Berpura-pura Gila, Ini Alasan Abu Nawas
Alkisah, suatu hari ayah Abu Nawas mengalami sakit yang sangat berat. Raja khawatir, jika ayah Abu Nawas meninggal, maka tidak ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai qadhi (pengadil). Dan, kekhawatiran raja akhirnya memang terjadi. Ayah Abu Nawas meninggal dunia.
Raja tidak punya banyak pilihan untuk mencari pengganti ayah Abu Nawas. Ia berpendapat: Pakiban u meunan minyeuk, pakiban ku meunan aneuk (Bagaimana kelapa demikian pula minyaknya, bagaimana ayah maka akan begitu pula anaknya, ed). Karena itu, Raja pun kemudian menetapkan Abu Nawas sebagai calon tunggal untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan ayahnya, yang semasa hidupnya menjadi qadhi yang sangat adil, jujur, dan bijaksana.
Akhirnya raja mengutus para prajurit untuk menjemput Abu Nawas di kediamannya untuk dihadapkan kepada raja. Tentu saja untuk dimintai kesediaan Abu Nawas menggantikan ayahnya. Sesampai di istana, ternyata Abu Nawas sudah tidak seperti dulu lagi. Abu Nawas sudah gila.
Melihat kenyataan Abu Nawas yang sudah gila, akhirnya raja membatalkan untuk menyerahkan jabatan qadhi kepadanya. Timbul pertanyaan, apakah benar Abu Nawas gila karena ditinggal ayahnya? Tentu tidak. Semasa masih hidup, ayahnya berpesan, janganlah jadi pemimpin. Karena itulah Abu Nawas berpura-pura gila.
Renungan
Terkait masalah ini Rasulullah SAW pernah bersabda: “Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dulu, di zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan menjadi pemimpin. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Abu Bakar Siddiq yang diminta menggantikan Rasululllah sebagai khalifah, malah mengusulkuan Umar, dengan alasan Umar adalah seorang yang kuat. Tetapi Umar menolak, sebaliknya malah mengusulkan Abu Bakar. Para sahabat memandang jabatan adalah momok yang sangat menakutkan. Mereka berusaha menghindarinya, tentu sebatas kewajaran dan masih mungkin dihindari.
Kenyataan hari ini, orang-orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Dengan dalih, karena panggilan hati, atau karena diminta oleh rakyat. Entah rakyat mana yang memintanya untuk menjadi pemimpin. Inilah basa-basi klasik untuk mengelabui siapa saja, bahwa keinginannya untuk menjadi pemimpin bukan karena ambisi.
Jika ditelaah lebih dalam, penolakan para sahabat didasari atas hadist Rasulullah tentang betapa beratnya menjadi pemimpin. “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.” Didalam hadis yang lain, sebagaimana disampaikan oleh abu hurairah, “kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung.” (HR Bukhari). (adi)