Bertemu Para Eksil di Belanda
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berkunjung ke Amsterdam, Belanda, bertemu dengan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Mereka adalah para eksil yang lama tinggal di luar negeri. Para eksil itu akan dipermudah untuk kembali ke Tanah Air
Perlu diketahui, dalam Comprehensive Indonesian-English Dictionary: Second Edition, 2010, kata "eksil" disadur dari kata bahasa Inggris exile yang berarti terasing, atau dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumahnya.
Di Indonesia banyak orang menjadi eksil akibat peristiwa G30S 1965, kerusuhan 1998, dan peristiwa Simpang KKA. Mereka terusir, tak bisa pulang, melarikan diri, atau sengaja diasingkan ke luar negeri.
Perjalanan hidup para eksil di negeri berantah banyak mewarnai dunia sastra Indonesia. Kisah-kisah mereka menginspirasi para penulis untuk mengabadikannya dalam karya. Menurut data, terdapat 136 orang eksil yang berada di luar negeri. Mereka merupakan korban pemberontakan G30S pada 1965-1966, kerusuhan 1998, dan peristiwa Simpang KKA.
Mahfud MD dan pejabat negara lainnya, melakukan hal itu dalam rangkaian kunjungan kerja ke beberapa negara Eropa dan Korea Selatan mulai Selasa, 22 Agustus 2023. Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka membahas keamanan hingga menemui para eksil '65. Terkait pelaksanaan hak asasi manusia (HAM). Berikut Mahfud MD:
Kedatangan kami di Belanda, bukan untuk menjemput para eksil pulang ke Tanah Air. Sebab, keputusan pulang merupakan hak para eksil. Penyelesaian non-yudisial bagi para eksil korban pelanggaran HAM berat patut disyukuri. Mereka mendapat pengakuan dari negara usai tragedi Gerakan 30 September atau G30S 1965. Pemerintah berjanji untuk memperbaiki dan memenuhi hak para korban.
Kami berusaha untuk menemui para eksil itu, dan memberitahu tentang hak-hak korban pelanggaran HAM berat karena itu hak konstitusional.
Para eksil itu tersebar di negara-negara seperti Belanda, Rusia, Ceko, Swedia, Slovenia, Albania, Bulgaria, Suriah, Inggris, Jerman, hingga Malaysia.
Dua Proses Penyelesaian Kasus
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dilakukan dalam dua proses, yakni yudisial dan nonyudisial. Penyelesaian secara yudisial, dilaksakan oleh pengadilan, dengan penyidikan dilakukan langsung oleh Jaksa Agung. Nah kita mengambil itu dari hukum internasional, bahwa pelanggaran HAM berat hanya ditetapkan oleh Komnas HAM.
Yang melakukan penyidikan Jaksa Agung, kemudian penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung, diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan HAM adhoc.
Pengadilan HAM adhoc, khusus menangani pelanggaran HAM yang terjadi tahun 2000 dan sebelumnya. Pada kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000, proses peradilannya dilakukan di pengadilan HAM biasa.
Kemudian, saudara sekalian, yang untuk penanganan yudisial ini, jadi proyustisianya untuk penyelidikan ada di Komnas HAM.
Lalu ada penyelesaian non-yudisial, penyelesaian non-yudisial itu dilakukan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Di situlah nanti pembahasan tentang mencari kebenaran, perdamaian, dan lain-lainnya.
Lalu, mari berdamai kita, bersatu, rukun kembali. Itu sudah ada undang-undangnya, tapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi membatalkan itu, sehingga yang melalui pengadilan itu belum bisa maksimal, yang melaui KKR, komisi kebenaran dan rekonsiliasi juga tidak jadi-jadi.
Daripada terus menerus menunggu kedua proses tersebut, dan lebih bernuansa politis, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022.
Daripada kita menunggu terus proses yang bernuansa politis juga, karena tarik menarik ini itu dan seterusnya, maka presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022, tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Keputusan presiden tersebut, merupakan proses penyelesaian kepada para korban, bukan pada pelaku, karena proses terhadap pelaku dilakukan oleh pengadilan. Untuk pelaku, itu pengadilan yang menyelesaikan.
Sebelum pengadilannya yang terus berkutat tarik menarik ndak selesai, korban yang masih ada ini, karena satu, satu, satu, habis, kita nunggu undang-undang, kita nunggu pengadilan dan seterusnya.
Maka, pemerintah mengambil jalan secepatnya untuk memberikan hak-hak konstitusional mereka, sementara proses di pengadilan terus berjalan.