Bersegera Mem-Pancasila
Sudah pasti protes-protes menyerbu saya. Bagaimana mungkin simpan dulu Sila Pertama. Siapa yang bisa atur “maaf Tuhan jangan terlibat dulu, nanti pada babak berikutnya saja”. Meskipun maksudnya itu adalah tahap-tahap kependidikan, di mana manusia biar mengacu pada pembelajaran Al-Amin terlebih dulu sebelum siap menjadi “Abdullah” kemudian “Khalifatullah”, tapi kan mustahil peran Tuhan di-pending.
Mosok Tuhan diatur agar beradaptasi terhadap proses sosialisasi dan inkulturasi Pancasila. Mosok Tuhan diikat rundown pembelajaran nilai, ilmu dan peradaban NKRI.
Meskipun manusia mengabaikan-Nya, atau bahkan tidak mempercayai bahwa Ia ada, tetap saja bukan manusia yang menegakkan hukum gravitasi. Kalau Tuhan mengubah atau membatalkan kadar daya tarik bumi, setiap pesawat terbang harus menyesuaikan regulasi teknologisnya. Dan pada saat Tuhan membatalkan gravitasi, pesawat-pesawat berjatuhan dan gedung-gedung ambruk, segala tatanan fisik dan materi mengalami guncangan dan kematian massal.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib”.
Apalagi yang kasat mata: Meikarta, reklamasi, LRT, MRT, Pilkada Pilpres, statistik keuangan dan Kawruh Katon lainnya.
”Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”
Kita sendiri tak tahu jumlah helai rambut dan bulu badan kita. Jangankan jumlah pasir di Gurun Sinai. Kita tak bisa melihat warna buang angin kita. Tak ngerti dan tak punya otoritas besok sore jantung kita masih berdetak atau berhenti. Juga tak tahu persis aslinya isi hati istri atau suami kita. Bahkan sebenarnya diam-diam kita tidak memahami konstelasi kemauan riuh rendah kalbu kita.
“Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula. Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz-Nya”
Bagaimana mungkin Tuhan dikeluarkan dari lapangan menjadi pemain cadangan. Atas dasar saham dan hak apa serta dilantik oleh siapa kita jadi Coach atau Manajer Pelatih, sehingga berkuasa mengatur-atur Tuhan untuk keluar masuk lapangan. Ya kalau Manajer Kesebelasan Kamboja kemarin 2-0 berada dalam ikatan sejarah dan pertalian nafkah penghidupan dengan Solo Surakarta serta seragam militer Kemboja.
“Innalloha ‘ala kulli syai`in Qadiir”. Ia memegang hak absolut untuk berbuat sesuka hati-Nya. Sebab ia pemegang saham 100% atas kehidupan alam semesta dan manusia. Apa yang disebut saham manusia dengan kreativitas dan kerja kerasnya pun tidak lain menggunakan alat produksi milik-Nya juga. Ia Maha Semau-mau-Nya.
Ia berhak membuat orang yang sangat mencintai-Nya sakit lumpuh, buta, bahkan salah satu bola matanya seperti hendak meloncat keluar. Sementara orang yang menghinanya dengan meng-Qorun-kan dirinya, menumpuk kekayaan yang melebihi pemilikan harta 100 juta tetangganya, dibiarkan-Nya hidup nikmat, nyaman, klimis, wangi dan tenteram keluarganya. Dan nanti kematiannya tidak mencerminkan bahwa ia penghina prinsip keberbagian di antara manusia. Ia nanti bisa mati biasa-biasa saja sebagaimana orang lainnya yang baik-baik hidupnya, jujur, baik sama tetangga, rajin beribadah.
Sampai Kanjeng Nabi Musa tidak tega kepada si lumpuh buta mata ‘mendolo’ itu, sehingga memeluknya dan mendoakannya, memohon agar Allah mengangkat penyakitnya. Si lumpuh marah dan membuang pelukan Nabi Musa. “Jangan berani-berani memohon agar Allah menyembuhkan saya”, katanya, “Jangan berani-berani mengurangi sekulit tipispun kedekatanku dengan-Nya. Sakit yang kuderita ini amat berjasa mengakrabkanku dengan Tuhan dan mentotalkan keikhlasanku pada kehendak-Nya”.
Tindakan Tuhan itu sangat berbahaya dan membuat frustrasi orang-orang yang menkonsep kehidupan dunia ini sebagai “turnamen satu babak”. Hitungan mereka akan sangat keliru karena menganggap dunia adalah satu-satunya area membangun, berkarier, sukses atau gagal. Mereka tidak percaya kepada proses transformasi, metamorfosis dan tahap-tahap evolusi menuju kesejatian dan keabadian sesudah babak final.
Sebaliknya pola manajemen Tuhan itu melegakan hati orang-orang yang merasa sukses di bumi, berkuasa, memegang mayoritas modal, menentukan dan mengendalikan pengelolaan nasional, mengutus adiknya se-Bapak jadi Raja. Mereka puas karena kalau akhirnya mereka pindah ke kuburan, segala sesuatunya selesai. Sebab akhirat hanyalah khayalan, imajinasi dan halusinasi. Bagi mereka ini, Tuhan Yang Maha Esa bukanlah Tuhan itu sendiri, yang mereka mustahil melihatnya, me-riset dan merumuskan-Nya. Sila Pertama bagi mereka adalah prasangka mereka atas yang disebut Tuhan Yang Maha Esa.
Tapi memang banyak sekali fakta sejarah yang mencerminkan seolah-olah Tuhan memang ‘hobi’ istidraj. Mbombong. Nglulu. Bahkan njlomprongke. Membiarkan para pendurhaka-Nya hidup berlama-lama dan merasa berhasil. Dinasti Firaun “diternakkan” oleh-Nya hampir 3 Milenium. Sementara Andalusia dan Ottoman dibiarkan hancur. Itupun sepanjang lebih 33 Dinasti Firaun kehidupan rakyatnya berlangsung “gemah ripah loh jinawi”, “toto tentrem kerto raharjo”, tidak punya problem ekonomi, tidak berhutang sampai ribuan triliun. Kesalahannya cuma satu: menuhankan diri.
Isa bin Maryam, makhluk yang diistimewakan-Nya, di-pause pada usia 32 tahun. Kekasih utama-Nya, Muhammad, 63 tahun. Guru Besar Mega-Teknologi, Kebatinan, kasyaf antara bumi dengan langit, “tanfudhu min aqtharis samawati wal ardl”, yakni Sulaiman bin Daud, dikasih jatah hanya 66 tahun. Sementara Nuh, ruh-Nya sendiri, disuruh prihatin Sembilan abad dengan perolehan pengikut tak sampai 100 orang. Bandingkan dengan Hary Tanoesudibjo 2-3 tahun sudah merekrut ribuan ranting dan jutaan pengikut.
Usia NKRI sekarang hampir sama dengan Singasari. Majapahit sukses tiga kali lipatnya. Demak lamanya belum disamai oleh NKRI. Pajang transisi sejenak seperti era Habibie dan Gus Dur menuju Mataram Islam – yang berlipat-lipat lebih lama pencapaiannya dibanding NKRI Harga Mati.
Siapa saja dan faktor apa saja yang hari-hari ini merupakan tiang pancang kekokohan NKRI Harga Mati? Siapa yang sebenarnya menghargai NKRI? Siapa yang menjamin NKRI tidak mati? Kita boleh tidak bersegera mem-Pancasila-kan diri, tidak cepet-cepet menyapa dan belajar kepada Tuhan Yang Maha Esa – asalkan ada di antara penduduk WNI atau WNA yang adalah Tuhan. Bukan yang sekedar menuhankan diri dan menguasai NKRI. (Bersambung)