Beruntung Pasuruan Punya Wahyu Nugroho yang Radikal
Ketika politik sudah menjadi panglima seperti sekarang ini, diperlukan orang-orang radikal agar kebudayaan atau kesenian tidak terus menerus tergerus. Penggerusan berjalan secara masif. Banyak orang yang tidak merasakan, tapi suatu saat mereka akan terkejut karena tiba-tiba kita sudah menjadi bangsa yang tidak berkebudayaan.
Orang-orang radikal amat diperlukan, agar panglima yang bengis itu tidak makin merajalela. Perang melawan panglima mustahil akan menang, karena dia memiliki segalanya yaitu peraturan, kebijakan, dan anggaran. Tetapi perang tetap harus dilakukan, bukan untuk menang, melainkan untuk sekadar menunda agar kebudayaan tidak terlalu cepat sirna dari bumi Indonesia.
Wahyu Nugroho, 54 tahun, termasuk seniman radikal. Beruntung Pasuruan memiliki dia. Pasti dia tidak bergerak sendirian, tetapi secara radikal Wahyu Nugroho sejak bertahun-tahun yang lalu selalu memprovokasi anak-anak muda, termasuk para siswa, karena memang dia seorang guru di MTsN 1 Kota Pasuruan, untuk mencoba menggambar dan terus menggambar.
Kalau ada anak muda yang beralasan tidak mampu beli kanvas dan cat atau alat-alat lukis lainnya, maka alumni Jurusan Seni Rupa IKIP Malang ini akan mendesak agar mereka menggambar dengan media yang paling murah yang sudah mereka miliki, yaitu pensil dan kertas. Yang penting menggambar, kata Wahyu Nugroho pada mereka. Radikal sekali dia.
Setelah beberapa orang tertarik untuk menggambar, Wahyu kemudian menghasut mereka agar membentuk komunitas. Saat ini ada beberapa komunitas yang ada di Pasuruan, hasil dari hasutan itu. Padahal Wahyu tinggal di Purwosari, sekitar 25 kilometer sebelah selatan Kota Pasuruan.
Zuhkhriyan Zakaria, pelaku seni sekaligus dosen Universitas Islam Malang mencatat, setidaknya ada tiga komunitas seni di Pasuruan yang digagas Wahyu Nugroho, bersama rekan lain tentu saja. Pertama adalah Sanggar Mahardhika Art, digagas dan dibentuk tahun 1984. Kemudian 2008 dia membentuk Komunitas Guru Seni dan Seniman Pasuruan (KGSP), dan terbaru tahun 2018 membentuk komunitas Alkmaart, khusus pelukis drawing.
Radikalisasi Wahyu ini sebenarnya sudah lama dilakukan, sejak awal tahun delapan-puluhan. Proses panjang ini akhirnya memberikan hasil. Salah satunya, sekarang Pasuruan di kalangan seni rupa khususnya, dikenal sebagai ‘kota drawing’. Banyak pelukis asal Pasuruan yang ketika diajak pameran bersama oleh teman-temannya dari luar daerah, mengirimkan karya drawing. Dan itu ternyata malah memperkaya khasanah even pameran.
Kepercayaan pada berkembang pesatnya drawing di Pasuruan bahkan juga datang dari pemerintah pusat. Kepercayaan itu diwujudkan dalam bentuk pameran drawing yang saat ini sedang berlangsung di Pasuruan. Pameran yang diikuti 26 pelukis Pasuruan ditambah 21 pelukis dari berbagai daerah di Pulau Jawa ini, diselenggarakan sepenuhnya oleh Galeri Nasional Indonesia, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud. Diselenggarakan sepenuhnya artinya termasuk pembiayaannya.
Wahyu Nugroho ikut dalam pameran bertajuk Pameran Seni Gambar; Merandai Tanda-tanda Zaman yang berlangsung di gedung Yon Zipur Pasuruan awal Desember 2019 ini. Dia mengirimkan salah satu karya drawingnya yang berjudul Atraksi Topeng, terdiri dari tujuh panel dengan media pensil di atas kertas.
Karena Wahyu radikal, maka pada saat yang bersamaan, dia juga menggelar pameran tunggal di gedung yang letaknya sekitar 500 meter sebelah selatan tempat pameran bersama yang diselenggarakan Galeri Nasional. Pada pameran tunggalnya yang bertajuk Intuitive Drawing dia memamerkan 57 karya yang sebagian besarnya bergenre drawing, berbagai ukuran.
Kalau tidak radikal, tidak akan seorang pelukis yang sedang pameran lukisan bersama pelukis-pelukis lainnya, pada saat yang sama juga menggelar pameran tunggal, di tempat yang tak berjauhan jaraknya. Dan itu sah-sah saja.
Pameran tunggal Wahyu Nugroho menempati bangunan kuno tak terawat di Jl. Pahlawan, yang oleh pengelolanya diijinkan untuk dipergunakan sebagai tempat berkesenian, dengan nama Bocosralus Artspace. Sementara pengelolanya sendiri membuka cafe.
Karya-karya Wahyu Nugroho dipajang di tiga ruangan yang dahulunya bekas kamar tidur, tetapi kini berubah menjadi galeri. Nampak sekali ruang-ruangan ini tidak terawat dengan baik. Dinding-dindingnya kusam, sementara lantainya perlu dipoles. Tapi dalam ruang-ruang yang seram, lukisan-lukisan Wahyu justru nampak makin garang.
Tentang karya-karya Wahyu Nugroho sendiri, pengamat sekaligus aktivis seni Halim HD membuat catatan yang sangat pas. Menurut Halim, pada dasarnya, kekuatan karya Wahyu Nugroho terletak pada penciptaan ruang yang membawa kita kepada permenungan tentang kedalaman, suatu ruang jeroan yang nampak secara fisikal bersifat anatomis.
Melalui ruang-ruang jeroan inilah Wahyu Nugroho menciptakan pencitraan berbagai problematika yang diserapnya, dan melahirkan pengungkapan yang bersifat metaforik dan simbolik. Karena, menurut Halim, sesungguhnya masalah kesenian, khususnya senirupa, berkaitan dengan masalah ke dalaman dan intensitas. Dari ruang kedalaman itulah seluruh enerji menggerakan anggota badan dan membentuk karya senilukis.
Jadi, radikalisme Wahyu Nugroho ternyata bukan saja pada pergerakan dia di ‘luar’, tetapi juga pergerakan dia di ‘dalam’, yang bisa dilacak dari karya-karyanya. (m. anis)
Advertisement