Berpolitik Itu Artinya Berkebudayaan
Menyambut HPN 2019, PWI Jawa Timur menerbitkan buku “Demokrasi; Pers, Politik & Ekonomi,” berisi artikel yang ditulis 21 wartawan senior Jatim. Salah satunya adalah M. Anis, yang tulisannya kami muat utuh.
Berpolitik Itu Artinya Berkebudayaan
Oleh: M. Anis
Politik dalam bahasa Arab adalah siasiyah. Siasat. Atau strategi. Tentu bukan semata-mata siasat atau strategi untuk mengalahkan lawan, akan tetapi juga memuliakan lawan yang telah berhasil dikalahkan.
Setelah lawan berhasil dikalahkan, dirancang siasat lagi bagaimana bersama-sama dengan lawan yang telah dikalahkan itu merencanakan, kemudian melaksanakan program untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat Indonesia. Bukan kepentingan rakyat tapi hanya sebatas retorika saja, seperti yang setiap hari kita saksikan bersama.
Seperti kesenian, politik adalah salah satu produk dari kebudayaan. Sebagai produk dari suatu kebudayaan, maka politik juga harus indah dan elok. Politik juga harus menghibur serta mencerahkan. Bukan malah memunculkan keprihatinan. Apalagi ketakutan. Seni dan politik seharusnya sama-sama bermanfaat bagi lahir dan batin rakyat.
Karena itu sebagaimana orang yang berkesenian, mereka yang berpolitik juga harus menerapkan asas moral, etika dan estetika dalam perilaku politik mereka. Dalam berkesenian, ketiga hal ini menjadi syarat penting bagi terciptanya karya seni yang berkwalitas.
Apabila moral, etika dan estetika dijadikan standar bagi siapapun yang berpolitik, maka akan diperoleh kesadaran perihal baik dan buruk, salah dan benar, serta elok dan tak elok.
Kalau saja setiap orang yang berpolitik yang kemudian kita sebut sebagai politikus itu memiliki standar moral, etika dan estetika, maka betapa indahnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tetapi kita tentu saja tidak dapat berharap banyak kepada para politikus itu, karena secara faktual mereka memang kurang memenuhi standar moral, standar etika dan standar estetika.
Apabila para politikus memiliki standar tersebut, maka kita sekarang ini pasti tidak akan melihat dan menyaksikan Ketua DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) sedang meringkuk di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Menjadi Ketua DPR-RI adalah puncak capaian seorang politikus. Saat ini, menurut KPU (Komisi Pemilihan Umum) terdapat 7968 politikus yang siap bertarung untuk menjadi anggota DPR-RI dalam Pemilu 2019. Untuk terpilih menjadi anggota saja sulitnya minta ampun, padahal dengan ongkos yang amat mahal. Apalagi untuk menjadi Ketua DPR-RI. Mungkin tidak banyak dari anggota legislatif yang bermimpipun tidak berani, terutama bagi yang baru terpilih pertama kali.
Jabatan Ketua DPR-RI ini selain menurut undang-undang sejajar dengan Presiden RI, juga menjadi representasi dari puncak capaian seorang politikus. Sayangnya, seseorang yang telah berhasil memperoleh kesempatan amat istimewa itu, faktanya ternyata tidak memenuhi standar tentang moral, etika dan estetika.
Wajar bila kemudian ada yang melontarkan pertanyaan, yang ada di puncak saja seperti itu, bagaimana dengan mereka yang berada di bawahnya? Ini pertanyaan awam, tidak untuk memperoleh jawaban.
Strategi Kebudayaan
Sungguh sangat menyedihkan, ketika dominasi politik makin membesar, pada saat yang sama kebudayaan secara masif makin menghilang dari memori masyarakat kita. Di layar-layar TV nyaris tidak ada lagi dialog tentang kebudayaan. Juga di halaman majalah dan koran. Setiap hari benak rakyat diracuni dengan informasi mengenai politik. Politik makin membabi-buta, menguasai segalanya. Termasuk agama. Termasuk pula medsos.
Medsos menjadi dewa baru yang dimanjakan oleh semuanya. Apa yang ada di medsos lebih banyak dibaca ketimbang kitab suci. Tetapi melalui medsos pula, rakyat memperoleh pelajaran politik yang amat buruk yaitu memuji diri sendiri dan kelompoknya, sambil menghujat lawan politik dan kelompoknya. Medsos pula yang membuat semua merasa dirinya paling benar.
Hujatan yang dilontarkan melalui medsos bisa segera dibaca oleh lawan politik, dan langsung direspon dengan mengeluarkan hujatan yang tak kalah nyinyirnya. Medsos yang ide awal pembuatannya untuk mengakrabkan dan memperluas pertemanan, di Indonesia beralih fungsi menjadi medan pertempuran.
Dalam kurun 10 sampai 15 tahun belakangan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada pada medsos, politik sudah merusak perilaku budaya bangsa Indonesia yang dahulu dikenal lemah lembut dan sopan santun.
Facebook didirkan tahun 2004, Twitter tahun 2006, WhatsApp tahun 2009 sedang Instagram didirikan tahun 2010, adalah empat raksasa medsos yang paling banyak diminati politikus. Berpolitik tidak lagi menggunakan hati, melainkan dengan medsos.
Jangankan antar pendukung partai. Para pemimpin agama pun saling menyerang. Kondisi seperti sekarang ini sebelumnya sama sekali tidak pernah terjadi. Segawat apapun konflik antar pemimpin di masa lalu, tidak sekeras konflik yang ada saat ini. Karena memang dahulu belum ada medsos, yang langsung mengajak rakyat pendukung untuk secara emosial terlibat di dalam konflik.
Kalau tadinya politik adalah bagian dari kebudayaan, sekarang politik menjadi jauh lebih dominan. Politik sudah menjadi arus deras yang sulit dibendung. Pemerintah sendiri - dalam hal ini pihak eksekutif - juga sudah tersandera oleh kekuatan politik, sehingga ikut terseret untuk lebih mengistimewakan politik dibanding kebudayaan.
Paling gampang adalah membandingkan besaran anggaran. Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI misalnya, untuk tahun 2019 memperoleh anggaran dari APBN sebesar Rp 1, 79 triliun. Dana tersebut digunakan untuk menjaga dan merawat kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk segala urusan administrasinya. Bandingkan dengan dana yang dialokasikan untuk kepentingan 575 - naik dari 560 - anggota DPR-RI dan sekretariatnya, yang pada tahun 2019 ini disepakati sebesar Rp 7,7 triliun.
Kebudayaan Indonesia adalah sebuah hutan. Seluruh wilayah di Indonesia ini tadinya adalah hutan kebudayaan. Tapi sekarang sudah berubah menjadi areal bebatuan dan pasir yang tandus dan kering. Yang tersisa dari hutan itu hanya sebidang oase. Tapi oase itupun kini dalam keadaan terancam. Politiklah yang secara masif menggerogoti hutan kebudayaan itu. Perlahan-lahan, tanpa terasa, tiba-tiba kita sekarang sudah berdiri di tengah gurun dan merasa amat dahaga.
Memang, setiap tahun pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Kongres Kebudayaan. Tetapi dalam kongres tahunan ini yang lebih menonjol adalah seremonialnya, ketimbang melakukan langkah nyata untuk menyelamatkan posisi kebudayaan yang sedang dalam kondisi krisis dan kritis ini.
Strategi kebudayaan yang dihasilkan oleh kongres hanya berupa teks untuk diperbanyak. Tahun depan, dalam Kongres Kebudayaan berikutnya, akan dihasilkan lagi teks strategi kebudayaan yang agak-agak mirip, hanya beda tahun dan temabesarnya.
Turkiye Burslari
Bagaimana strategi kebudayaan tidak hanya berhenti pada teks, ini ada satu contoh untuk sekadar diketahui bersama. Sayang sekali contoh ini adanya di Turki, bukan di Indonesia.
Turki memiliki strategi kebudayaan yang orientasinya sudah jauh ke depan. Salah satu yang dilakukan, setiap tahun pemerintah melaksanakan program Turkey Scholarship atau Turkiye Bursları, yaitu pemberian bea siswa kepada 800 sampai 1.000 mahasiswa dari seluruh dunia. Mereka terdiri dari mahasiswa program studi S1, S2 dan S3.
Sebelum masuk kuliah, mereka semua baik yang mengambil prodi S1, S2 atau S3 diharuskan belajar bahasa Turki selama setahun. Setelah dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat bahasa, barulah mereka diperbolehkan mengikuti kuliah sesuai dengan program dan jurusan yang dipilih. Penulisan skripsi atau tesis nantinya harus menggunakan bahasa Turki dan bahasa Inggris.
Dengan demikian setiap tahunnya akan lahir 800 sampai 1000 orang dari seluruh dunia yang mampu bahkan pandai berbahasa Turki. Saat ini, program yang dikelola oleh lembaga YTB ( Yurtdisi Turkler ve Akraba Topluluklar Baskanligi) ini sedikitnya telah menghasilkan 16 ribu sarjana di 172 negara yang mampu berbahasa Turki.
Dari Indonesia sendiri setiap tahun ada sekitar 40 sampai 70 mahasiswa yang mendapatkan bea siswa YTB ini. Sebagaimana penerima bea siswa dari negara lain, para mahasiswa kita juga mendapat berbagai fasilitas meliputi tiket pesawat satu kali PP, biaya selama setahun khusus untuk belajar bahasa Turki. Dilanjutkan dengan pemberian biaya studi hingga selesai, serta fasilitas asrama dan uang saku setiap bulannya.
Untuk pemberian bea siswa kepada mahasiswa asing ini pemerintah Turki menganggarkan dana 200 juta LT (Lira Turki) hingga 225 juta LT, atau setara Rp 600 miliar sampai Rp 700 miliar. Kurs terakhir 1 LT sama dengan Rp 3 ribu.
Di Indonesia sebenarnya ada juga lembaga pemberi bea siswa, tetapi kepada mahasiswa Indonesia sendiri, bukan kepada mahasiswa asing yang akan belajar tentang kebudayaan Indonesia.
Lembaga itu bernama LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), dibentuk oleh Kementerian Keuangan RI bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk Tahun Anggaran 2019 ini, LPDP mengelola dana sebesar Rp 55 trilun yang berasal dari APBN 2019. Naik sebesar Rp 20 triliun dari tahun lalu yang besarnya Rp 35 triliun.
Faktanya, sebagian besar mahasiswa yang memperoleh fasilitas bea siswa dari LPDP ini adalah putra-putri para pejabat di lingkungan Kemenkeu, Kemendikbud dan kementerian-kementerian lain. Ditambah putra-putri anggota DPR-RI, terutama dari komisi-komisi yang bermitra kerja dengan Kemenkeu dan Kemendikbud. Anggota komisi-komisi mitra kerja ini minta jatah karena merasa ikut berperan meloloskan anggaran yang dialokasikan untuk LPDP.
Memang, para mahasiswa asing yang memperoleh bea siswa dari pemerintah Turki tadi akan menjadi agen-agen kebudayaan Turki di negara masing-masing. Tapi itulah siasat atau politik yang dilakukan pemerintah Turki untuk mencapai tujuannya, yaitu menjadi bangsa besar dengan menjunjung tinggi budaya dan nasionalisme mereka. Kita juga punya nasionalisme semacam itu, sebenarnya.
Sama seperti di Indonesia, Turki juga menganut sistem Demokrasi Perwakilan Parlemen. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden dalam pemerintahan. Sedang kekuasaan legislatif dipegang oleh Türkiye Büyük Millet Meclisi atau Majelis Agung Nasional Turki.
Anggota Majelis Agung Nasional Turki berjumlah 550 orang, hampir sama dengan anggota DPR-RI yang saat ini masih 560 orang. Bedanya, para politikus di Turki itu terpilih menjadi anggota legislatif melalui penyaringan dan pemilihan yang ketat. Mereka yang akan ikut pemilu itu sebelumnya juga telah diuji perihal moral, etika dan estetika oleh lembaga yang kompeten. Bukan diuji oleh partai, kemudian terpilih karena gencar menyebar uang dan main di medsos.
Oleh karena itu sebagian besar rakyat Turki yang jumlahnya sekitar 80 juta yakin dan percaya percaya bahwa para anggota Türkiye Büyük Millet Meclisi itu memiliki banyak gagasan-gagasan berkwalitas semacam Turkiye Bursları, Beasiswa Turki. Bukan gagasan macam e-KTP.
Politik itu sebenarnya indah dan menyenangkan, asal semua yang terlibat di dalamnya berkebudayaan.
M. Anis
Pemimpin Redaksi Ngopibareng.Id