pita Maha diambil dari bahasa Kawi yang berarti leluhur yang agung – merujuk pada sakti dari Brahma yakni Saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan, pun dapat diartikan sebagai ikatan atau perkumpulan besar.
Perkumpulan ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru, bahkan yang pertama dalam praktik dan aktivitas artistik di Bali. Personifikasi dari kebaruan itu tampak pada keragaman individu yang duduk sebagai pengurus organisasi ini, mulai dari elite tradisional terpelajar seperti Tjokorda Raka dan Tjokorda Agung, kaum seniman Eropa, hingga orang-orang Eropa lainnya seperti Rolf Neuhaus, seorang art dealer sekaligus pemilik galeri yang menjadi bendahara dan Marianne van Wessem, seorang kurator di Museum Bali. Di dalamnya juga terlibat para pematung dan pemahat dan tentu para pelukis kawakan seperti Lempad, A.A. Gde Sobrat, A.A Meregeg, Ida Bagus Kembeng, Ida Bagus Gelgel, Ida Bagus Made Poleng, Gusti Ketut Kobot dan lain-lain.
Pekumpulan ini melibatkan berbagai komponen penyangga seni rupa di Bali, yakni galeri, kurator, dan juga penulis seni rupa. Jejaring organisasinya juga mencakup berbagai wilayah; di desa Ubud, Tebasaya, dan Peliatan diketuai A.A Gde Sobrat, desa Pengosekan dan Nyuh Kuning dipimpin Gusti Ketut Kobot, desa Mas oleh Ketut Rodja, desa Bedulu oleh Gusti Made Dokar, desa Celuk oleh Wayan Rijok, sementara di Denpasar dan Sanur diketuai oleh Gusti Made Deblog, desa Beng Gianyar oleh Dewa Gde Oka serta perwakilan Kamasan di Klungkung dipimpin oleh Pan Seken. Tak kurang 159 seniman yang tergabung dalam perkumpulan ini.
Kebaruan juga termanifestaikan dalam aktivitas artistik maupun non artistik dalam kerangka penguatan ekosistem kehidupan kreatif sehingga dari proses tersebut lahir puluhan seniman generasi baru yang menjadi tonggak-tonggak penting seni rupa Bali. Proses belajar, konsultasi atau semacam “bimbingan” berlangsung secara intensif, sebagai transformasi moda belajar dalam pola sosio-kultur tradisional.
Selain itu, Pita Maha berhasil menggelar berbagai pameran di berbagai Kunstkring Hindia-Belanda, maupun di galeri-galeri swasta di luar negeri seperti Koninklijk Kolonial Instituut, Belanda, juga di Paris, New York, dan Nagoya. Selain itu juga di galeri privat di beberapa negara seperti India, Eropa, dan Amerika.
Dialog budaya dalam konteks pembaruan interaksi individual dan kolektif baik dalam kerja artistik dan pembaruan cara pandang serta pelatihan teknis oleh Spies dan Bonnet, kemudian membawa perubahan dalam kekaryaan para seniman Bali yang sudah memiliki modal khazanah visual tradisional yang sangat kental hingga mereka berhasil menemukan karakteristik individualnya dalam spaktrum baru.
Dari keseluruhan pembaruan artistik yang beragam, terdapat semacam kesamaan paradigma, yakni spiritualisme sebagai kerangka ideologi estetikanya. Hal itu merupakan penerjemahan lebih luas dari ideoreligius yang sudah terwariskan secara mendalam. Pendekatan atau cara pendang spritualisme itu mendapat spektrum baru dalam konteks hubungan antara keberadaan manusia dengan individu, atau spiritualisme sebagai jalan pembebasan individu dalam memahami dan meyakini segala manifestasi makna Ketuhanan yang tak terhingga sekaligus penyerapan pemahaman tersebut dalam ranah pribadi.
Sebagian dari bobot kehadiran yang spiritual sudah terpantul dalam bentuk-bentuk simbolik yang sudah ada maupun amalan religius berikut semesta mitologis, tapi juga dapat diterjemahkan pada kondisi atau kehadiran segala yang transendental dalam setiap pribadi dan seni lukis adalah manifetasi makna ke-takberhinggaan sekaligus penasiran terus-menerus atas pemahaman tersebut.
Raden Saleh Sjarif Bustaman
Raden Sjarif Bustaman adalah orang pertama dari Nusantara, bahkan Asia, yang berhasil masuk ke jantung peradaban Eropa pada abad ke-19. Seniman berdarah Arab ini lahir di Semarang, Jawa Tengah, antara tahun 1807-1814 dan meninggal tahun 1880 pergi ke Eropa tahun 1829. Di negeri Belanda, sang seniman mendalami bahasa Belanda, matematika, survei tanah dan tentu saja seni lukis.
Selama kurang lebih 23 berada di Eropa, selain di Belanda, ia juga ke Dusseldorf, Frankfurt, Berlin, Dresden, Coburg, Wina, Munich, Regensburg, Augsburg, Stuttgart, Karlsruhe, Nuremberg dan Strasburg. Selama di Jerman ia berhasil membangun hubungan baik dengan Raja Friedrich August II dari Saxony dan Grand Duke Saxe-Coburg-Gotha Ernst II yang juga saudara Pengeran Albert suami Ratu Inggris,Victoria.
Di Dresden Raden Saleh sempat belajar pada pelukis asal Baltik, Johann Karl Bähr (1801-1869) dan berteman baik dengan pelukis asal Norwegia Christian Caulsen Dahl (1788-1857). Selain membuat lukisan potret – yang sudah dimulai sejak di Jawa dan pada masa belajar di Belanda – di Jerman itu ia mulai melukis sisi-sisi dunia oriental dalam komposisi dramatik dengan objek alam dan binatang.
Selain menjadi pelukis profesional Raden Saleh juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah. Ketika KITLV (Institut Kerajaan untuk Antropologi dan Bahasa) didirikan tahun 1853 di Belanda, ia menjadi salah satu anggotanya yang pertama. Begitu juga ketika Asosiasi Kebun Botani dan Zoologi Batavia didirikan, Raden Saleh terlibat secara langsung dan karena kontribusinya, pada tahun 1866 asosiasi tersebut mengangkat Raden Saleh sebagai anggota kehormatan. Ketika di Dresden dulu, sang pelukis juga terlibat aktivitas ilmiah di bidang botani dan zoologi pada Leopoldinisch-Carolinisch Deutsche Akademie der Naturforscher.
Kegiatan ilmiahnya yang terpenting adalah rangkaian penelitian paleoantropologi di di Jawa, yaitu ekskavasi di daerah Yogyakarta hingga mendapatkan fosil-fosil dan berbagai artefak; ekskavasi di Madiun di mana ia berhasil menemukan fosil-fosil yang diyakini sebagai bagian dari kerangka Mastodon. Berbagai temuan tersebut, ditambah kurang lebih 150 temuan benda arkeologi lainnya, ia kirim ke lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di Batavia maupun di Belanda.
Sedangkan di bidang filologi ia aktif mengumpulkan naskah-naskah dan manuskrip Jawa dan Sunda kuno. Lembaga ilmu pengetahuan dan seni di Batavia (Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen) mengangkat Raden Saleh sebagai anggota kehormatan.
Dengan segala kegiatan artistik dan ilmiah itu ia dapat meletakkan dirinya sejajar dengan elite terpelajar dan seniman-seniman penting sekaligus sebagai manusia modern pada zamannya, namun hal itu terjadi di Eropa dan bukannya dalam masyarakatnya sendiri.
Salah satu karyanya terpetingnya adalah lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857). Judul lengkapnya adalah Historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Haupting Diepo Negoro (Gambar Bersejarah, Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro). Dalam lukisan itu Raden Saleh tak sekadar merekonstruksi suatu peristiwa versinya sendiri, melainkan juga membuat semacam pernyataan atau penegasan posisi dirinya terhadap representasi dan narasi atas peristiwa tersebut.
Lukisan itu adalah respons atas lukisan Nicolaas Pieneman (1809-1860) dengan judul De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-general de Kock, 28 maart 1830 (Penyerahan diri Diponegoro di hadapan duli Letnan Jenderal de Kock, 28 Maret 1830) yang dibuat pada tahun 1835, kurang lebih 5 tahun setelah berakhirnya perang Jawa, sebagai dokumentasi sekaligus representasi resmi dari sudut pandang pemerintah kolonial atas perang yang telah menguras kas negara itu.
Dalam lukisan Pieneman tersebut Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai pihak yang takluk atau menyerahkan diri kepada Letnan Jenderal de Kock, sementara dalam lukisan Raden Saleh, komposisinya sama sekali berbeda, yakni suatu gambar dalam perspektif semi-diagonal – sebagai ciri pendekatan romantic – dengan struktur ruang yang lebih padat sehingga muncul efek yang jauh lebih dramatik.
Sosok sang Pangeran pun digambar dengan gestur kokoh wajah agak mendongak (bahkan angkuh) sementara setting teras gedung Residen Kedu dengan perspektif yang menunjukkan hirarki antara pihak sang Pangeran dan sang kolonialis yang tak terlalu kentara. Ia bahkan menggambar sosok Letnan Jenderal de Kock berikut perwira dan para serdadu Belanda dalam anatomi yang salah: ukuran kepala yang melebihi proporsinya sehingga figur-figur itu tampak cebol. Sang pelukis juga muncul di antara kerumunan pengikut sang Pangeran. Dengan lukisan itu Raden Saleh sedang menjalankan semacam “politik representasi”, bahkan “subversi” terhadap praktik kolonialisme.
Selama hidup di Eropa, sang pelukis sangat menikmati keberadaanya di Jerman selama 5 tahun. Bagaimanapun, menjelang paruh pertama abad ke-19 Jerman bukanlah negara imperial atau kolonial sekelas Inggris dan Prancis. Mayoritas kaum terpelajar Jerman pada waktu itu cenderung membandingkan situasi politik negera mereka dengan kondisi yang ditanggung negara-negara jajahan sehingga juga cenderung memandang Timur sebagai realitas metafisik ketimbang sasaran eksploitasi.
Dengan pencapaiannya di bidang seni lukis, menurut Hans Joachim Neidhardt, seorang pakar tentang seni Jerman abad XIX, karya-karya Raden Saleh telah diakui sebagai bagian dari sejarah kebudayaan Jerman. Sang pelukis pun menegaskan bahwa dirinya semula adalah orang Jawa yang pergi ke Eropa tapi kemudian menjadi orang Jerman sejati dalam pikiran yang kembali ke Jawa
*Wicaksono Adi, kurator, kritikus dan pengamat seni rupa, tinggal di Jakarta dan Surabaya.
Advertisement