Berpura-pura Miskin untuk Mengemis, Bagaimana Hukumnya?
Di setiap sudut jalan atau lampu mereka di kota, selalu ada pengemis. Setelah ditelusuri, ternyata mereka ada juga yang berpura-pura. Bahkan, ada yang dibubuhi obat merah dan kain perban agar mengesankan ia sedang sakit.
"Ustad, menghadapi masalah sosial seperti ini, bagaimana seharusnya kita menyikapi? Bagaimana hukum dalam Islam mengenai masalah ini?"
Demikian Amrin Ahmad, warga Grudo Surabaya, menanyakan hal itu pada Redaksi ngopibareng.id. Untuk menjawab masalah ini, berikut penjelasan Ustad Alhafiz Kurniawan:
Sebagian orang mengambil cara berpura-pura miskin, faqir, atau berpura-pura menyandang disabilitas untuk mengambil empati dan belas kasih masyarakat luas. Cara instan ini tampaknya bagi sebagian orang cukup efektif digunakan mengemis.
Sebagian orang ini menggunakan cara berpura-pura untuk mengambil keuntungan dari rasa iba masyarakat.
"Tindakan pura-pura miskin, faqir, atau pura-pura sebagai penyandang disabilitas untuk kepentingan ini sangat diharamkan. Pelakunya wajib mengembalikan pemberian yang diterimanya kepada si pemberi karena ia tidak berhak menerimanya."
Adapun dampak negatifnya, masyarakat menilai kalangan disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif dan kreatif serta patut dikasihani. Padahal mereka memiliki potensi luar biasa dan bisa mandiri secara ekonomi.
Tindakan pura-pura miskin, faqir, atau pura-pura sebagai penyandang disabilitas untuk kepentingan ini sangat diharamkan. Pelakunya wajib mengembalikan pemberian yang diterimanya kepada si pemberi karena ia tidak berhak menerimanya.
Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas terbitan LBM PBNU pada 2018 menyebut tindakan itu mengandung unsur keharaman, yaitu mengemis, menipu, dan tidak mengembalikan hak milik orang lain, (Tim LBM PBNU, 2018: 147).
وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ، أَوْ صَلَاحٍ، أَوْ نَسَبٍ بِأَنْ تَوَفَّرَتْ الْقَرَائِنُ أَنَّهُ إنَّمَا أُعْطِيَ بِهَذَا الْقَصْدِ، أَوْ صَرَّحَ لَهُ الْمُعْطِي بِذَلِكَ، وَهُوَ بَاطِنًا بِخِلَافِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا، وَمِثْلُهُ مَا لَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ الْمُعْطِي لَمْ يُعْطِهِ، وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي الْهَدِيَّةِ أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهِ، وَمِثْلُهَا سَائِرُ عُقُودِ التَّبَرُّعِ فِيمَا يَظْهَرُ كَهِبَةٍ وَوَصِيَّةٍ وَوَقْفٍ وَنَذْرٍ
Artinya, “Siapa yang diberikan sesuatu karena ada sifat yang disangka ada dalam dirinya semisal kefakiran, kesalehan, atau nasab yang diketahui dari beberapa tanda bahwa dia diberikan dengan maksud demikian atau si pemberi menjelaskan motifnya sendiri, sedangkan sesungguhnya tidak demikian, maka ia haram secara mutlak untuk menerima pemberian tersebut. Demikian juga bila ada sifat yang disembunyikan dalam diri si penerima yang andaikan tampak pada orang yang memberi, maka dia tidak akan memberinya. Hal ini berlaku juga dalam konteks hadiah menurut pendapat yang lebih kuat. Hukum yang sama juga berlaku pada semua akad tabarru‘ (bantuan sosial) yaitu hibah, wasiat, waqaf, dan nazar,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 164).
Sikap pura-pura semacam ini jelas dilarang oleh agama. Di dalamnya yang pasti terkandung unsur penipuan. Meski si pemberi “terpaksa” ikhlas karena tidak dapat memverifikasi kepura-puraan pengemis tersebut, tindakan ini tetap dilarang. Wallahu a‘lam. (*)