Bersih-Bersih Mafia Bola, Pertaruhan Reputasi Joko Driyono
Setelah Edy Rahmayadi mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI, Joko Driyono selaku Wakil Ketua Umum PSSI secara otomatis naik pangkat. Jabatan ini bukan hal baru bagi pria asal Ngawi tersebut. Pasalnya, saat Edy nonaktif selama kampanye Pilgub Sumatera Utara lalu, Jokdri juga menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum PSSI.
Bedanya, jabatan yang kali ini ia emban akan lebih lama jika tidak ada Kongres Luar Biasa (KLB) dengan agenda utama pemilihan ketum baru, di tengah jalan. Maklum, masa bakti kepengurusan PSSI era Edy baru berakhir pada 2020 mendatang. Artinya, masih ada sekitar satu tahun lebih sebelum Kongres PSSI dengan agenda pemilihan ketua umum baru digelar.
Banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Jokdri. Selain ada sejumlah agenda Timnas, pria yang pernah menjabat sebagai Sekjen PSSI era Nurdin Halid dan Djohar Arifin Husin ini pun wajib mengembalikan integritas PSSI menyusul kasus match fixing yang menyeret sejumlah Ecxo PSSI dan pengurus PSSI lainnya.
Tugas yang tak mudah untuk dilakukan, mengingat Jokdri selama ini cenderung memiliki spesialisasi pada hal-hal teknis seputar kompetisi. Bahkan, kehebatan Jokdri di bidang ini mendapat pengakuan dari banyak pihak.
Namun, menjadi ketua umum PSSI bisa sangat berbeda. Banyak persoalan lebih rumit lainnya yang harus diselesaikan. Sehingga wajar bila masih ada keraguan di benak elemen sepak bola di Indonesia mengenai kesanggupan Jokdri mengembalikan citra sepak Indonesia menjadi lebih baik, serta bersih dari pengaturan skor dan praktik haram lainnya.
Sebab, jika menilik sepak terjang Jokdri selama ini, pecinta sepak bola tanah air harus siap-siap kecewa. Pasalnya, Jokdri juga memiliki sisi kelam yang bisa digunakan orang lain untuk menyerang balik dirinya.
Maklum, Jokdri memiliki 'dosa besar' dalam kasus yang menimpa Persebaya di musim 2009-2010 lalu. Kala itu, Jokdri yang menjadi orang nomor satu di PT Liga Indonesia (operator kompetisi) membuat keputusan yang sangat merugikan tim berjulukan Bajul Ijo.
Alih-alih memberikan kemenangan WO pada Persebaya, Jokdri justru memutuskan laga antara Persik kontra Persebaya diulang sampai tiga kali. Padahal secara regulasi, Persik seharusnya dinyatakan kalah WO lantaran terbukti gagal menggelar pertandingan karena izin dari aparat kepolisian Kediri tak keluar kurang dari tujuh hari.
Namun, PT LI justru menjadwal ulang laga ini di kompleks AAU Yogyakarta yang kembali gagal karena masalah yang sama. Laga ini kemudian dijadwal ulang di Palembang, Persebaya yang merasa sepatutnya mendapatkan menang WO pun tak berangkat. Akibatnya, Persebaya dinyatakan kalah WO dan terdegradasi ke kasta di bawahnya, Divisi Utama.
Butuh Aksi Nyata
Sejak masuk dalam struktur kepengurusan PSSI, komitmen Jokdri untuk melakukan 'bersih-bersih' memang belum terlihat. Maklum, selama ini Jokdri lebih identik dengan urusan teknis yang memastikan “sirkus” terbesar dengan melibatkan banyak pihak di tanah air ini bisa tergelar.
Namun, menjadi Ketua Umum PSSI bukan hanya soal teknis menjalankan kompetisi yang baik saja. Lebih dari sekadar itu, selaku Plt Ketua Umum PSSI Jokdri wajib memiliki jiwa kepemimpinan serta ketegasan. Sebab, masalah yang akan dihadapinya saat ini jauh lebih kompleks, terutama terkait praktik kotor di sepak bola Indonesia yang sedang menjadi sorotan masyarakat.
Seperti diketahui, setelah Johar Lin Eng dan Dwi Irianto, ada indikasi keterlibatan pengurus PSSI yang yang lain. Setidaknya, laporan mantan manajer Perseba Super Bangkalan Imron Abdul Fatah pada Satgas Antimafia Bola beberapa waktu lalu mengindikasikan akan ada pengurus PSSI lain yang terseret dalam kasus suap dan pemerasan.
Dalam laporan tersebut, meski hanya menyebutkan inisial IB, dugaan itu mengarah pada Iwan Budianto. Maklum, seperti disebutkan Imron, IB saat itu menjabat sebagai Ketua Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI) PSSI. IB dilaporkan menerima uang setoran sebesar Rp 140 juta untuk memuluskan upaya Perseba Super menjadi tuan rumah Piala Soeratin 2009 lalu.
Di sinilah reputasi Jokdri akan dipertaruhkan. Sebab, di masa kepengurusan Edy Rahmayadi, Iwan Budianto menjabat sebagai kepala staf Ketua Umum PSSI. Pertemuan Iwan dengan Jokdri yang saat itu berstatus Wakil Ketua Umum PSSI tentu sangat intens. Sehingga wajar jika kemudian tak sedikit yang meragukan Jokdri akan tancap gas dalam memberantas mafia bola.
Meski bukan kewenangan Jokdri untuk menjatuhkan sanksi kepada pengurus PSSI yang terbukti melakukan praktik kotor, Jokdri sebagai Plt Ketua Umum PSSI punya kewajiban untuk memastikan dan memberikan jaminan bahwa keadilan bisa ditegakkan, tak tebang pilih, dan tak mengenal kawan.
Membentuk lembaga Ad Hoc Integritas untuk memberantas pengaturan skor memang langkah awal positif yang dilakukan Jokdri sebagai Plt Ketua Umum PSSI. Namun, sikap terbuka serta ketegasan Jokdri juga dibutuhkan.
Masyarakat Indonesia dan pecinta sepak bola tanah air tak hanya membutuhkan langkah-langkah strategis dalam memberangus praktik kotor di sepak bola Indonesia, tapi aksi nyata yang menunjukkan keseriusan PSSI dalam melakukan bersih-bersih.