Bersama Perlima Membincang Panji Melalui "Tembang dan Perang"
Oleh: Ihdina Sabili
Perempuan Penulis Padma, yang lebih dikenal sebagai Perlima, adalah sebuah komunitas penulis dengan agenda rutin membincang karya sastra yang berkualitas. Belum genap setahun, ini merupakan momen ketiga kalinya Perlima melakukan bedah buku.
Kali ini buku Tembang dan Perang yang dipilih sebagai bahan perbincangan untuk diulas. Novel berlatar sejarah cerita Panji, karya Junaedi Setiyono dan diterbitkan PT Kanisius ini menarik perhatian dunia literasi. Termasuk Dalang Publishing yang turut serta mengambil peran untuk membawanya ke kancah internasional. Di tangan penerjemah, Oni Suryaman, buku ini telah dialihbahasakan dalam bahasa Inggris, sehingga mendunia. Panji's Quest diakui UNESCO dalam Documentary Series, Memory of The World pada 2017.
Pada acara bedah buku yang digelar secara daring ini, Perlima berhasil menghadirkan penulis dan penerjemahnya, termasuk Lian Gouw selaku pendiri Dalang Publishing. Dua pembedah terpilih dipercaya untuk mengulas buku ini. Yulfarida Arini, seorang mantan jurnalis dan Vivid Sambas, seorang terapis keluarga dan pemerhati literasi, membedah sesuai latar belakang dan kapasitas mereka.
Sabtu, 12 Maret 2022, acara dimulai tepat pada pukul 10.00 WIB. Tjahjani Retno Wilis selaku ketua Perlima memberikan sambutan sekaligus membuka acara ini.
Dilanjutkan dengan sambutan dari Lian Gouw. Menurutnya, baik dari sisi kemanusiaan dan sejarah, buku ini sangat menarik. Satu-satunya cerita bentuk dongeng yang berasal dari tanah air, yang tersebar tidak hanya di nusantara, tetapi juga sampai Asia Tenggara sejak abad ke-15. Itulah yang menjadi alasan Dalang Publishing ingin menerbitkan Tembang dan Perang dalam bahasa Inggris. Sikap penulis terhadap kebangsaan yang begitu peduli dengan menjaga mutu kesusastraan Indonesia, menjadi nilai tambah bagi Lian Gouw.
Sepuluh cerpen yang telah diterjemahkan Oni Suryaman dalam laman Dalang Publishing berhasil memikat Lian Gouw. Itulah alasannya mengapa Oni akhirnya dilibatkan dalam pengerjaan proyek Tembang dan Perang ini. Mendalami budaya Jawa untuk diubah menjadi cerita berbahasa Inggris tentu tidak mudah. Terlebih bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu bagi Oni Suryaman. Namun, semangat kerja dan keinginan Oni untuk terus belajar akhirnya disambut oleh Lian Gouw untuk sama-sama merampungkan novel terjemahan ini.
“Salah satu cara pengakuan akan kebangsaan kita adalah dengan penggunaan bahasa kita.” Begitulah Lian Gouw menutup sambutannya, dengan tak henti menyuarakan tentang pelestarian bahasa Indonesia oleh rakyat Indonesia sendiri.
Selanjutnya, Junaedi Setiyono dan Oni Suryaman membacakan nukilan dari tulisan mereka dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Bedah Buku Tembang dan Perang
“Membedah Fiksi dengan Pisau Jurnalistik” menjadi judul materi yang disampaikan oleh pembedah pertama, Yulfarida Arini. Secara runut dan rinci, Yulfa mengupas tokoh cerita, besarnya pengaruh isi cerita terhadap pembaca, kedekatan secara fisik dan emosi, kebaruan karya fiksi dibanding novel sejenis lainnya, dan sisi human interest-nya.
Selain itu, Yulfa juga menjelaskan bahwa cerita ini membawa misi kekuatan nilai kebaikan, mengandung unsur dramatis, memiliki berbagai konflik, dan sudut pandang sehingga menjadikan novel ini unik. Dalam penilaian Yulfa, cerita ini masih ditemukan beberapa kesalahan eja dan efektivitas kalimat. Meski demikian, hal itu takkan mengurangi keistimewaan novel sejarah ini.
Sedangkan Vivid Sambas memilih kalimat “Merawat Ingatan Melalui Tembang dan Perang” dalam menuturkan analisanya. Mula-mula Vivid menyebutkan beberapa peran manusia di dalam cerita, yakni tidak hanya para pembesar kerajaan, tetapi juga wong cilik yang sebenarnya memberi pengaruh besar pada keberhasilan sebuah kerajaan. Vivid juga sempat mengulik gambang sebagai alat musik yang dipilih, yang tentu memiliki makna filosofi khusus.
Tak lupa sebagai seorang hipnoterapis, Vivid juga menyoroti trauma yang dialami tokoh Panji dalam cerita. Berbagai macam perang juga dia garis bawahi, bahwa perang tidak melulu dengan panah dan pedang. Bagi Vivid, amanat penting dari kisah ini mengenai pilihan dan konsekuensi pertarungan nilai. Tak kalah menarik, Vivid menekankan aspek tentang peran perempuan dengan mengulas seluruh karakter dan peran tokoh perempuan di dalamnya.
Sesi Interaktif dengan Peserta
Setelah pemaparan oleh dua pembedah tersebut, saat yang paling dinanti tentunya adalah tanya jawab secara langsung dengan penulis dan penerjemah. Evi Anita selaku pemandu perbincangan mulai membuka ruang bagi para penanya.
Tak dapat dipungkiri, proses penulisan buku dengan tebal 372 halaman ini tentu menjadi pertanyaan besar di kepala pembaca. Terlebih aspek sejarah begitu kental ditambah nilai religi, kemanusiaan dan kebangsaan memberikan nilai plus pada performanya. Sebagai karya yang telah diterjemahkan ke bahasa asing, pertanyaan besar pula terkait proses dan tantangannya. Mas Oni Suryaman memberikan sedikit bocoran terkait trik menerjemahkan karya fiksi semacam buku ini.
Swary, salah satu peserta memberikan komentar, “Sepertinya novel ini lebih cocok dibilang time traveller, ya.” Lalu Swary menanyakan kesulitan dalam menulis novel ini. Pak Jun, begitu biasa disapa, menuturkan cara untuk mengatasi hal tersebut. Pak Junaedi harus melibatkan secara batin ke dalam ceritanya, tidak hanya lahir, tetapi secara rasa.
Tak heran di akhir pertemuan, Pak Eka Budianta turut memberikan apresiasi yang tinggi kepada acara ini. Pesan penting yang disampaikan adalah tentang pelajaran moralitas Panji, yang mengajarkan kita untuk tidak meninggalkan kesulitan. Serta bagaimana seorang Junaedi Setiyono telah memberikan contoh sangat elegan dalam menjembatani kita, para pembaca, di masa sekarang dengan situasi abad XII yang terdapat pada kisah Panji.
Turut serta memberikan apresiasi berikutnya adalah Ibu Melani Budianta yang menyatakan kekagumannya kepada Ibu Lian Gouw. Bu Lian yang lahir di Indonesia, kini menjadi pengarang Amerika, mau mendedikasikan waktunya menjadi penerbit buku yang mengusung karya-karya Indonesia ke luar negeri. Baginya, betapa beruntungnya Indonesia melahirkan wanita ini, khususnya Perlima, pada acara bedah buku tersebut.
Menurut Ibu Melani, pilihan buku ini juga sangat cemerlang, mengingat cerita Panji memang cerita yang layak kita banggakan sebagai rakyat Indonesia karena telah menyebar ke mancanegara. Terakhir, lebih tepat lagi karena pembahasan yang diangkat berkaitan dengan ideologi perempuan, sudah sangat tepat Perlima mengambil peran ini. Ibu Melani juga mengapresiasi karya Pak Junaedi ini, betapa hal-hal kecil dalam adegan dan dialog memberikan peran dan penghargaan tertinggi dan perempuan. Ibu Melani memberikan semangat dan apresiasi sebesar-besarnya kepada Perlima dan seluruh anggotanya untuk terus menulis dan berkarya.
Wina Bojonegoro, selaku pendiri Perlima menutup acara dengan menaruh harapan besar pada kemajuan komunitas yang lahir di Maret 2021. Selain itu, Wina juga sempat mepaparkan agenda-agenda terdekat yang bisa diikuti oleh seluruh anggota Perlima yang juga terbuka untuk umum.
Tak terasa acara sudah berlangsung lebih dari dua jam. Saatnya Fifin Maidarina, selaku Humas Perlima yang memandu acara Bedah Buku Tembang dan Perang pun mengakhiri acara dengan mengajak semua yang hadir untuk bersama-sama merawat ingatan cerita Panji lewat buku Tembang dan Perang. Jangan lupa, mari terus berkarya agar berdaya dan bahagia bersama Perlima. (IS/FM_Ed.WR)