Besarkan Partai Islam atau Taruh Telur di Banyak Keranjang?
Partai Islam makin sepi peminat. Ini tergambar dari pemilu ke pemilu di Indonesia. Itu bisa dilihat dari perkembangan perolehan suara di setiap pemilu. Pertanda apa ini?
Mari kita lihat Pemilu 1955. Pemilu yang diikuti 29 partai ini menghasilkan komposisi 5 besar sebagai berikut: PNI (22 ,32 %), Masyumi (20,92 %), NU (18,41 %), PKI (16,36 %), dan PSII/Partai Serikat Islam Indonesia (2,89 %).
Ada tiga partai berbasis massa Islam. Mereka adalah Masyumi, NU, dan PSII. Total perolehan suara mereka 42 %. Belum ditambah partai-partai Islam kecil. Sedangkan partai berbasiskan massa nasionalis dan komunis sebesar 38 % lebih.
Dari 11 kali pemilu di Indonesia, tahun 1955 adalah kejayaan partai berbasis Islam. Selanjutnya, partai beridelogi ini lambat laun makin mengkerut perolehan suaranya. Itu terjadi pada saat pemilu di era Soeharto selama 32 tahun maupun era paska reformasi.
Pada pemilu 1971, pemilu diikuti 10 partai. Masyumi yang dalam pemilu 1955 mendapat suara terbesar kedua telah dibubarkan Bung Karno. Partai lama yang tersisa antara lain PNI, NU, Parkindo, IPKI, Partai Katolik, Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Murba dan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Soeharto mendirikan Golongan Karya sebagai kendaraan politik. Ia menjadi partai baru yang ikut pemilu. Hasilnya? Golkar menjadi pemenang mayoritas dengan 72 persen. Disusul NU 18,68 persen. PNI merosot tinggal 6,9 %. Lantas Parmusi 5,6 persen.
Pada pemilu pertama Zaman Orde Baru ini, partai Islam yang masih hidup tinggal NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Total perolehan suara partai-partai Islam itu hanya 27,12 persen. Dari emoat partai Islam itu hanya NU yang relatif bisa mempertahankan perolehan suaranya dibanding pemilu 1955.
Sejak itu, Soeharto mengebiri kekuatan NU. Ia memfusikan partai-partai Islam menjadi satu pada tahun 1977. Namanya Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan partai berbasis nasionalis dan agama lain disatukan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
NU tak lagi memegang kendali kepemimpinan. Selama masa Soeharto, Ketua Umum PPP tak pernah dipegang orang NU. Semuanya dalam kendalinya dengan Golkar sebagai mesin politik utamanya. Dalam kondisi seperti ini, dalam pemilu 1977 Golkar peroleh 62,11 persen, PPP 29,29 persen, dan PDI 8,60 persen.
Komposisi kekuatan politik dalam pemili 1982 tak banyak berubah. Golkar berhasil naik dan menggerus PPP, partai yang mewakili kelompok Islam. PPP perolehan suaranya turun menjadi 27,79 persen. Sedangkn PDI naik tipis menjadi 7,88 persen. Selebihnya diambil Golkar.
Perolehan suara partai oposisi, PPP dan PDI makin merosot dalam pemilu berikutnya. Golkar makin menjadi-jadi dengan mendulang 74 persen suara lebih pada Pemilu 1997. Pada saat itu, PPP juga naik suaranya menjadi 22,34 persen. Sedangkan PDI jeblok tinggal 3 persen karena berdiri PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Lantas bagaimana kekuatan partai Islam paska reformasi politik? Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik itu memunculkan tiga partai Islam yang mampu mendulang suara di atas 5 persen. Mereka adalah PKB (12,62 %), PPP (10,71 %), dan PAN (7,12 %). Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dapat 1 persen lebih. Lainnya di bawah 1 persen.
PDI Perjuangan menjadi jawara dan berhasil menggaet 33,74 persen suara lebih. Partai Golkar --partai penguasa Orde Baru-- masih bisa bertahan dan berhasil mengoleksi 22 persen suara. Partai Golkar ini dianggap istimewa dengan perolehan itu karena ia identik dengan Rezim Soeharto yang berhasil dilengserkan lewat gerakan reformasi.
Pada pemilu berikutnya, tidak hanya ada pemilu legislatif. Tetapi juga pemilu presiden. Inilah era presiden Indonesia mulai dipilih secara langsung oleh rakyat. Ada lima pasangan yang maju dan diusulkan partai-partai di parlemen. Mereka masing-masing diajukan partai politik yang punya kursi di DPR RI.
Mereka adalah Wiranto-Sholahuddin Wahid (Partai Golkar), Megawati-Hasyim Muzadi (PDIP), Amien Rais-Siswono Yudho Husodo (PAN), Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Prati Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan PKPI), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (PPP).
Sebelum Pilpres digelar pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten. Hanya perlu satu periode pemilu, Golkar kembali menjadi pemenang dengan 21,58 persen. PDIP merosot menjadi 18,83 persen, PKB 10,57 persen, PPP 8,15 persen, PKS 7,34 persen, dan PAN 6,44 persen.
Dalam pemilu ini muncul Partai Demokrat. Partai ini didirikan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal yang menjadi menteri ESDM sejak jaman Presiden Gus Dur dan Megawati. Mengejutkan, partai baru ini berhasil mendulang suara 7,45 persen. Dengan kendaraan ini, beserta dua partai lain, SBY menjadi presiden RI.
Posisi SBY sebagai presiden RI membawa berkah bagi Partai Demokrat. Pada pemilu 2009, partai besutannya memenangkan penilu legislatif dengan mengantongi 20,85 persen. Disusul Partai Golkar (14,46 %), dan PDIP (14,03 %). Di tahun ini ada dua partai yang muncul, yakni Gerindra (4,46 %) dan Hanura (3,77 %).
Dari 38 partai peserta pemilu, ada 4 partai berbasis massa Islam yang masuk dalam sepuluh besar. Mereka
adalah PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 persen) dan PKB (4,94 %). Masih banyak partai Islam peserta pemilu seperti PBB yang tidak lolos parlementary treshold sehingga tak punya anggota di DPR RI.
Dalam Pemilu 2014, perolehan suara partai berbasis massa Islam tak beranjak banyak. Dari 15 partai peserta pemilu ada 5 partai Islam. Mereka adalah PKB, PKS, PAN, PPP, dan PBB. Total perolehan suara kelima partai tersebut hanya 30 persen.
Survei elektabilitas partai-partai Islam dalam Pemilu serentak 2019 juga tidak jauh lebih baik. Apalagi sejumlah partai berbasis massa Islam belum berhasil mengatasi perpecahan internal seperti PKS dan PPP. Karena itu, perolehan total suara mereka dalam pemilu 17 April mendatang juga belum menggembirakan.
Banyak Keranjang
Data dari pemilu ke pemilu di atas menunjukkan bahwa partai berbasis Islam hanya pernah unggul saat Pemilu 1955. Setelah itu, perolehan suaranya terus merosot dan tak pernah beranjak di kisaran 20-30 persen.
Menurut pengamat politik UGM Prof Dr Cornelis Lay, untuk kepentingan negara-bangsa, idealnya parpol Islam tak begitu jauh perolehannnya dibandingkan partai-partai berbasis nasionalisme. Dengan demikian, keterwakilan parpol Islam di parlemen memadai.
Pertanyaannya mengapa parpol berbasis Islam tak mampu menggaet suara besar dalam setiap pemilu? Padahal Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Apakah ini soal kemampuan parpol Islam dalam menggaet suara atau karena aspirasi ke-Islam-an sudah terwakili dalam parpol berbasis nasionalisme.
Yang pasti, kegagalan partai Islam menggaet dukungan massa besar memerlukan strategi baru untuk menjaga agar aspirasi Islam bisa terserap dalam setiap kebijakan negara. Jalan parlemen tak lagi bisa dianggap enteng agar aspirasi ummat Islam terwakili.
Saya jadi teringat Dr Nurcholish Madjid, cendikiawan Muslim yang pernah mencanangkan "Islam Yes, Politik No." Pada saat itu, dia menawarkan strategi untuk menaruh telur di banyak keranjang. Artinya tidak menempatkan semua potensi sumberdaya politik Islam dalam satu keranjang.
Dalam praktik politik negara-bangsa, rasanya akan lebih strategis jika sumberdaya politisi Islam tidak mengumpul di dalam partai Islam saja. Mereka perlu menyebar ke seluruh partai sehingga bisa membawa aspirasi Islam di setiap partai politik tempat ia berlabuh.
Polarisasi abangan-santri yang pernah mengental pada awal kemerdekaan dan tahun 1960-an rasanya telah melumer saat ini. Apalagi sejak terjadinya gairah keagamaan --untuk tidak mengatakan santrinisasi-- sejak tahun 1980-an. Islam tak lagi menjadi sebuah kekuatan ekslusive dalam negara bangsa.
Nah, untuk bisa menempatkan banyak sumberdaya politik di semua partai politik diperlukan sikap keagamaan yang insklusiv. Bukan menampilkan wajah keagamaan yang keras dan ekslusif. Juga menjadikan bentuk negara yang sekarang sebagai bentuk final.
Diluar kontroversi yang menyertainya, keputusan Bathsul Masail Munas Alim Ulama yang menempatkan para penganut agama non Islam di Indonesia sebagai ''Muwathin'' bukan ''kafir dzimmy'' adalah pintu masuk untuk menaruh ''telur'' dalam berbagai ''keranjang''. Ini bisa menjadi strategi baru bagi ummat ketika parpol berbasis Islam susah besar.
Siapa tahu srategi ini bisa lebih menjamin aspirasi ummat Islam ke depan. Wallahu a'lam. (Arif Afandi)