Bertauhid secara Tuntas, Ini Pesan Haedar Nashir
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, Tauhid itu melahirkan unitas-unitas yang pusatnya pada Allah SWT.
"Tapi bukan Allah SWT yang diteosentriskan semata. Melainkan Allah SWT yang juga melahirkan antroposentrime, Allah SWT yang melahirkan ihsan, Allah SWT yang mengajari ihsan. Juga dalam Islam tidak boleh menegasikan penggunaan akal budi dan hati," tutur Haedar, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Selasa 22 Oktober 2019.
Mengutip KH Ahmad Dahlan, Haedar Nashir menjelaskan, orang yang akal budinya sehat atau ulil albab ialah orang yang mau menerima opini, pemikiran, proposisi, postulat atau apa saja yang kemudian dia olah dan kemudian diambil yang terbaik untuk diamalkan.
Sebagai kebutuhan dasar hidup manusia, akal budi oleh Muhammadiyah dipakai sebagai alat untuk memahami ajaran Islam yang meliputi pada aqidah, ibadah, muamalah duniawiyah yang dikontekstualisasikan menjadi amalan Islam yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam itu sendiri. Terkait penggunaan akal budi juga tertuang dalam poin ketiga di Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM).
“Jadi kalau kita sekarang ini orang Muhammadiyah takut menggunakan akal pikiran, itu berarti tidak sesuai dengan MKCH. Atau kurang membaca, dan kalau juga takut dengan akal pikiran berarti belum bisa menerima wahyu pertama secara utuh,” tutur Haedar.
Sehingga, dalam melihat teks tidak bisa hanya secara parsial sebagai teks (bayani) semata. Melainkan diperlukan insturmen pendukung, yaitu burhani (konteks) dan irfani (hati suci). Menyelami surat Al Alaq pada ayat-ayat awal, Ia menjelaskan bahwa manusia tetap tidak boleh lepas dari koridor utama yaitu kesadaran bahwa dia diciptakan dan sebagai hamba atau mahluk tidak boleh berlaku sembarangan dengan melawan yang menciptakan.
“Biarpun dalam sejarah Islam ilmu ini sempat jadi problem bahkan setelah minhah Baghdad, dimana setelah rezim bertukar, akal pikiran sempat diharamkan dalam islam. Bahkan ada jargon barang siapa yang bermantik/berlogik dia menjadi zindiq. Itu ada dalam sejarah Islam, akan tetapi habis itu ada perubahan lagi. Lalu Islam menjadi ilmu peradaban baru, dari situlah ilmu filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan tradisi Iqra’ berkembang dalam tradisi keilmuan islam,” ungkapnya.
Sekarang, dengan sistem pendidikan Islam modern, umat muslim harus mampu membangkitkan kembali substansi etos pendidikan tersebut. Yang diramu melalui metode pendekatan holistik, misalnya dimana pendekatan ini mengabungkan antara pendekatan andragogis dengan partisipatoris. Haedar menjelaskan, karena pendekatan partisipatoris yang berkembang sekarang ini di neo marxis dari filsafat marxisme itu value-nya lepas. Karena marxis memandang bahwa yang paling dominan adalah materi.
“Pendidikan yang holistik pada sistem pendidikan Islam modern itu bagian dari Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Karena itu AIK juga harus bersifat komprehensif, harus bisa mengintegrasikan aqidah, ibadah, ahlak, dan muamal duniawiyah sebagai satu kesatuan dalam agama Islam. Jangan sampai memandang muamalah dunawiyah tidak bagian dari Islam,” kata Haedar.
Integrasi substantif ini juga bisa diberlakukan untuk mengkontruksi Allah SWT ketika mengenalkannya kepada anak-anak. Sehingga, anak dalam mengenal AllahSWTbukan hanya sebagai Tuhan yang gagah perkasa dan kejam, tapi juga Allah SWT yang Latif, Rahman dan Rahim. AllahSWTbukan lagi disifati hanya sebatas Illahiyah, Rububiyah dan Mulkiyah.
“Maka pengenalan dan elaborasi sifat-sifat Allah yang lain merupakan usaha menampilkan Islam yang ramah, serta menghilangkan stigma yang mengatakan bahwa orang yang humanis dan rohman maupun rohim adalah orang yang lemah,” tutur Haedar Nashir.
Advertisement