Bertabur Aroma Mewangian saat Menemui Maulana Rumi
Catatan: KH Husein Muhammad
Mengingat pesan-pesan Maulana Jalaluddin Rumi menjelang pulang sebagaimana di atas, aku ingin menahan duka begitu mendalam. Aku mencoba menghibur diri dengan mengingat sebuah puisi manis karya agung Maulana : “Matsnawi” :
فَإِنْ مَضَتِ الاَيَّامُ فَقُلْ لَهَا إِذْهَبِى وَلاَ خَوْفٌ
وَلِتَبْقَ أَنْتَ يَا مَنْ لاَ مَثِيْلَ لَكَ فِى الطُّهْرِ
Bila waktumu telah tiba untuk pulang, berangkatlah.
Jangan gelisah. Aku tak akan berduka.
Sebab kau masih dan selalu di sini, di hatiku
Duhai, yang tiada orang sepertimu.
Maulana, boleh jadi mengungkapkan puisi ini kepada an untuk guru spiritualnya yang agung, sang matahari dari Tabriz (Syams al-Tabrizi), sesudah putus harapan untuk bertemu kembali dengannya. Syams sang kekasih Rumi itu, hilang entah ke mana.
Kakiku terus melangkah, memasuki ruang Mauseleum (maqbaroh) Maulana Rumi yang anggun dan kharismatik itu.
Aku menghirup aroma wangi, seperti aroma mawar, yang merebak menebar memenuhi ruangan, tempat maulana diistirahkan. Mataku berputar-putar mengelilingi seluruh ruangan itu. Aku melihat orang berjubel di depan pusara Maulana. Kulit mereka bermacam-macam..
Tentu saja aku tak mengenal mereka. Yang aku lihat sekilas dan selintas, mereka, di tempat itu seperti tak melakukan apa-apa selain memandangi dengan penuh kekaguman, tubuh yang terbaring di bawah bungkusan kain hitam yang diletakkan di atas lantai yang sedikit tinggi. Di atasnya ada “surban”, peci khas yang dipakai Maulana, yang dilipat kain berwarna hijau. Konon pakaian ini dikenakannya usai pertemuannya yang intim dengan Syams Tabrizi.
Ada pula di antara mereka yang terus memandangi kaligrafi indah diliputi ornament-ornamen dalam lukisan yang indah pula. Kaligrafi itu terpampang memenuhi tembok dan dua pilar raksasa. Di bagian lain terdapat sejumlah pusara. Konon, ia adalah pusara keluarganya: ayahnya, Baha al-Din Walad dan putranya: Sultan Walad serta pusara para raja.
Di bagian lain dari tempat itu aku melihat ada beberapa orang dengan mulut komat-kamit, berdoa dengan khusyu. Kepanya tertunduk. Aku berhenti di samping mereka dengan menghadap lurus pada pusara itu.
“Assalamu’alaika ya Maulana”, “Assalamu’alaik Ya Darwish”. Assalamu’alaika Ya Syeikh Baha al-Din Walad”, “Assalamu’alaikum Ahla Hadzihi al-Dar”.
Aku menyampaikan salam kepadanya dan kepada orang-orang yang bersamanya di tempat itu. Sesudah itu aku juga menyampaikan salam yang sama, titipan teman-teman yang mereka tulis di wall FB-ku.
Aku diam, menghela nafas, lalu bersenandung dalam lirih:
يا من أنت فى ساعة الالم راحة فى نفسى
يا من أنت فى مرارة الفقر كنز لروحى
Duhai dikau, yang ketika aku
dirundung nestapa,
Adalah Pelipur jiwaku
Duhai, dikau,
yang ketika aku dilanda kepapaan nurani
Adalah perbendaharaan ruhku
يا مولانا, يا حبيب الروح !
قلوب ودادكم تشتاق والى لذيد لقآءكم ترتاح
يبلغون السلام عليكم ويتمنون اللقآء بكم
ويرجون غفران ربكم و رحمته
Ya Maulana, Ya Habib al-Ruh
Quluub Widaadikum Tasytaaqu
Wa Ila Ladziidzi Liqaa-ikum Tartaahu
Yuballighuun al-Salaam 'alaikum
Wa Yatamannauna al-Liqa bikum
wa Yarjuuna Ghufran Rabbikum wa Rahmatah
Duhai pemimpinku. Duhai kekasih jiwaku
Hati para pencintamu merindukanmu
Kenikmatan perjumpaan denganmu
Bikin mereka damai
Mereka menitipkan padaku salam untukmu
Seraya memimpikan bertemu denganmu
Dan mengharap ampunan dan Kasih Tuhanmu
Maula Rumi dalam Jejak Kenangan
Sambil masih dalam posisi berdiri aku melakukan ritual spiritual: Tahlil, bacaan zikir yang lain dan diakhiri dengan do’a pengampunan dan harapan, sebagaimana tradisiku bila berziarah ke kuburan atau dalam ritual-ritual lainnya. Hari Pebriantok, teman yang menuntunku dengan setia, ikut mendampingiku.
Dengan berbisik, aku bilang : “Hari, tolong, bisakah ambil kamera dan mengambil gambarku?”. Aku berharap ada ruang untuk mengambil gambar aku di depan Maulana. “Di sini siapapun tidak boleh memotret. Lihat itu, Kiai, ada sekuriti yang terus mengawasi para peziarah”.
Aku menoleh. Benar, ada sekuriti yang duduk di atas kursi dengan mata tajamnya. Meski kecewa, aku maklum. Boleh jadi ini kebijakan yang baik. Bila semua orang boleh mengambil gambar, suasana ruangan itu pasti akan sangat heboh. Aku meneruskan tahlilku sampai selesai.
Ketika aku membalikkan tubuhku, seorang pemuda menyampaikan salam, sambil mengatakan : “do’amu, bagus”. Oh, anda mendengarkan bacaan aku rupanya ya?. Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berkenalan dan bercakanp-cakap dalam bahasa Arab. Aku bertanya tentang tempat istirahat Maulana ini.
Diabadikan dalam Museum
Kapan museum ini dibangun?, kataku. Dia bilang : "Dulu kuburan maulana sederhana, tidak semegah dan seanggun sekarang. Belum menjadi museum. Dulu di dekat dan di latar depan kuburan dijadikan tempat tarian Sema. Kemudian dilarang oleh pemerintahan Kemal. Konon bangunan ini baru menjadi museum pada 1926 dan kemudian kembali menjadi pusat kegiatan Whirling Dervishes.
Pada ruangan makam, di bagian kanan, terdapat 55 makam dari keluarga dan pengikut Rumi. Tepat di bawah sebuah atap kerucut hijau, terdapat dua makam dari marmer biru. Itulah makam Rumi dan anaknya, Sultan Walad. Kedua makam dibuat pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman. Orang-orang tampak menengadahkan tangan, berdoa bagi sang 'Maulana'.
Aku mendengarkan dengan penuh minat dan kekaguman penuh, sambil memandangi tempat maulana Rumi dan tembok yang mengelilinginya.
Aku baru menemukan orang Turki yang mau atau bisa bicara dalam bahasa Arab. Konon, orang Turki sangat nasionalis. Mereka hanya ingin menggunakan bahasa nasional mereka. Manakala aku menanyakan dari mana dia belajar bahasa Arab, dia mengaku keluarganya dari Afganistan.
Aku dan Hari permisi untuk meneruskan perjalanan. Nah, pada saat itu pikiranku untuk bisa mengambil gambar makam Maulana muncul kembali. Penasaran. Sambil berjalan pelan-pelan, aku menyerahkan HP kepada hari, dan bilang dalam lirih : “Hari, tolong ambil gambarku”. Dia mau memotret sekali. Tetapi rupanya blitz HP itu memantukan cahaya dan terlihat oleh sekuriti di belakang. Aku mendengar suara tegurannya. Maka aku bergegas, mempercepat langkahku keluar ruangan. “Alhamdulillah. Sip lah. Kita berhasil “mencuri” gambar Maulana, meski dari jarak agak jauh. Terima kasih ya?”. Hari tersenyum-senyum.
Demikian catatan KH Husein Muhamamad. Semoga bermanfaat. (30.08.2021/HM)