Beton dari Limbah PLTU Karya Mahasiswa ITS
Tiga mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), berhasil mengembangkan beton geopolimer yang ramah lingkungan. Karena berasal dari bahan dasar limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Mereka bertiga adalah Rifqi Nadhif Arrafid, Galih Syifa’ul Ummah, dan Yosi Noviari Wibowo yang tergabung dalam Tim CT-SEGORO.
Salah satu perwakilan tim, Galih Syifa’ul Ummah, mengungkapkan, untuk membuat beton ramah lingkungan ini tentu membutuhkan pertimbangan yang matang. Menurut Galih, ada tiga alasan yang melatarbelakangi terciptanya beton ini.
"Alasan pertamanya adalah dosen-dosen ITS sebenarnya sudah melakukan penelitian tentang hal ini, begitu pula saya dan teman-teman. Dan kami ingin mengembangkan penelitian tersebut," ujarnya mewakili rekan-rekannya.
Lebih lanjut, Galih mengatakan, alasan lainnya ialah beton konvensional dengan bahan semen abu-abu seperti yang sering dipasarkan itu sangat tidak ramah lingkungan. Karena produksi semen tersebut melepaskan karbondioksida yang menyebabkan pemanasan global.
Dan terakhir, sebagai negara penghasil batubara terbesar, ia dan kawan-kawannya menilai pembuatan beton ini bisa meminimalisir pembuangan limbah batubara.
"Karena penghasil batubara terbesar, limbah yang dihasilkannya pun besar. Salah satunya adalah limbah PLTU di Paiton yang juga kami jadikan sampel penelitian," jelasnya.
Menurut Galih, beton milik tim CT-SEGORO ini memiliki perbedaan yang unik. Jika beton geopolimer pada umumnya berbahan dasar fly ash tipe-C dengan kadar kalsium (Ca) 19 persen. Galih menyampaikan bahwa beton milik timnya ini berbahan dasar fly ash tipe-C dengan kadar Ca 27 persen.
"Hal ini membuat beton yang kami buat tidak mudah kering. Sebenarnya bukan kadar persennya yang mempengaruhi kualitas beton, tapi cara pengolahannya lah yang mempengaruhi,” tambah Galih.
Galih menjelaskan, metode yang dipakai timnya ini menggunakan takaran yang berbeda dengan takaran beton geopolimer lainnya. Yaitu dengan takaran semen geopolimer 35 persen dan 65 persen agregat (pasir dan kerikil).
"Semakin tinggi kadar Ca maka semakin rumit pula metode pengolahannya. Selain itu, setiap perbedaan kadar Ca, berbeda pula metode pengolahannya. Hal inilah yang menjadi hambatan dan sampai saat ini kami teliti bagaimana cara mengatasinya,” tandasnya.
Karya inovasi yang mereka hasilkan ini pun telah berhasil menyabet juara pertama dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional BUILDYEAR 2019 di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), awal bulan lalu.
Meskipun inovasi yang ia kembangkan bersama kawan-kawannya sudah mendapat penghargaan. Kedepannya Galih bertekad untuk melanjutkan penelitian ini agar benar-benar dapat diaplikasikan di wilayah pelabuhan, pantai, dan laut.
Advertisement