Bersungguh-sungguh dan Berhati-hatilah, Pesan Kiai Sholeh Qosim
Banyak pesan-pesan kebaikan yang diwasiatkan para sesepuh Nahdlatul Ulama dan kiai pesantren. Hal itu tentu bisa menjadi ujaran khas yang bisa diambil hikmah dan keteladanannya saat ini.
KH. Sholeh Qosim, almaghfurlah, dalam setiap kesempatan (semasa hidupnya) selalu menyampaikan wasiat dari mertua beliau RKH Hamzah Isma'il untuk selalu bertindak "temen" dan "ati-ati."
"Temen" bisa bermakna serius, jujur, mencurahkan segenap tenaga pikir dan raga juga waktu untuk selalu melangkah pada arah yang sebenarnya dituju. "Ati-ati", ya maknanya hati-hati.
"Memiliki gambaran general akan tujuan serta dibarengi kemampuan menerjemahkan dalam ranah teknis yang mudah untuk dikomunikasikan sehingga mudah untuk dilaksanakan baik untuk diri, juga selainnya dalam frame organisasi," kata Ahmed Miftahul Haque,dalam catatannya.
Berikut penjelasan cucu Kiai Sholeh Qosim Sepanjang, yang kini aktif di PW Lembaga Ta'lif wa-Nasyr Jawa Timur, secara lengkap:
Kemampuan memudahkan Liyan, dalam ranah apapun, adalah salah satu buah dari pencapaian perspektif "temen" dan "ati-ati." Bergantung levelling tiap diri memang, namun pencapaian dari seseorang yang menjalani sisa hidupnya dengan perspektif ini, perspektif "temen" dan "ati-ati" yang telah menjadi diri, bukan hanya tempelan, menjadi sosok yang memudahkan adalah sesuatu yang pasti.
Term "memudahkan" ini jangan disalahartikan dengan "menggampangkan" karena pada yang akhir ini lebih bermakna negatif dengan turunan makna "abai", "tidak mengindahkan", "ada sesuatu yang dilanggar", dst.
"Memudahkan" lebih bermakna kemampuan mensinergikan antara tata aturan dan tata nilai dalam sebuah konteks yang membangun. Tanpa ada yang dilemahkan lalu timpang.
Semisal dua kaki yang meskipun berbeda beberama milimeter, mungkin juga senti, namun masih terlihat tegak berjalan untuk kemudian menuju arah tujuan.
Tentu terdapat efek sampingan dari "memudahkan." Menjadi tak terlihat lebih pintar, tak terpandang, bahkan tak mencolok diantara Liyan adalah salah satunya.
Seperti guru yang terlalu akrab dengan muridnya, karena ia selalu mampu "hadir" dalam hidup juga permasalahan yang melingkupinya, hingga alih-alih muridnya menjadi lebih ta'dzim, murid-murid ini lupa dan menganggap gurunya selevel dengan mereka.
Tentu bagi sang guru hal ini bukanlah menjadi menjadi sesuatu yang harus dirisaukan selama pada Liyan mereka mampu mematut diri selayaknya.
Dan seringnya Aku dalam posisi selayaknya murid-murid ini dalam melihat Abah. "Putu ndableg dewe," "MATAN (Mahasiswa Tarekat Mu'tabarah An-Nahdliyah, red) sing gak tau nyekel tasbih," bahkan "Sufi koq lemu, ketoro g tau tirakat" adalah sedikit dari sekian banyak dawuh beliau untuk mengingatkan bahwa pencapaianku selama ini belumlah kemana-mana dan bukanlah apa-apa dibanding riyadloh beliau. Dan mungkin bahkan beliau juga merasa pencapaiannya layaknya butiran debu dibanding guru-guru beliau, juga leluhurnya.
"Jika Abah merasai itu, apalah kami ini." (adi)